TIDUR, anakku, akan kubacakan sepucuk surat ke dalam mimpimu.
Sebab tahukah kau apa yang saya fikirkan di samping tempat
tidurmu? Tahukah kau apa yang ingin saya katakan, setelah kau
lelap, dan lampu padam di kamar ini, dan nyamuk mulai terdengar
desingnya?
Sebenarnya kau tak usah tahu. Tapi kelak kau mungkin perlu
mengetahui isi kepala seorang orang tua. Persisnya, isi kepala
seorang orang tua di tahun 1979. Karena itulah saya bacakan
surat ini, ke dalam mimpimu.
Saya memang sedikit malu untuk mengakui: isi surat ini tidak
sederhana. "Tidak sederhana" bukan dalam arti muluk, melainkan
rumit Setiap kali matamu terpejam, menyiapkan seluruh tubuhmu
untuk sekolah esok pagi selalu datang pertanyaan kepada saya:
apa sebenarnya rencana Tuhan dengan dirimu? Apa sebabnya pada
suatu hari sepuluh tahun yang-lewat kau dititipkan-Nya kepadaku
--hingga saya tersentak, bahagia seperti ibumu, tapi juga agak
cemas?
"Setiap anak," kata Tagore, "tiba dengan pesan bahwa Tuhan belum
jera dengan manusia." Mungkin demikian. Namun di tanahair Tagore
kini konon 11 juta bayi dilahirkan setiap tahun. Itu berarti
tiap hari lebih dari 30.000 nyawa. Tiap menit lebih dari 20
anak. Dan kita tak tahu berapa lagi di negeri Cina --ditambah
yang di Indonesia. Dengan statistik sekencang itu, benarkah
Tuhan terus mengirimkan pesan yang sama?
Ada sebuah pengalaman yang selama ini tak pernah kuceritakan
kepadamu: di suatu malam yang panas, saya berjalan di tepi
sungai Gangga. Di satu sudut tergolek seekor anjing kurus. Tapi
tak jauh dari sana terbaring makhluk yang lebih kurus lagi
seorang bocah gelandangan.
Penyair Tagore, yang saya kutip tadi (ia selalu berbicara indah
tentang kanakkanak) mungkin belum pernah melihat ini. Mungkin
itulah sebabnya ia selalu mengajukan pertanyaan yang aneh. Ia
bertanya misalnya dalam satu puisi: Siapa yang mencuri tidur
dari pelupuk-pelupuk bayi?". Padahal di tepi Gangga itu
pertanyaan yang penting ialah "Siapa yang mencuri nasi dari
perut anak ini .... "
Tidak, anakku. Bukan aku mau mengganggu cerah mimpimu. Tapi
mungkin yang "mencuri nasi" dari perut anak gelandangan itu
adalah seorang bapak dari anak lain -- mungkin aku. Di dunia
yang penuh sesak dan penuh orang lapar, seorang yang kekenyangan
berarti merenggutkan nyawa yang lain. (Jangan tanya dari mana
kesimpulan itu kutarik. Itu cuma feeling).
Sementara itu, anakku, kian hari dunia kian penuh. Jumlah orang
lapar tak berkurang, meskipun orang kenyang bertambah. Jumlah
kesempatan bertambah, meskipun kesempitan tak berkurang. Di
suatu pagi di bulan Mei saya lihat orang-orang tua
berduyun-duyun antri untuk mendaftarkan anak mereka masuk Taman
Kanak-Kanak. Tak semuanya dapat tempat. Tak semuanya mampu untuk
dapat sebuah kursi, sepotong ruang, secercah perhatian ibu guru.
Kau beruntung sudah melewati masa itu. Tapi kelak -- untuk SMP,
untuk SMA, untuk Universitas, untuk lapangan kerja .... Apa
sebenarnya rencana Tuhan dengan dirimu?
TENTU, kau sendiri tak akan bisa menjawabnya.
Seharusnya saya menanyakan hal itu kepada Tuhan sendiri. Tapi
itulah repotnya tak mudah memperoleh jawab dari sana. Barangkali
karena saya, ayahmu, seorang pesimis, dan Tuhan memang jarang
berbicara kepada seorang pesimis.
Tapi pesimiskah saya, 'nak, tentang dirimu? Aku sendiri tak
tahu. Kemarin saya diam-diam bangga ketika kau berkata: "Pak,
saya menyukai Bisma dan Gatutkaca" -- dan dengan alasan yang
entah dari mana kau dapat: "Karena Bisma rela menolak tahta
untuk kebahagiaan ayahnya, dan karena Gatutkaca rela terbunuh
--agar senjata sakti Karna itu tak bisa dipergunakan lagi."
Itukah moral yang kau pilih, 'nak, pengorbanan diri di masa
depan ketika orang kian berebutan? Aku ingin bilang: Jangan,
buyung. Tapi mungkin aku tak mengerti.
Maka lebih baik kuletakkan saja tanganku di rambutmu, dan
berharap. "Datang dan duduklah dalam haribaan yang tak
berbatas, anakku."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini