KUNJUNGAN Wakil Presiden Mesir Hosny Mubarak telah berlalu
sepekan lebih, tapi masih saja ada yang bertanya: Bagaimana
sebenarnya sikap Indonesia? Mendukung langkah Mesir melalui
perundingan damainya dengan Israel ataukah condong pada garis
keras negara-negara Arab lamnya? Kesangsian itu mungkin timbul
setelah membaca pernyataan yang sedikit berbeda di antara
pejabat tinggi pemerintah.
Seusai pertemuannya dengan Wapres Mesir 2 pekan lalu, Menpen Ali
Murtopo menjelaskan, langkah yang ditempuh Presiden Anwar Sadat
dalam menyelesaikan soal Timur Tengah sesuai dengan prinsip
damai yang diambil Indonesia. Menurut Menpen, usaha Sadat adalah
satu-satunya pilihan untuk menciptakan penyelesaian secara damai
soal Timur Tengah. "Saya belum pernah mendengar alternatif kedua
atau ketiga," kata Menpen. Kalau Mesir tidak mengambil cara yang
sekarang, pilihan lain adalah perang. "Pilihan perang bisa
mengundang perang dunia dan itu akan membahayakan lagi," ujar
Ali Murtopo.
Esoknya harinya, begitu Mubarak mengakhiri kunjungannya,
Departemen Luar Negeri mengeluarkan keterangan pers Menlu. Di
situ dinyatakan sikap RI yang pada dasarnya memberi tempat utama
pada jalan perundingan dalam mencari penyelesaian dalam sesuatu
situasi sengketa. Sikap Indonesia tetap mendukung pelaksanaan
Resolusi PBB no. 242 berisi 3 pasal utama. Pertama
dikembalikannya seluruh wilayah yang diduduki Israel sejak
perang 1967 diakuinya hak-hak sah rakyat Palestina untuk
menentukan nasibnya sendiri termasuk hak mendirikan negaranya.
Terakhir, dipulihkannya status kota suci Jerusalem. Tentang
prakarsa dan usaha perdamaian Presiden Anwar Sadat, hal ini
dinilai "sebagai salah satu ikhtiar yang sedang berlangsung
dengan segala ujian yang masih harus diatasi."
Dengan kata lain Indonesia melihat usaha perdamaian Sadat bukan
satu-satunya alternatif penyelesaian sengketa Arab-Israel. Walau
mendukung usaha Presiden Sadat, tapi Indonesia toh tidak ingin
mengundang kemarahan negaranegara Arab lain.
Ada beberapa orang yang beranggapan pernyataan yang dikemukakan
Menlu Mochtar itu untuk lebih memperjelas keterangan yang keluar
agak spontan dari Menpen Ali Moertopo. Dan menurut kelaziman,
keterangan Menlu sebagai jurubicara resmi pemerintah dalam
urusan LN, diberikan pada akhir kunjungan seorang tamu negara
berdasarkan petunjuk Presiden. Tapi Menlu mengakui, haruslah
dicegah kemungkinan adanya selisih pendapat antara pejabat
pemerintah, karena mungkin bisa ditafsirkan demikian oleh
masyarakat. "Sayang sekali kalau sengketa antar negara Arab ini
sampai menimbulkan perselisihan pendapat antar Indonesia," kata
Menlu Mochtar. "Biarlah ini berhenti pada selisih antar negara
Arab saja itupun sebaiknya tidak meluas dan didamaikan."
Mubarak sendiri menganggap sikap Indonesia sudah sangat jelas,
"yang tercermin dari semua pernyataan para pejahat RI."
Perselisihan antara negara Arab, kata Mubarak, tidak perlu
dikhawatirkan karena itu merupakan "kebiasaan". Toh akhirnya
mereka akan berbaik kembali. Sikap ini mirip sekali dengan
pendapat Buya Hamka,Ketua Majelis Ulama Indonesia. "Orang Arab
itu berhantam bagaimanapun, nanti akan berpelukan lagi," katanya
sambil terbahak-bahak. Dukungan Indonesia pada usaha perdamaian
Mesir dianggapnya "sikap yang paling bijaksana".
Membujuk
Pujian pada sikap resmi Indonesia juga datang dari Lukman Harun,
Wakil Ketua Panitia Pembantu Perjuangan Pembebasan Palestina dan
Masjidil Aqsha. Sikap ini dinilainya "mengerti sikap Mesir tapi
juga berusaha memahami aspirasi negara-negara Arab lainnya. "
Kunjungan Mubarak, walau diakuinya bukan untuk mencari dukungan
tapi untuk menjelaskan sikap negaranya, jelas merupakan usaha
Mesir untuk mendekati negara-negara Islam nonArab terutama
menjelang Konperensi Menlu Negara-negara Islam di Maroko pekan
ini. Dari sekitar 48 anggota Konperensi Islam sedunia, ada
sekitar 28 negara yang non-Arab.
Negara-negara Arab sebaliknya juga berusaha mempengaruhi
negara-negara sahabat yang non-Arab untuk ikut menentang Mesir.
Itu misalnya tercermin pada usaha para pejabat Irak membujuk
Indonesia untuk bersikap lebih keras pada Mesir waktu Wapres
Adam Malik berkunjung ke sana bulan lalu. Walaupun komunike
bersama sudah ditandatangani, para pejabat Irak terus membujuk
sampai tangga pesawat terbang yang sudah mau meninggalkan
Baghdad unwk merubah kata "Israel" dengan "Zionisme". Tapi kata
Adam Malik: "Buat apa kita ributkan satu orang yang berpendapat
lain, yang pokok 'kan perjuangan harus diteruskan" -- begitu
cerita Wapres tentang pembicaraannya dengan para pemimpm Irak.
"Kita ambil contoh Nabi Nuh, yang dulu juga membiarkan salah
satu anaknya yang menolak ikut bersama-sama dalam perahu." Tapi
Wapres Adam Malik tak mau menjawab tegas siapa yang analog
dengan Nabi Nuh dalam konflik antar Arab kini. Tapi yang pasti,
Indonesia tak mau ikut campur, sebagaimana juga Endonesia tak
ingin negara Arab ikut campur dalam konflik di Asean, misalnya
soal Filipina Selatan dan Sabah.
Namun begitu, dalam wawancaranya dengan TEMPO di Baghdad, Menlu
Irak Saadon Hamidy mengatakan: "Kita ingin melihat Indonesia
lebih berperhatian, untuk mengambil bagian yang lebih aktif
dalam Timur Tengah untuk keuntungan kedua belah pihak." Dan
Hamidy percaya, "semua kemungkinan ada untuk itu."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini