FEISAL Tamin, jurubicara Mendagri Amirmachmud, Sabtu lalu
berkata: "Rakyat kan tak tahu letak Gedung DPR. Jadi kan ada
yang membawa ke sana." Ia ingin mempertegas keterangan pers
tertulis Mendagri. Sejak DPR sibuk menerima pengaduan rakyat,
memang ada kesan aparat daerah kurang berfungsi. Dan keterangan
Mendagri ditunggu-tunggu.
"Anggapan seolah DPRD dan Pemda tidak berfungsi, tidak benar,"
kata Mendagri tanpa menyebut contoh kasus. "Hanya akrobat
politiklah yang mengatakan aparat pemerintah tidak berfungsi
karena ingin menonjolkan ketimpangan yang sepele tanpa mengingat
sukses pemerintah," tambahnya. Tapi ia mengakui "sudah pasti ada
hal-hal yang belum sempat dilaksanakan."
Meskipun pengaduan ke DPR tak ada peraturan yang melarang, dan
wajar, tapi ia mempersoalkan, apakah sudah diusahakan
penyelesaiannya di daerah.
Ia juga mengakui penyelesaian di daerah bisa makan waktu relatif
lama. Karenanya mungkin dianggap seolah-olah aparat daerah tidak
mampu lagi menanganinya, "sehingga menimbulkan rasa kesal," lalu
mengadu ke DPR. Dalam hal ini Mendagri menghimbau, agar DPR
secara edukatif memberi petunjuk kepada rakyat cara mengajulan
masalah.
Suhud Warnaen, Wakil Gubernur Jawa Barat, sependapat dengan
Mendagri. "Sebaiknya DPR memberi petunjuk, kalau masalahnya bisa
diselesaikan di daerah. Jadi ada segi pendidikannya," katanya.
Meski begitu, banyaknya pengaduan ke DPR, bagi Suhud juga ada
hikmahnya. Maksudnya: "DPRD harus benar-benar mampu meresapi
keadaan rakyat. Dan harus aktif terjun ke daerah, baik ada
masalah atau tidak."
Tentang kedudukan DPRD dalam UU No. 5/74 sebagai "perangkat"
Pemerintahan di daerah, menurut Suhud, "tidak berarti tidak ada
kntrol terhadap eksekutif." Gubernur Ja-Bar Aang Kunaefi
sendiri, menurut Ka Humas Pemda Ja-Bar S.A. Yussac, setiap
berkunjung ke daerah mengharap agar rakyat berani melapor ke
DPRD. "Di DPRD juga ada biro khusus yang menampung pengaduan,
meskipun penyelesaiannya tidak bisa cepat-cepat," ujar Yussac.
Bagi Gubernur Sulawesi Selatan Andi Oddang, UU No.5/74 juga
tidak jadi masalah. Sebab kedudukan legislatif dan eksekutif di
daerah seimbang. "Masalahnya, bagaimana kerjasamanya berdasarkan
pembatasan wewenang masing-masing," kata Oddang.
Kerjasama itu juga diharapkan Amirmachmud. Misalnya dalam hal
pengaduan kasus tanah, sebelum menyampaikan komentar terbuka
anggota DPR hendaknya berkonsultasi dulu dengan Depdagri. Bukan
hanya konsultasi secara resmi, kalau perlu juga kontak-kontak
pribadi. "Letak gedung DPR toh tidak jauh dari gedung Depdagri,"
ujar Amirmachmud.
Tapi kasus Angsana misalnya, yang pertama kali diadukan ke DPR,
menurut ketua Tim Tanah FKP Oka Mahendra, belum sempat
ditanyakan kepada Mendagri atau Dirjen Agraria dalam acara resmi
rapat kerja Komisi II. Dan karena disinyalir "dipolitikkan",
diambilalih Opstibpus. Sampai awal pekan lalu Oka masih menunggu
hasil penelitian Opstibpus.
Itu tak berarti ia boleh istirahat. "Kalau hasil penelitian
Opstibpus tidak seperti yang diharapkan, kita akan koreksi,"
kata Oka yang sejak 1971 terbiasa menangani pengaduan tanah.
Harapan Oka terpenuhi. Senin pagi lalu, Pangkopkamtib Sudomo
mengumumkan nasil penelitian Opstibpus ke Angsana.
Bukan Fitnah
Keterangan pers Opstibpus menegaskan, laporan ke 6 penduduk
Angsana "bukanlah fitnah seperti diissukan, tapi diperoleh
petunjuk kuat adanya tindak pidana korupsi, pemerasan, pungutan
liar oleh bekas lurah Angsana." Beberapa tindakan Sudomo:
Agar Jaksa Agung mengajukan bekas lurah Angsana. H M. Askari,
52 tahun, ke pengadilan dengan tuduhan tindak pidana korupsi.
Agar Mendagri menertibkan tanah garapan penduduk Angsana yang
dirampas lurahnya.
Agar Ka Polri menindak Wadanres 812/Pandeglang,
membebastugaskannya kemudian mengajukannya ke Mahmilti, karena
melakukan penyalah-gunaan kekuasaan, menahan para pelapor tanpa
surat penahanan sementara.
Agar Pangdam VI/Siliwangi mengambil tindakan korektif
administratif terhadap Letkol Sumantri, 50 tahun, ketua DPRD tk.
II Pardeglang karena melalaikan tugas, tidak menyelesaikan
masalah secara tuntas, kolegial dan fungsional dengan Bupati
Pandeglang, tapi mempersilakan para pelapor mengadu ke DPR,
"karena ada tujuan dan kepentingan pribadi di baliknya." Juga
terhadap 4 anggota ABRI karena "melanggar tatatertib tentara,
ikut campur persoalan sipil yang bukan tugasnya dan tidak
mengindahkan hirarki militer."
Seorang di antara 4 ABRI itu, menurut Opstibpus, telah membantu
Achmad Djaja mengumpulkan data tindakal bekas lurah Askari.
Seorang lagi, perwira MH dari Jakarta, telah mengantar rombongan
Achmad Djaya ke DPR dan Opstibpus 7 Maret lalu. "Ini contoh
klasik prosedur dan hirarki tidak dipenuhi dan ada oknum yang
main politik, memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi atau
golongan," kata Sudomo.
Maka Sudomo berharap, bila ada persoalan di daerah hendaknya
mengindahkan prosedur dan hirarki: menyelesaikannya dengan Pemda
dan DPRD tk I atau II. "Kalau Pemda tidak mampu, silakan datang
ke atas lagi," serunya. "Bentuk segera tim khusus yang mampu
bertindak cepat dan segera umumkan hasil-hasil penelitian dan
penyelesaiannya. Hendaknya kasus tanah di Cilacap dan Angsana
dijadikan pelajaran," katanya lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini