TEMPO pernah memuat usul Ketua PWRI Pusat (Bp. Sudiro), agar
pensiun pegawai negeri diundur dari 55 menjadi 60 tahun.
Terlepas dari alasan yang diketengahkan Pak Diro, yang jelas,
dengan direalisirnya usul tersebut tentu akan mengakibatkan
bertambahnya pengangguran.
Bahkan, bila kita ingin konsekwen mewujudkan "pemerataan
pembagian pendapatan, pemerataan kesempatan kerja dan pemerataan
kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan, khususnya bagi
generasi muda . . . ," maka batas pensiun bagi pegawai negeri
menurut peraturan yang sekarang ini saja masih kurang tepat.
Akan lebih tepat manakala ditinjau kembali dengan menggunakan
pokok-pokok pikiran sbb:
1. Saat pensiun tidak lagi didasarkan atas usia (55 tahun), tapi
lamanya pengabdian kepada Pemerintah. Dalam hal ini kami usulkan
25 tahun.
2. Usia maksimum untuk bisa diangkat menjadi pegawai negeri
tidak lagi 40 tahun, tapi 30 tahun.
3. Bila usul tersebut dapat diterima, maka tamatan SLTA (usia ñ
19 tahun) telah harus pensiun pada usia 45 tahun. Lulusan
perguruan tinggi tingkat sarjana penuh (usia ñ 25 tahun) telah
harus pensiun pada usia 50 tahun. Sedang mereka yang karena
sesuatu hal baru berkesempatan menjadi pegawai negeri pada usia
30 tahun, telah akan pensiun pada usia 55 tahun (belum terlalu
tua).
Keuntungan lain yang diperoleh dari kebijaksanaan ini:
a. Terbukanya kesempatan kerja lebih luas di lingkungan
kepegawainegerian. Ketua BAKN, Pak Manihuruk, boleh hitung-hitung
dalam hal ini.
b. Rasa keadilan akan dapat diciptakan. Sebab dengan peraturan
sekarang, mereka yang masa pengabdiannya baru 15 tahun (karena
masuk jadi pegawai pada usia 40 tahun) dan mereka yang mengabdi
55 tahun (karena masuk pegawai pada usia 20 tahun) haknya
sebagai pensiunan pegawai negeri sama.
Di samping itu masih terdapat usaha lain yang bisa ditempuh demi
"pemerataan pembagian kue nasional kita." Yaitu: diadakan
larangan suami-isteri secara sekaligus (bersama-sama) menjadi
pegawai negeri. Juga didakan larangan bagi mereka yang telah
pensiun diangkat lagi sebagai tenaga honorer. Dengan
ditetapkannya usul kami di atas menjadi sebuah
peraturan/undang-undang, besar kemungkinan "keluarga-keluarga
pegawai negeri" serta "para pensiunan pegawai negeri" hasilnya
akan tidak sebesar seperti peraturan/undang-undang yang berlaku
sekarang. Jika diingat bahwa masyarakat adil dan makmur berdasar
Pancasila memang baru terwujud setelah 15-20 tahun mendatang,
maka sekarang ini belum saatnya ada sekelompok masyarakat yang
hidup serba kecukupan di balik penderitaan rakyat banyak.
Meski demikian, bila dibanding penderitaan "rakyat banyak",
dibanding penderitaan abang-abang Becak, kuli-kuli pocokan serta
buruh tani di kampung dan desa sebagai lapisan terbanyak rakyat
kita/hasil yang diterima oleh "keluarga pegawai negeri" dan
"para pensiunan pegawai negeri" tersebut tentu akan lumayan.
Jika masih dianggap belum lumayan, dapat saja diberi fasilitas
sbb:
-- besarnya uang pensiun minimum ditetapkan senilai 100 kg
beras
-- anak-anaknya dibebaskan membayar SPP dan uang sekolah
lainnya, serta mendapat fasilitas mengganti lowongan yang
diakibatkan oleh pensiunnya orang tua yang bersangkutan
(sepanjang memenuhi syarat) dsb.
Akhirulkata, bukankah pensiun berarti berhenti untuk bekerja dan
berusaha?
JAMI'AN
Kaliputu II/340,
Kudus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini