Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sungguh lucu perilaku Ade Komarudin dan Setya Novanto dalam menanggapi pengajuan Rancangan Undang-Undang Pengampunan Pajak oleh pemerintah. Dua politikus Partai Golkar ini sibuk melobi pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat dan pimpinan fraksi untuk menentukan pihak mana yang akan membahas rancangan tersebut.
Ade Komarudin, yang juga menjadi Ketua DPR, meminta pembahasan RUU Pengampunan Pajak melalui Komisi Keuangan dan Perbankan, sedangkan Ketua Fraksi Golkar Setya Novanto mendorong rancangan itu dibahas oleh Panitia Khusus. Patut diduga situasi ini merupakan imbas dari persaingan keduanya memperebutkan jabatan Ketua Umum Golkar. Tapi bukan itu yang jadi perhatian publik.
Meskipun masih sulit dibuktikan, tercium ada kepentingan para pengusaha di balik pertarungan tersebut. RUU Pengampunan Pajak memang sangat penting bagi dunia usaha. Isu soal dana pengusaha yang diparkir di luar negeri—di Singapura dan juga negara-negara lain yang masuk kategori tax haven—sudah lama mengemuka. Pemerintah dan Bank Indonesia selama ini hanya bisa mengimbau agar mereka menanamkan kembali duitnya di Indonesia, baik di perbankan maupun melalui investasi langsung.
Persoalan itu mendapatkan pemantik baru yang disebut Panama Papers. Hasil investigasi yang dilakukan 100 organisasi media itu, termasuk Tempo, menunjukkan adanya 800-an nama pengusaha, politikus, dan pejabat publik Indonesia yang mendirikan perusahaan atau menyimpan uang di negara surga pajak. Jumlahnya diperkirakan sekitar Rp 2.300 triliun. Jika jumlah yang terakhir ini valid dan bisa dipaksa kembali ke Indonesia, pemerintah bisa menangguk pendapatan pajak sekitar Rp 200 triliun.
Masalahnya, pengampunan pajak bukanlah obat dari persoalan ini. Banyak faktor yang membuat pengusaha atau politikus memarkir uangnya di luar negeri. Pengusaha mungkin tergiur tarif pajak yang lebih murah, seperti di Singapura. Bahkan ada negara yang tak memungut pajak satu sen pun. Ada juga alasan lain, yakni uang tersebut merupakan hasil korupsi atau pencucian uang. Apa pun alasannya, jelas terlihat ada upaya penghindaran pajak.
Dengan begitu, tujuan pengampunan pajak tidak akan pernah tercapai. Apalagi jika kebijakan pengampunan tidak diikuti dengan penegakan hukum pajak yang keras. Bukan tidak mungkin, kelak pemerintah akan kembali memberikan pengampunan. Hal itu jelas buruk bagi wibawa atau kredibilitas pemerintah. Selain itu, kebijakan ini dengan sendirinya akan "memutihkan" uang haram para pengusaha atau politikus, bukan hanya uang pengusaha yang punya motif menghindari tarif pajak yang tinggi.
Dari pengalaman berbagai negara, termasuk Indonesia sendiri yang pernah melakukannya pada 1964 dan 1984, pengampunan pajak juga tak efektif meningkatkan pendapatan pajak. Argentina (1982), Prancis (1982 dan 1986), dan Belgia (2003) merupakan beberapa contoh kegagalan program pengampunan pajak. Ada dua negara yang dilaporkan berhasil, yakni Kolombia (1987) dan India (1997). Kedua negara ini juga sanggup membuat berbagai kebijakan lanjutan setelah pengampunan pajak, yakni menurunkan tarif pajak, dan menguatkan penegakan hukum pajak yang keras.
Pertarungan Ade versus Setya jelas menunjukkan wajah lain dari upaya pembahasan RUU Pengampunan Pajak. Sudah bisa diperkirakan, ada motif tersembunyi yang kelak akan sangat mewarnai pembahasan RUU ini. DPR dan pemerintah sebaiknya mengkaji ulang kebijakan untuk berkompromi dengan pengemplang pajak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo