Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bertubi-tubi munculnya skandal penyuapan kepala daerah kepada jaksa seharusnya membuat Jaksa Agung H.M. Prasetyo malu. Ini menandakan dia masih gagal membenahi dan memperbaiki sistem di jajarannya. Janji membersihkan korps Adhyaksa dari jaksa-jaksa yang memainkan perkara masih jauh panggang dari api.
Belum tuntas kasus PT Brantas Abipraya yang mengarah ke penyuapan Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Sudung Situmorang, kini Deviyanti Rochaeni, jaksa pidana khusus Kejaksaan Tinggi Jawa Barat, tertangkap tangan. Jaksa perempuan yang menangani kasus penyalahgunaan anggaran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan oleh dua pejabat Dinas Kesehatan Subang, Budi Santoso dan Jajang Abdul Kholik, ini diduga menerima uang Rp 528 juta dari Bupati Subang Ojang Sohandi. Motif penyuapan mungkin agar sang Bupati tidak ikut terseret kasus BPJS tersebut.
Yang mengherankan adalah pernyataan Kejaksaan Agung dan para petingginya. Bukannya langsung meminta maaf kepada masyarakat bahwa ada yang tidak beres dalam tubuh kejaksaan, mereka secara berturut-turut malah cenderung membela bawahannya. Dalam kasus PT Brantas, Jaksa Agung H.M. Prasetyo langsung mengatakan belum tentu Sudung Situmorang tahu bakal disuap. Padahal dua petinggi PT Brantas yang hendak memberikan uang dan tertangkap basah Komisi Pemberantasan Korupsi menyatakan mereka telah berkali-kali berhubungan dengan Sudung.
Dalam kasus Deviyanti Rochaeni, Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Barat Feri Wibisono langsung menegaskan uang yang diambil dari Deviyanti sesungguhnya adalah uang cicilan pengganti kerugian negara dari dua terdakwa, Budi dan Jajang. Mereka harus mengembalikan uang korupsi ke Kejaksaan Tinggi sebanyak Rp 4,7 miliar, sementara sebagian yang lain sudah diangsur. Uang yang diberikan kepada Deviyanti, menurut Feri, adalah angsuran terakhir pelunasan. Tapi pernyataan Feri tak masuk akal. Menurut KPK, uang angsuran itu hanya tinggal Rp 168 juta, sedangkan nilai nominal yang "dititipkan" ke Deviyanti Rp 528 juta. Angka itu jelas sangat jauh melebihi cicilan.
Andai pun itu benar uang cicilan, penitipan uang ke jaksa Deviyanti sudah melanggar kode etik dan prosedur. Mengapa kedua terdakwa harus menyerahkan kerugian negara kepada jaksa yang menangani kasus? Lagi pula, dari mana mereka mendapat dana untuk mengembalikan uang miliaran rupiah itu? Maka memang pantas dicurigai dana itu juga datang dari Bupati Ojang Sohandi. Apalagi di pengadilan pun Budi mengakui penyunatan dana BPJS mengalir ke kantong Bupati.
Dua kasus ini memperlihatkan bagaimana jaksa tidak pernah jera menerima suap walau kemudian tertangkap. Janji Jaksa Agung untuk melakukan pembenahan internal hanya omong kosong. Masih banyak jaksa nakal, korup, menjual perkara, dan mau meringankan tuntutan asalkan dibanderol dengan uang. Dan di bawah H.M. Prasetyo makin terlihat fenomena petinggi kejaksaan berusaha melindungi anak buah mereka yang terindikasi menerima suap.
Setahun lebih menjabat Jaksa Agung, tak ada prestasi Prasetyo yang layak dipuji. Kejaksaan justru mempertegas citranya selama ini sebagai benteng keadilan yang bobrok dan penuh mafia. Dua kasus dugaan penyuapan itu makin membuat marwah dan integritas kejaksaan merosot. Selayaknya, dalam kocok ulang kabinet nanti, Presiden Joko Widodo mengganti Prasetyo dengan figur yang lebih mampu mewujudkan kejaksaan yang bersih dan berintegritas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo