Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Bima TikToker dan Godaan Obral 'Stempel' Hoaks

Respons kritik dengan verifikasi. Jika kritik di media sosial itu terbukti salah, bantahlah di media yang sama.

21 Mei 2023 | 08.30 WIB

Image of Tempo
Perbesar
TikToker, Bima Yudho Saputro yang viral setelah membuat video berjudul Alasan Lampung Gak Maju-Maju. Foto: TikTok/@Awbimaxreborn

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BEBERAPA waktu lalu, Bima Yudho Saputro menjadi buah bibir. Kritik yang dia lontarkan melalui TikTok tentang kondisi jalan di Provinsi Lampung menuai perhatian masyarakat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bima menyebut jalan di Lampung banyak yang rusak. Tidak hanya soal jalan, Bima juga mengritisi tata kelola pemerintahan dan anggaran. Hal itu dianggap sangat terkait dengan kondisi Lampung yang, menurut Bima, tidak maju-maju.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Setelah viral, kritik itu menuai bermacam reaksi. Ada kalangan yang mendukung, ada juga mereka tidak sependapat.

Mereka yang mendukung mencoba untuk membenarkan ucapan Bima. Melalui media sosial, orang-orang ini mengunggah foto kondisi jalan dan infrastruktur di Lampung yang rusak ataupun mangkrak.

Sementara itu, menurut Bima dan sejumlah pemberitaan, aparat pemerintah daerah setempat menemui orang tua Bima untuk menanyakan berbagai hal.

Respons yang sangat frontal terhadap kritik Bima adalah upaya melaporkannya ke polisi. Laporan itu memuat sejumlah keberatan terhadap kritik Bima. Salah satunya, mahasiwa yang sedang menempuh studi di Australia itu dianggap telah menjelekkan nama Lampung dan menyebarkan informasi yang tidak benar alias hoaks.

Polri telah menyatakan tidak ada unsur pidana di dalam aksi Bima di Tiktok. Artinya, laporan polisi tersebut tidak akan ditindaklanjuti. Namun demikian, upaya-upaya kriminalisasi dan intimidasi dengan berlindung di bawah undang-undang atau aturan lain masih mungkin terjadi.

Aksi kontraproduktif

Kita tentu pernah mendengar istilah fake news. Istilah ini menjadi sangat terkenal di seluruh penjuru dunia sesaat setelah Donald Trump resmi menjadi presiden Amerika Serikat waktu itu.

Di awal pemerintahannya, Trump sering mendapat sejumlah pertanyaan tajam, bahkan kritik, dari wartawan. Respons Trump terhadap kritik itu sangat fenomenal. Dia menyebut media yang mengkritik dia, salah satunya CNN, adalah fake news.

Sejak saat itu, istilah itu menjadi sangat terkenal. Sejumlah kalangan, terutama mereka yang memangku kekuasaan, mulai sering mengutip kata fake news.

Namun, kalangan wartawan dan aktivis pengecekan fakta kemudian mengkritisi penggunaan istilah tersebut. Menurut mereka, fake news muncul dan digunakan oleh penguasa untuk “menyerang balik” para pengkritik.

Artinya, setiap konten yang berisi kritik, pendapat, atau aspirasi berpotensi disebut sebagai fake news hanya karena pihak lain, terutama penguasa, tidak menyukainya.

Sebagai gantinya, istilah misinformasi dan disinformasi mulai sering digunakan. Misinformasi terjadi ketika seseorang menyebarkan informasi yang dia yakini benar, padahal informasi itu salah.

Sementara itu, disinformasi terjadi ketika seseorang dengan sengaja membuat informasi yang salah dan menyebarkannya. Kita juga sering menyebut keduanya dengan istilah hoax yang kemudian diserap dalam Bahasa Indonesia menjadi hoaks.

Memang setiap kritik berpotensi mengandung kesalahan. Namun, menggunakan kekuasaan untuk menuding setiap setiap kritik sebagai hoaks adalah tindakan yang kontraproduktif. Apalagi hingga menggunakan celah hukum dan ancaman pidana untuk membungkam pengkritik.

Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) adalah produk hukum yang paling sering digunakan untuk membungkam kritik. Undang-undang ini memiliki sejumlah celah.

Jika saya tidak salah menghitung, UU ITE memiliki 18 ayat ketentuan pidana. Undang-undang ini juga mengatur tentang hukuman penjara dengan rentang antara sembilan bulan hingga 12 tahun. Untuk urusan denda, seseorang bisa dituntut atau dihukum membayar denda antara Rp 600 juta hingga Rp 12 miliar.

Bayangkan, hanya karena tidak suka dengan sebuah kritik, seseorang, baik mewakili diri sendiri ataupun penguasa, bisa dengan mudah mengacu pada UU ITE dan kemudian melaporkan orang lain ke polisi. Laporan itu sangat mungkin “dikemas” dengan tuduhan penyebaran hoaks, ujaran kebencian, atau pencemaran nama baik.

Pengalaman kontraproduktif di negara-negara tetangga seharusnya bisa menjadi pelajaran. Malaysia memberlakukan Anti-Fake News Act sejak 2018. Australia memiliki The Australian Code of Practice on Disinformation and Misinformation.

Dalam perjalanannya, aturan di kedua negara itu mendapatkan sorotan yang luas dari publik. Beberapa kalangan bahkan melihatnya sebagai upaya yang represif dan kontraproduktif.

Mengapa cara-cara semacam itu kontraproduktif? Karena menuding kritik sebagai hoaks sehingga layak dijerat pidana adalah tindakan yang bertentangan dengan prinsip dasar kebebasan berpendapat dan berekspresi.

Prinsip ini secara jelas tertuang di dalam Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi oleh sejumlah negara, termasuk Indonesia. Bahkan, di Indonsia, kebebasan berpendapat tertuang di dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang harus menjadi rujukan semua peraturan yang lebih rendah.

Oleh karena itu, menggunakan kekuasaan dan celah hukum untuk menjerat pengkritik dan menudingnya sebagai penyebar hoaks hanya akan membuahkan kritik lain yang lebih besar dari masyarakat.

Cek Fakta

Digital fact-checking atau pengecekan fakta secara digital adalah cara yang paling pas untuk menyikapi kritik dari Bima dan kritik-kritik lain dari berbagai pihak. Cek fakta adalah strategi verifikasi untuk mengecek kebenaran klaim atau pernyataan dari pihak tertentu.

Oleh karena itu, ada baiknya kritik yang dilontarkan oleh Bima diperlakukan sebagai klaim yang terbuka untuk diverifikasi.

Siapa yang bisa melakukan verifikasi atau cek fakta? Jawabannya adalah semua pihak bisa melakukannya, termasuk wartawan yang bekerja untuk objektivitas dan mereka yang keberatan dengan kritik itu.

Sebenarnya, ada banyak klaim yang dilontarkan oleh Bima dan memungkinkan untuk diverifikasi. Misalnya, apakah pernyataan Bima tentang sejumlah proyek mangkrak di Lampung itu benar? Apakah benar Lampung mendapatkan kucuran dana hingga milaran rupiah dari pemerintah pusat? Apakah benar penegakan hukum di Lampung relatif lemah?

Klaim-klaim itu sangat mungkin diverifikasi dengan mengacu ke berbagai data dari organisasi masyarakat sipil, LSM, data dari pemerintah, ataupun observasi langsung di lokasi.

Jika klaim Bima salah, pihak yang memverifikasi bisa memberikan koreksi dan bantahan. Namun jika klaim-klaim itu benar, maka juga harus diakui kebenarannya dan pemerintah perlu melakukan perbaikan.

Hidup di era internet memang penuh keuntungan sekaligus sarat tantangan. Dengan sokongan perangkat elektronik dan digital, berbagai informasi, pendapat, dan kritik bisa dengan mudah dibuat dan disebarkan.

Jaminan kebebasan berpendapat hendaknya tidak membuat para pengkritik lupa diri. Mereka juga perlu menyusun kritik atau pendapat yang valid.

Sebaiknya, penerima kritik perlu menganggap ini sebagai kenyataan yang memang harus diterima. Jangan tergesa-gesa untuk menempelkan stempel hoaks kepada sebuah kritik.

Respons kritik dengan verifikasi. Jika kritik di media sosial itu terbukti salah, bantahlah di media yang sama. Namun jika benar, mengakulah, kemudian meminta maaf dan memperbaiki diri.

 

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus