PEMECATAN langsung dengan tidak hormat 19 bintara dan tamtama Batalion Lintas Udara 100/Prajurit Setia setelah gerakan penyerbuan dua markas polisi dini hari 30 September di Binjai bisa terkesan agak gegabah dan berlebihan. Pemecatan kilat itu serta pencopotan komandan batalion dan para komandan kompi dari jabatannya, yang dilakukan sendiri oleh Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Ryamizard sehari sesudahnya, dipandang terlalu terburu-buru karena belum melalui prosedur pemeriksaan seperti biasanya.
Sebaliknya, sebagian lain pada umumnya berpendapat langkah cepat Jenderal Ryamizard itu tepat, walaupun belum cukup. Sebab, sanksi dan hukuman harus lebih setimpal dengan kesalahannya. Penyerbuan pada Markas Kepolisian Resor Langkat dan Markas Brimob Kompi A di Binjai itu dilakukan secara terorganisasi, berlangsung selama sembilan jam, dan dengan beringas menggunakan senjata otomatis, mortir, dan granatnya. Korban jiwa sembilan orang, termasuk dua warga sipil, puluhan luka-luka, markas polisi porak-poranda, semua tahanan kriminal di markas itu lepas dan kabur.
Tak ada yang pernah membayangkan bahwa dalam sebuah negara pasukan alat pertahanannya yang terlatih baik bisa bertempur dengan sesama alat negara seperti layaknya berperang melawan musuh dari luar. Disiplin tentara dicampakkan hanya karena konflik yang sumbernya berkaitan dengan masalah membela pengedar narkoba.
Militer tanpa disiplin adalah gerombolan liar bersenjata yang berbahaya dan tidak boleh dibiarkan ada dalam masyarakat beradab. Jenderal Ryamizard sendiri menamakan pasukan Yon Linud 100/PS yang menyerbu polisi di Binjai sebagai "gerombolan bersenjata yang mengatasnamakan TNI." Kalau tindakan Kepala Staf Angkatan Darat Ryamizard dinilai berlebihan, sesungguhnya itu adalah kelewatan yang mutlak diperlukan—a necessary overkill—untuk menegakkan kembali disiplin yang sudah remuk.
Disiplin bukan cuma berisi kepatuhan, tapi sekaligus ancaman ganjaran. Ada cerita Tiongkok kuno tentang seorang kaisar yang menantang jenderalnya agar melatih disiplin tentara pada sekelompok dayangnya. Ketika sang jenderal memerintahkan agar berbaris lurus, di antara dayang-dayang ada yang tertawa bercekikik. Dia dipanggil ke depan dan lehernya dipancung seketika di muka kaisar. Setelah latihan diulangi beberapa kali dengan ganjaran yang sama kerasnya, pasukan dayang itu pun patuh baris-berbaris dengan tertib.
Tamsil dari cerita itu ialah ganjaran harus sepadan betul jika disiplin akan ditegakkan. Seperti diakui Ryamizard sendiri, hukuman seketika yang dijatuhkannya masih belum cukup dan memang belum selesai sampai di situ. Masih ada pemeriksaan lanjutan. Yang lebih penting ialah aspek pidana dari peristiwa ini, karena mengakibatkan sembilan nyawa hilang dan banyak yang luka-luka. Perbuatan ini harus digolongkan sebagai pembunuhan atau setidak-tidaknya penyerangan yang direncanakan lebih dulu karena pelakunya cukup punya waktu untuk berpikir sebelumnya.
Kalau aspek ini tidak diproses, artinya individu tentara yang berbuat akan bebas dari hukuman (mendapat impunity), hal yang selama ini dikecam masyarakat. Dalam konteks disiplin, membebaskan dari hukuman pidana berarti tidak memberikan ganjaran secukupnya untuk bisa menjadi contoh bagi yang lain. Juga bisa timbul kesan seolah-olah ada perlindungan khusus bagi sesama anggota kesatuan TNI. Cara seperti ini adalah cerminan semangat solidaritas korps yang salah tempat, dan salah pakai, yang telah menghasilkan peristiwa Binjai 30 September yang memalukan itu.
TNI belum bangkrut, walaupun terkena aib lagi menjelang ulang tahun ke-57 pada 5 Oktober kemarin. Panglima TNI meminta maaf. Yang penting proses hukum berjalan terus, dan ayunan pukulan Ryamizard untuk membangun disiplin jangan ditarik sebelum sampai benar pada sasarannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini