PROVINSI Sulawesi Utara telah menyiapkan uang pelicin Rp 1,5 miliar untuk Panitia Anggaran DPR yang mengesahkan anggaran belanja tambahan (ABT) bagi daerah itu sebesar Rp 35 miliar. Diduga semua akan lancar karena pemerintah pusat kabarnya juga sudah setuju. Jakarta oke, Manado oke, nah, apalagi.
Wakil Ketua Panitia Anggaran DPR, Engelina Pattiasina, ternyata tidak oke. Mengapa? Engelina tidak setuju ABT itu dibagi-bagi hanya oleh enam anggota panitia kerja tanpa melalui sidang pleno. Dia juga menentang adanya pelicin Rp 1,5 miliar. Kejengkelannya bertambah karena belum lagi anggaran tahun berjalan Sulawesi Utara diperiksa BPKP, provinsi itu sudah sibuk memproses ABT.
Engelina gusar, lalu menolak menandatangani berkas revisi APBN 2002. Senayan gempar, PDIP kembali terguncang. Sebelum ini, anggota DPR yang lain dari PDIP, Indira Damayanti disusul Meilono Suwondo, juga telah membuat kejutan besar dengan menolak tawaran angpau BPPN senilai US$ 1.000.
Sementara Meilono sangat memberikan tekanan pada aksi suap BPPN, Engelina melabrak prosedur kerja di kalangan Panitia Anggaran DPR yang dinilainya janggal. Namun revisi anggaran itu diteken juga olehnya dengan alasan "tidak mau dianggap menghambat pembangunan."
Engelina, Meilono, dan juga Indira Damayanti yang sudah mengundurkan diri dari DPR itu mirip pendekar dengan pedang bermata dua. Mereka menyingkap kebobrokan anggota DPR—selain menerima suap, juga tidak menghiraukan tata tertib DPR—sekaligus mempertontonkan praktek KKN yang dilakukan anggota partainya (PDIP) bersama BPPN (kasus Bank Niaga), pemerintah daerah (kasus Sulawesi Utara), dan Departemen Keuangan (pembahasan APBN). Mereka menunjuk hidung si penerima suap dan si pemberi suap. Di mata hukum, penerima dan pemberi suap dinilai melakukan kejahatan yang sama dan bisa ditindak berdasarkan UU Tindak Pidana Suap Tahun 1980 atau UU Korupsi Tahun 1999. Jadi, selain anggota DPR, petinggi BPPN, pejabat kunci di berbagai departemen dan BUMN, dan juga gubernur bisa dituntut ke pengadilan.
Masalahnya, harus dimulai dari mana? Polisi sebagai satu-satunya instansi yang berwenang menyelidik dan mengusut kini harus bertindak. Mengenai kasus suap, bila lebih dari satu orang sudah bersaksi dan siap memberikan informasi berikut bukti-bukti, perbuatan melawan hukum itu bisa segera diproses. Rabu pekan lalu, Indira memelopori pembongkaran kasus suap DPR-BPPN dengan memberikan kesaksian ke Markas Besar Polisi di Jakarta. Polisi menerima baik kesaksian itu. Namun, untuk bertindak lebih jauh, tampaknya mereka masih melihat ke arah mana angin bertiup.
Memang, untuk mengusut anggota DPR, polisi harus mengantongi izin dari presiden. Sampai di sini prosesnya bisa berbelit karena menyentuh teritori politik. Ketua PDIP Kwik Kian Gie telah mendorong polisi untuk menindaklanjuti kesaksian Indira. Tapi mayoritas suara di PDIP justru berseberangan dengan Indira, Meilono, Engelina, dan Kwik tentu saja. Bahkan ada yang mencari-cari pembenaran dengan menyebut uang suap sebagai uang terima kasih dan tidak sedikit pun mengurangi daya kritis anggota DPR.
Jelaslah PDIP gamang, sementara DPR kedodoran. Kalau sudah begini, polisi tentu tidak boleh ikut gamang, dan lembaga kepresidenan juga tak boleh tampak kedodoran. Yang dipertaruhkan bukan hanya wibawa kepala pemerintahan dan penegak hukum, tapi juga ketahanan ekonomi bangsa. Dengan UU Suap dan UU Korupsi, sebenarnya tidak ada alasan untuk membiarkan tiga pendekar PDIP itu menyelesaikan "pertempuran"-nya sendiri. Kita semua tahu bahwa kasus-kasus suap dan KKN diperkelahikan di medan politik dan ekonomi. Dikhawatirkan, bila aparat penegak hukum tidak menunaikan tugasnya, rakyat akan menggelar pengadilannya sendiri. Akibatnya, kita akan membayar lebih mahal lagi, jauh lebih mahal dari utang BLBI dan utang luar negeri digabung jadi satu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini