Reformasi memang telah mati jika berurusan dengan pemberantasan korupsi, membenahi mental pejabat, dan perilaku anggota parlemen. Tetapi reformasi tidak mati jika urusannya tentang kebebasan berpendapat. Buktinya, ada seorang anak anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) yang menerbitkan buku mengenai kebanggaannya pada PKI, partai yang dinyatakan terlarang di Indonesia itu. Anak PKI itu adalah Ribka Tjiptaning Proletariyati, seorang dokter dan politisi dari PDI Pejuangan. Jelas, Ribka seorang intelektual, yang paham bahwa ajaran Marxisme masih dilarang di Indonesia dan PKI sudah dibubarkan di Nusantara setelah meletusnya peristiwa G30S.
Bagaimana kita harus menyikapi hal ini? Wakil Presiden Hamzah Haz bagai tersengat setrum listrik begitu mendengar kabar ini. Ia langsung memberikan komentar, buku Aku Bangga Jadi Anak PKI itu harus disita oleh aparat kejaksaan. Sedangkan pihak kejaksaan mengaku sedang mencari buku itu untuk kemudian diteliti, apakah berisi ajaran tentang komunisme atau tidak. Buku-buku tentang komunisme memang masih dilarang diedarkan di pasar umum.
Tampaknya, buku yang ditulis oleh Dokter Ribka ini tidak begitu terfokus menyebarkan ajaran komunisme. Ia hanya berisi catatan perlakuan yang dirasakannya tidak adil sebagai seorang anak yang ayahnya menjadi anggota PKI. Ia lebih menceritakan tentang dukanya setelah sang ayah menjadi tahanan politik dan ibunya jadi tahanan kota. Ia lantas berseru kepada para anak PKI lainnya agar tidak menyerah dalam menjalani kehidupan ini, seraya menyebutkan pemerintah Orde Baru-lah yang menyebabkan semua ini terjadi.
Tetapi, kenapa judulnya demikian menantang: bangga menjadi anak PKI? Sejarah Indonesia mencatat, bukan hanya pada akhir 1965 itu PKI melakukan pemberontakan. Ada peristiwa Madiun, yang terjadi jauh hari sebelumnya, justru pada tahun-tahun awal negeri ini merdeka. Terlepas apakah sejarah yang ditulis, dibaca, dan diketahui secara luas oleh anak bangsa ini perlu direvisi, pemberontakan PKI di Indonesia sampai saat ini masih diyakini sebagai sesuatu yang sudah terjadi. Tidak ada pernyataan yang secara tegas—apalagi yang dikuatkan oleh perangkat hukum—menyatakan bahwa PKI tidak melakukan pemberontakan. Jika demikian halnya, sejauh mana kebanggaan pada institusi pemberontak ini harus dikampanyekan lewat sebuah buku? Jika ada orang bangga pada perampok, bangga pada koruptor, bangga pada pemabuk, apakah kebanggaan itu etis untuk diteriakkan dengan lantang? Orang boleh bangga pada orang tuanya yang dituduh perampok—apalagi kalau anak itu tak yakin ayahnya perampok. Tetapi bisakah sang anak bangga pada perampok sebagai profesi, sebuah perilaku yang sangat bertentangan dengan hak asasi manusia dan agama?
Namun, kita perlu juga berkepala dingin dalam menyikapi penerbitan buku ini. Kalau hanya main larang, itu adalah tabiat pemerintah Orde Baru yang tidak perlu kita jadikan pelajaran. Biarlah penilaian terhadap buku ini kita uji kepada publik, sekaligus untuk mendidik dan mencerdaskan masyarakat bagaimana kita bisa berbeda pendapat dengan santun. Jika muncul keberatan, biarkan pula keberatan itu ditulis dalam media yang sama. Adalah kebetulan, ketika Ribka meluncurkan buku ini, di tempat lain ada peluncuran buku Kunang-Kunang Kebenaran di Langit Malam, yang ditulis oleh keluarga korban dan saksi peristiwa dini hari 1 Oktober 1965.
Pelarangan buku seharusnya tidak terjadi lagi. Tentunya terbuka lebar penyelesaian secara hukum jika sebuah buku memunculkan persoalan yang lebih gawat. Misalnya, atas nama kebebasan berpendapat, orang seenaknya menulis buku yang mencela orang lain, apalagi mencela keyakinan seseorang. Mereka yang dirugikan bisa menggugat penulis buku itu, dan peredaran buku tersebut pun hanya bisa ditarik atau dilarang atas keputusan pengadilan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini