KALAU hanya mengandalkan gaji, agak mustahil M.A. Rachman bisa membeli rumah mewah di Graha Cinere itu. Bangunan dua lantai itu luasnya 1.300 meter persegi, berada di kawasan mahal yang asri. Harga semurah-murahnya: Rp 1,8 miliar. Yang jadi soal, bagaimana caranya seorang Jaksa Agung RI yang membawa pulang Rp 20 juta sebulan bisa memilikinya.
Mari kita hitung. Seandainya dana Rp 1,8 miliar itu dipinjam dari bank, dengan bunga 18 persen setahun, dengan jangka pinjaman selama sepuluh tahun, itu artinya M.A. Rachman harus membayar Rp 43 juta sebulan. Bahkan kalau Rachman (dan istri serta tiga anaknya) puasa makan dan minum selama sepuluh tahun pun ia semestinya belum bisa menjangkau rumah di Blok E2 Nomor 11 Graha Cinere itu. Tentulah ini jika kita berpikir lurus-lurus saja: Rachman menjauhi segala bentuk sabetan dari kanan dan kiri, mengharamkan setiap bentuk sumbangan atau tanda terima kasih dari siapa pun.
Kenyataannya, Rachman mengakui memiliki rumah mewah itu. Dari mana pun asal-usul harta untuk membelinya, Jaksa Agung yang baru setahun menjabat itu sebenarnya bisa bebas masalah. Asal, dia mencantumkan semua harta itu di dalam formulir kekayaan yang disetorkannya kepada Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara pada 10 Juli 2001.
Rachman bisa bebas perkara karena inilah pertama kali Komisi Pemeriksa Kekayaan itu meminta kekayaan pejabat didaftar. Apa pun dan berapa pun harta yang dicantumkan sang pejabat, praktis akan diterima sebagai data kekayaan awal. Sejak Komisi dilantik Presiden Abdurrahman Wahid pada Oktober 2000, belum pernah ada pejabat yang dipersoalkan hartanya—walaupun Komisi punya kewenangan bertanya jika ada "keanehan".
Tapi, sayang, Rachman tak memasukkan rumah Graha Cinere itu. Sampai akhirnya seseorang melapor kepada Komisi tentang rumah itu. Rachman pun diperiksa Komisi. Jawaban Rachman, walaupun terdengar logis, mengandung sesuatu yang tak wajar: bahwa rumah mewah itu dibeli dari uang hasil perkawinan anaknya pada tahun 1999. Apakah mungkin dalam semalam terkumpul angpao perkawinan sampai miliaran rupiah begitu? Kesan tak wajar ini semakin kuat tatkala mendengar jawaban Rachman atas pertanyaan Komisi tentang deposito Rp 800 juta yang dimilikinya. Dia bilang deposito itu didapatnya dari seorang pengusaha Jawa Timur yang pernah ia tolong, tapi, "tidak berkaitan dengan perkara." Lalu dalam kaitan apa tolong-menolong itu dilakukan jika diingat Rachman tidak terdengar mengurusi bisnis lain, selain menjadi jaksa yang merintis karir dari bawah sejak 35 tahun yang lalu?
Pembelaan Rachman bahwa rumah itu sudah diserahkan kepada anaknya sebelum formulir kekayaan dilaporkannya kepada Komisi ternyata juga sangat lemah. Selain ada data lain yang menunjukkan bahwa Rachman menyerahkan rumah itu setelah laporan kekayaannya diterima Komisi, proses jual-beli rumah Graha Cinere itu sangat berbau "anyir". Rumah itu kemudian dijual putri Rachman kepada Husen Tanoto. Nama terakhir ini adalah bapak Suryo Tan, pengusaha yang lama dekat dengan Rachman dan disebut orang kejaksaan sebagai calo perkara. Sulit mengatakan ini suatu kebetulan belaka.
Apalagi ketika diketahui bahwa ia "menugasi" Kito Irkhamni, seorang jaksa yang menjadi stafnya, untuk mengumpulkan "tanda terima kasih" dari orang-orang yang mengenalnya. Konflik pecah antara keduanya ketika Kito kewalahan dengan pengeluaran pembangunan yang deras, sementara duit tak mengalir dari kocek Rachman. Entah ada hubungan atau tidak, Kito kemudian dimutasi ke Bangka.
Semua sudah gamblang. Jaksa Agung M.A. Rachman patut diduga melakukan perbuatan yang bisa dikatakan sebagai "memperdagangkan jabatan", dan ini sangat melenceng dari sumpah jabatannya. Tapi, pertanyaan besarnya: siapa yang harus memeriksa seorang Jaksa Agung?
Komisi Pemeriksa Kekayaan sudah memeriksa M.A. Rachman. Komisi bisa saja melaporkan pemeriksaan itu kepada polisi, dan bukan kepada jaksa, tapi pastilah polisi akan mengirim berkas hasil penyelidikannya ke alamat kejaksaan juga nantinya. Di sinilah munculnya konflik kepentingan itu: agaknya mustahil ada jaksa—yang secara administratif adalah bawahan Jaksa Agung—yang berani menjatuhkan tuntutan berat untuk bosnya sendiri.
Seharusnya, kasus begini ditangani oleh Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Namun Komisi yang seharusnya dibentuk pada Agustus setahun lalu itu belum juga diwujudkan oleh pemerintah dan DPR. Padahal, Komisi Pemberantasan Korupsi adalah amanat Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi Tahun 1999.
Kendati Komisi Pemberantasan Korupsi belum dibentuk, bukan berarti kasus Jaksa Agung ini bisa digantung-gantungkan sampai Komisi terbentuk atau sampai ada keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Ongkos yang harus ditanggung pemerintah kelewat mahal. Apalagi jika cita-cita membersihkan kejaksaan masih menjadi prioritas.
Ada jalan yang lebih sederhana. Komisi Pemeriksa Kekayaan telah menemukan ada harta yang tidak dilaporkan, Rachman pun telah mengakuinya—walau ia bertahan itu bukan pelanggaran. Kini tinggal Komisi Pemeriksa Kekayaan menyatakan apa yang dilakukan Rachman ini sebagai pelanggaran. Setelah itu, ingatkan saja Jaksa Agung tentang apa yang tertulis di akhir formulir kekayaan. Yaitu, pejabat yang bersangkutan secara moral bersedia mengundurkan diri bila di kemudian hari diketahui bahwa laporan hartanya disusun bukan atas keadaan yang sebenarnya.
Kalau benar kabar bahwa Rachman sudah bersedia mundur, sebaiknya itu tidak disertai syarat apa pun, misalnya soal penggantinya. Sebab, skandal rumah Cinere ini saja sudah menunjukkan betapa institusi itu ternyata masih "belepotan" sampai ke pucuk pimpinannya. Dengan kondisi begitu, hanya "orang luar" yang bisa diharapkan memperbaiki kejaksaan, sekaligus menuntut Rachman dengan hukuman yang setimpal dengan kesalahannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini