Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KOMISI Pemilihan Umum bekerja serampangan dalam menyiapkan pemilihan umum tahun depan. Itu terlihat sejak awal. Ketika komisi yang sekarang dipimpin Husni Kamil Manik ini memutuskan 18 partai tidak lolos verifikasi administrasi, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu langsung membatalkan ketetapan itu. KPU dinilai tidak melakukan verifikasi dengan benar. Akhirnya, 18 partai itu langsung mengikuti verifikasi faktual.
Ketidakpuasan atas kerja KPU itu sempat mengundang gugatan dua partai politik. Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia mengadu ke Badan Pengawas Pemilu. Partai Bulan Bintang melakukan upaya hukum ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Akibat kelemahan KPU, dua lembaga hukum itu kemudian meloloskan PKPI dan PBB mengikuti Pemilu 2014.
Blunder terjadi lagi pekan lalu. Kali ini lantaran KPU mengesahkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum, yang bila tak segera dikoreksi bakal merusak sendi-sendi demokrasi kita. Entah apa yang dipikirkan KPU ketika merumuskan Pasal 46, yang memberikan otoritas bagi dirinya untuk menjatuhkan sanksi bagi media cetak dan elektronik. Sanksinya pun tidak kepalang tanggung. Media yang melanggar aturan kampanye diancam hukuman pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran dan pencabutan izin penerbitan media cetak.
KPU bertindak ceroboh. Peraturan ini jelas menabrak Undang-Undang Penyiaran dan Undang-Undang Pers. Dalam tatanan hukum Indonesia pun, peraturan jelas "kalah pangkat" dibandingkan dengan undang-undang. Agak memalukan melihat para komisioner KPU tidak tahu bahwa izin media cetak sudah dihapuskan pada era reformasi. Jangan-jangan KPU tak tahu pula Departemen Penerangan—yang dulu punya kewenangan mencabut izin penerbitan media cetak—telah dibubarkan Presiden Abdurrahman Wahid (kini telah wafat).
Bila pengetahuan "dasar" saja sudah tak dikuasai, tidak terlalu mengherankan bila KPU alpa mengikuti putusan Mahkamah Konstitusi sekitar pemilu. Ambil contoh pembredelan yang pernah muncul dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang pemilihan presiden dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang pemilihan anggota legislatif. Pembredelan itu telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi pada 2009.
Lagi-lagi KPU kurang melakukan riset ketika melansir peraturan yang mencantumkan larangan menyiarkan berita seputar calon peserta di hari tenang. Padahal, pada 2009, Mahkamah Konstitusi pun telah membatalkan soal ini. Mahkamah Konstitusi dengan tepat beranggapan pemilih berhak mengetahui informasi apa pun tentang kandidat sampai detik-detik terakhir menjelang pemilihan.
Yang lebih mengundang tanda tanya, ternyata KPU sudah melakukan konsultasi dengan Komisi Pemerintahan Dewan Perwakilan Rakyat akhir tahun lalu. Toh, pasal-pasal represif itu tetap lolos. Sebagian anggota DPR mengatakan telah mengingatkan KPU tentang pasal-pasal bermasalah itu. Kalau DPR bisa dipercaya, artinya KPU tak mampu menyerap aspirasi rakyat. Tapi bisa saja di Senayan memang berkembang pikiran untuk "mengendalikan" media dalam kontestasi politik lima tahunan itu dan KPU "menampung" pikiran ini.
Apa pun penyebab lolosnya pasal-pasal usang yang represif ini, sekadar kecerobohan atau nafsu membungkam media, KPU tak boleh melanggar undang-undang dengan mencampuri pemberitaan pers. Media sudah diatur oleh Undang-Undang Penyiaran dan Undang-Undang Pers. Bila KPU ingin punya andil membangun fondasi demokrasi yang benar, Peraturan KPU harus cepat direvisi. Selanjutnya, bekerjalah profesional agar pemilu berlangsung jujur, aman, dan bersih.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo