Dengan merujuk pada tokoh fiktif Hanafi, yang kehilangan identitas dan harga diri dalam roman Salah Asuhan karya Abdul Muis, Muhammad Ali meradang dan menegatifkan Barat, Barat sedang menuju kehancuran lahir batin karena telah berubah menjadi pusat malapetaka dunia dalam sumber segala kerusakan. Bahkan lebih ganas lagi, di sana begitu banyak moncong bertaring berlumuran darah yang menganga siap memangsa kita. Untuk itu, ia menganjurkan agar dalam menuntut ilmu tidak perlu menoleh ke Barat (TEMPO, 6 April 1991, Komentar). Lama juga saya merenungkan gagasan tersebut. Pandangan Muhammad Ali yang terasa tajam dan berani itu tidak hanya sederhana. Tetapi lebih dari itu, juga memerlukan sikap lebih jujur dan adil dalam melihat permasalahan agar tidak terjebak ke dalam cita rasa subyektif, yakni merasa bersih dan benar sendiri sebagai bangsa. Ketika melihat dampak kultur kita sendiri, kita bisa mengatakan "bahwa setiap kultur dari suatu etnis mempunyai segi positif dan negatif -karena proses pencarian itu sendiri berakar dari ketidaksempurnaannya sebagai manusia -- adalah sesuatu yang wajar". Artinya, ketidakdisiplinan, ketergantungan, kriminalitas, manipulasi, ketamakan, dan kekorupannya sebagai dampak adalah sah saja karena mitos "dalam proses" itu. Maka, menuding Barat sebagai sumber malapetaka semata -menuduh adaptasi sebagai pangkal kehancuran nilai-nilai ketimuran -dengan melupakan manfaat yang diperoleh dan tidak menimbang kekurangan diri, juga tidak dapat dibenarkan. Bahwa ada yang alergi karena di Barat lebih mudah "buka paha tinggi-tinggi", pamer "sekitar wilayah dada" atau beberapa yang lebih seram lagi, boleh-boleh saja. Atau, boleh jadi kita sudah merasa risi melihat perilaku bebas, sikap congkak, dan postur tinggi mereka yang punya pergesekan dengan kultur masyarakat Barat yang cenderung longgar. Tapi apa yang hendak kita sebutkan bagi Barat akibat persentuhan para pakar ekonomi kita dari Barkeley, Nurcholish Madjid dari Chicago, B.J. Habibie dari Jerman, dan Daoed Joesoef dari Prancis dengan budaya (ilmu pengetahuan) mereka? Ternyata, adanya nilai lebih dan manfaat keberadaan Barat sebagai pusat ilmu pengetahuan, teknologi, sumber dana, pemasok senjata bagi tatanan dunia Timur, sampai saat ini sulit untuk dibantah. Lantas, bagaimana Muhammad Ali melihat budaya (perilaku) kita ketika melihat puluhan kampung dibakar, tanaman penduduk dibabat, bangunan dihabisi menjadi dataran hitam hangus di Pulau Panggung, Lampung Selatan? Memang di sana tidak ada darah, tak ada ledakan, dan tidak ada guncangan seperti di bronx New York dan kampung kumuh di Chicago. Yang ada hanya penduduk lintang-pukang menyelamatkan harta meninggalkan kampung sambil terisak-isak menangis. Nah, di mana letak kelebihan keluhuran budaya (perilaku) Timur (kita) kontemporer dibanding dengan Barat kini? ASADI RASYID, S.H. Jalan Kresna Depok II Tengah Kotip Depok Jawa Barat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini