Eko Supriyanto
Koreografer
Hidup kita adalah untuk saling berkomunikasi dan bertemu. Kemajuan informasi akhirnya mengupayakan kita agar dapat melihat ke luar rumah. Keingintahuan memacu kita untuk mencari "lebih" akan jalan hidup yang baru. Di bidang seni, ada keinginan akan pemahaman cara-cara dan rasa baru terhadap budaya baru. Kolaborasi antar-budaya, atau yang lebih tren kita sebut sebagai intercultural collaboration, cross culture, atau multicultural, semakin semarak seperti tumbuhan subur yang sedang mekar. Sebut saja contohnya Mugiyono Kasido, seorang seniman dari Solo. Ia mendapat bantuan dana dari Ana Foundation dan Yayasan Kelola, dan saat ini sedang mengerahkan kemampuannya untuk berkolaborasi dengan penari topeng dari Thailand. Atau lihat pula S. Pamardi, yang sering diundang pentas dan berkolaborasi dengan seniman tari dari Filipina. Masih banyak lagi seniman tari, musik, atau perupa yang mendapat kesempatan atau tawaran untuk berkolaborasi antar-bangsa/budaya.
Permulaan kancah ini, menurut saya, adalah saat yang penting dan membutuhkan perhatian serius dalam proses tersebut, adalah permulaan dari sebuah operasi yang dalam dan ideal untuk membuka diri, tanpa harus meninggalkan daya intelektual kita untuk menghadapinya. Ini adalah sebuah proses untuk menuju suatu hasil, dan hasillah yang akan menentukan sebuah format bentuk kerja sama. Beberapa kasus terdahulu—karena ada beberapa keraguan, ketidakpastian, ketidakbijaksanaan atau kesalahpahaman—kolaborasi interkultural dirasa hanya "jump the gun" atau mengarah pada proses yang sepihak pada kekuatannya. Dan pada akhirnya ia membuahkan hasil yang terlalu dini. Suatu contoh, seorang koreografer Amerika mungkin tidak memperhatikan latar belakang ide gerakan tari India. Tanpa penelitian dan tanpa pengetahuan dasar latar belakang tari tersebut, ia telah memfungsikan teknik tari untuk keuntungan materi pribadi. Ia serupa atau sebaliknya dengan seorang penata tari dari India yang mungkin hanya menggunakan teknik jatuh dan berguling, disertai dengan penggunaan teks kata-kata sebagai tanda paling mudah untuk menyebut sebuah tarian kontemporer Barat, tanpa mengetahui mengapa dan bagaimana. Sudah selayaknya pula pengharapan identitas budaya akan melibatkan tubuh sebagai agen dari representasi budaya, pengalaman hidup, dan teknik yang nyata. Di samping itu, juga perbedaan pada gaze atau cara pandang keduanya, seniman pelaksana, dan masyarakat penikmat seni.
Bersamaan dangan uraian sebelumnya, pada bukunya Choreographing Difference; the Body and Identity in Contemporary Dance, Ann Cooper Albright mengemukakan bahwa Chuck Davis African-American Dance Ensemble, "biasanya mementaskan karyanya dengan sebuah format pertunjukan presentasional yang saya temukan menjadi sangat problematis," karena, "struktur presentasional dari cara melihat/pandang (gaze) itu kurang mendapat banyak tantangan pada situasi tari sekarang ini. Itulah mengapa pertunjukan tari semacam ini akan dengan mudahnya membidik, mengarah, dan menjurus pada ideologi rasis yang membingkai penari sebagai 'spectacles' dari yang 'lain' sebagai tubuh yang berkulit hitam." Albright khawatir dengan presentasional menjadi satu sisi tontonan, dan menyebutnya sebagai warning: "Kita harus berhati-hati untuk tidak mengasumsikan bahwa keragaman merupakan kesatuan."
Akan tetapi saya percaya, Albright membuat pernyataan yang sangat berisiko ketika berbicara tentang sejarah sebuah tradisi. Ada kemungkinan dia tidak sepenuhnya sadar akan arti sebuah tradisi. Dia bahkan mungkin menstereotipekan tari Afrika dengan kegagalan cara pandang (gaze) sisi berbeda dia dari bentuk formatnya.
Perbedaaan bentuk cara pandang dari teori gaze adalah untuk mengangkat rasa dan energi pada tarian. Gaze memerlukan sebuah pertanyaan: bagaimana pendapat para koreografer tentang kebudayaan yang "dalam" dan "asli"? Mereka mempertahankan kebudayaan pada sebuah koreografi. Yang lebih baik lagi, bagaimana mereka menginginkan penonton untuk ikut berhubungan dengannya. Dalam kekuatan yang dinamis pandangan ini, para kolaborator kebudayaan akan punya kekuatan atau keputusan besar yang dijadikan bahan percobaannya. Sebagai contoh, apakah yang mereka inginkan dalam membuat dinamika perubahan-perubahan pandangan yang meliputi kedua tradisi mereka dan kepribadian zaman sekarang dari tarian? Dapatkah konsep atau pikiran para koreografer yang terkenal oleh gagasan kebudayaan memperkuat pandangan yang kurang terkenal dan pada pokok permasalahannya? Adakah kemungkinan munculnya peranakan (keturunan), misalnya? Apakah perubahan dari dua kebudayaan itu bermanfaat atau merusak?
Contoh yang menarik dari peranakan adalah pandangan tradisional dengan zaman sekarang yang muncul dalam Revendanse-nya Zab Maboungou. Zab adalah seorang koreografer perempuan Kanada keturunan Afrika yang menganggap dirinya penari kontemporer Afrika. Dalam tariannya, ia menggunakan gerak-gerak tradisional Afrika dalam interpretasinya. Hasilnya sangatlah bersifat pribadi, suatu uraian pengalaman pribadi yang dekat sekali dengan irama/tempo yang mendalam di tariannya. Ini sangat jelas dan kontras dengan kenyataan dan konsep gambaran tarian Afrika, yang terkesan berwarna-warni dan dengan kekuatan orientasi tarian kelompok. Penonton dan para pengkritik dibingungkan oleh apa yang terdapat pada tarian kontemporer Afrikanya, karena dia mencampur gaze zaman sekarang dengan gerak-gerak tradisi. Komunitas orang Afika-Kanada tidak menerimanya karena karya Zab tidak murni tarian tradisional Afrika. Bagaimanapun, ia juga tidak bisa disejajarkan dengan seniman tari avant-garde Eropa karena gerakan-gerakannya masih ada dalam perbendaharaan tarian Afrika. Itu tampak jika pekerjaannya tidak berbobot yang "berat" dalam sebuah konsentrasi yang cukup untuk menerima dukungan, terlebih jika karena ia peranakan/hibrid, atau bahkan penerusnya, akan dicap keluar dengan sendirinya. Situasi seperti ini, saat penari menjadi unik tetapi dunia tidak tahu bagaimana cara merasakan atau mendukungnya, adalah hal yang memalukan. Tapi, di sisi lain, itu sangat liberal. Di satu kasus, untuk memecahkan permasalahan budaya yang terkotak-kotak. Dan di kasus lainnya, memaksa untuk menginterpretasikan tarian tradisional.
Dalam pendapat saya, percampuran dua kebudayaan tidaklah mungkin kecuali kebudayaan mampu mencari, menguasai, dan mengejawantah (embody) dalam kekuatan dan identitas diri. Zab tampaknya akan sukses dalam mengembangkan atau memperluas basis dari tarian Afrika dan tarian kontemporer tanpa memanfaatkan atau menghilangkan nilai inisial terpenting mereka atau harga dirinya.
Banyak diskusi penting yang terjadi pada permulaan sebuah proses koreografi. Dialog terbuka merupakan hal yang dijadikan latar belakang berpikir. Koreografer mungkin mempertanyakan alasan dan motivasi sebuah teknik asing. Contohnya, tari klasik India. Mengapa tarian itu menggunakan mata dan tangan dengan sangat dominan? Melambangkan apakah ketiga cara berdiri atau standing pose-nya? Apa teori keindahan dari "rasa"? Apakah tarian klasik tersebut mengacu pada epik Ramayana/Mahabarata, Vedas, ataukah Yoga? Apakah tarian itu berasal dari pedesaan, istana, atau dari tempat kediaman selir-selir raja? Pada masyarakat Amerika/Barat, mengapa ada kebutuhan pasca-modernisme atau teknik pelepasan (release)? Mengapa lantai dan kehalusan gerak punggung sangat penting pada gerakan tari kontemporer Amerika? Mengapa ada begitu banyak teks pribadi dan autobiografi ketika menari? Beberapa hal ini merupakan konsep yang penting untuk dijawab dan dijelaskan bagi koreografer/penari yang terlibat dalam proses kolaborasi antar-budaya. Adakah hal-hal esensial yang harus dihindari atau boleh dilakukan oleh orang lain yang punya latar belakang sebaliknya? Proses diskusi, question and answer dari dua kolaborator, akan sangat diperlukan. Dan lebih menghargai kultur atau budaya orang lain adalah nilai plus sebuah hasil kolaborasi yang maksimal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini