IA masih terhitung keturunan Kaisar Charlemagne. Ia punya
hubungan keluarga --lewat darah ataupun pernikahan -- dengan
hampir seluruh raja di Eropa.
Louis Mountbatten memang nampaknya sudah terlahir untuk
menduduki jabatan tinggi. Ketika di musim gugur tahun 1943 ia
ditawari oleh Perdana Menteri Churchill untuk menjadi Panglima
Tertinggi Sekutu di Asia Tenggara, ia minta waktu 24 jam buat
berfikir.
"Kenapa," kata Churchill. "Apakah tuan mengira tak akan dapat
melakukannya?"
"Bukan," jawab Mountbatten. "Saya menderita kelemahan sejak
lahir, yakni selalu menyangka saya bisa melakukan apa saja."
Toh sangkaan semacam itu sering terbukti. Di balik kegemarannya
berpesta dan main polo, Mountbatten sebenarnya seorang perwira
yang serius, dan keras dalam bekerja. Juga ketika saudara
sepupunya, Raja George VI, menunjuknya jadi Wakil Raja Inggeris
(Viceroy) untuk India.
Waktu ia berumur 21 ia memang pernah berkunjung ke negeri
jajahan itu, di mana ia disambut dengan kemegahan yang tak
tepermanai dibawa bepergian dalam kereta api putih, diajak
berburu harimau, ikut berkendara gajah di malam purnama, dan
hadir pada pelbagai resepsi serba elegan yang disajikan oleh
pangeran-pangeran Hindi. Maka dalam buku hariannya di bulan
Nopember 1921 Mountbatten muda pun mencatat: "India adalah
negeri paling menakjubkan, dan Viceroy adalah jabatan yang
paling menakjubkan di dunia."
Paling menakjubkan? Tapi tahun 1947 bukanlah tahun 1921. India
sedang di ambang kemerdekaannya. Tanah jajahan itu mau lepas
dari tahta Inggeris.
Sejarah pun mempertemukan Mountbatten dengan seorang tua berumur
77 tahun yang pendek dan gundul: Gandhi. Keduanya dengan segera
jadi lambang dari dua sisi India menjelang Agustus 1947.
Setidaknya, merekalah tokoh utama dari buku Freedom At Midnight,
karya Larry Gollins dan Dominique Lapierre.
Gandhi tentu saja bukan Lord Mountbatten yang berseragam necis.
Ketika Januari 1947 Mountbatten berbincang dengan Raja George VI
di ruang dalam Istana Buckingham, Gandhi mengunjungi desa-desa
di Noakhali, diiringi kemenakanannya, Manu -- yang membawa alat
pintal sederhana, Bhagavad Gita, Qur'an, dan buku tentang Jesus.
Ia tengah mencoba mendamaikan orangorang Islam yang tengah
bentrok berdarah dengan orang Hindu.
Itu tidak berarti antara sang Vicero dengan pemimpin India itu
tak ada semacam persintuhan hangat. Di bulan Juli, di suatu
siang, pak tua itu masuk ke ruang studi Mountbatten. Orang yang
pernah dipenjarakan Inggeris itu menawarkan suatu kehormatan
kepada sang wakil penjajah: Gandhi mengundang Mountbatten untuk
jadi Gubernur Jenderal bagi India, setelah kemerdekaan yang
sedang disetujui bersama diproklamasikan.
Mountbatten, yang menghormati Gandhi, terharu. Hampir terbit
airmatanya. Ia mengucapkan terimakasih. Namun Gandhi,
menambahkan, bahwa untuk itu Istana Viceroy, dengan taman-taman
Moghulnya, dengan segala kemewahannya, harus ditinggalkan. Semua
benda itu merupakan penghinaan bagi rakyat jelata India yang
melarat. Tinggallah di rumah bersahaja, kata Gandhi. Kita tahu
kemudian bahwa Mountbatten memang bukan Gandhi. Kita juga tahu
bahwa banyak orang bukan Gandhi. Seperti dikatakan oleh
pengarang Freedom at Midnight, cita-cita Gandhi tentang cara
hidup adalah sebuah cita-cita yang sempurna untuk
manusia-manusia yang tak sempurna.
Manusia memang bukan semuanya wali. Tapi mungkin sejarah juga
mengajari kita, bahwa keadaan tak sempurna bukanlah dasar untuk
terus-menerus menghalalkan kerakusan. Keadaan tak sempurna itu
justru alasan untuk kesediaan ditegur, untuk mengerti rasa malu
dan rasa dosa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini