SEKALIPUN resminya Pelita III baru mulai April tahun depan,
namun Presiden Soeharto sudah memaparkan garis besar yang akan
menjadi sasarannya. Dari pidato kenegaraannya di depan DPR, 16
Agustus, jelaslah bahwa gambaran ekonomi Indonesia sudah tak
secerah lima atau sepuluh tahun lalu.
Presiden menggambarkan perobahan strukturil yang akan terjadi di
bidang APBN sebagai akibat merosotnya peranan minyak dalam
penerimaan negara. Dikatakannya bahwa penerimaan minyak
diperkirakan tidak akan meningkat atau meningkat dengan sedikit
sekali. Jelaslah bahwa zaman keemasan minyak ini agaknya sudah
berakhir bagi Indonesia. Dan kalau APBN mesti memenuhi kebutuhan
pembangunan yang makin bertambah, maka peningkatan sumber lain
harus dikembangkan.
Ancaman terhadap minyak Indonesia ini memang sudah berlangsung
beberapa waktu dan dari beberapa sumber. Di Jepang dan pantai
barat AS, yang selama ini merupakan pasaran utama minyak
Indonesia, saingan minyak dari RRC dan Alaska makin menggeser
minyak Indonesia. Ini belum termasuk usaha RRC untuk melakukan
eksplotasi minyaknya. RRC baru-baru ini telah melakukan
pendekatan dengan empat perusahaan minyak raksasa AS --
Pennzoil, Exxon, Union Oil dan Philips Petroleum -- untuk
menggali sumber minyaknya di lepas pantai. Bila terlaksana
kelak, ia bisa menarik investasi sebesar US$50 milyar dari
sekawan perusahaan minyak tersebut.
Sumber minyak RRC diperkirakan berjumlah sampai 20 milyar
barrel, sekitar 13, 3% dari sumber minyak Arab Saudi. Di samping
saingan seperti ini, maka usaha penghematan dan konservasi
energi yang dilakukan oleh negaranegara industri memang akan
mengurangi permintaan mereka terhadap minyak.
Selama lima tahun terakhir ini. penerimaan minyak merupakan 75
sampai 80% penerimaan dalam negeri. Pada APBN 78/79 sekarang
ini, penerimaan dalam negeri diperkirakan akan mencapai Rp 2808
milyar, Rp 2067 milyar di antaranya akan berasal dari pajak
perseroan minyak. Dan tahun ini penerimaan minyak hanya akan
naik 6%, tahun sebehmnya naik 20%.
Dengan demikian maka sumber nonminyak terutama yang berasal dari
pajak pendapatan dan perseroan harus meningkat. Menurut
Presiden jumlah penerimaan pajak ini ditambah dengan hasil gas
cair alam (LNG) akan melebihi penerimaan minyak selama Pelita
III ini.
Hak Swasta
Fokus lainnya dalam pidato kenegaraan tersebut adalah pola
investasi yang akan terjadi selama Pelita III nanti. Menurut
Presiden, dalam Pelita III nanti akan diadakan penelitian yang
cermat atas pola investasi dan pemilihan teknologi yang tepat
hingga produksi nasional dapat meningkat dengan biaya investasi
yang sekecil mungkin. Ini adalah masalah apa yang oleh ekonom
disebut rasio antara pertambahan investasi dan hasil (ICOR),
yang angkanya bisa dijadikan ukuran sejauh mana investasi
memberi hasil dengan efisien.
Kenaikan produk domestik bruto Indonesia sejak 1974 adalah Rp
2403 milyar pada nilai konstan 1973, dan untuk memperoleh
kenaikan pendapatan tersebut telah diperlukan pembentukan modal
domestik bruto sebear Rp 7209 milyar, yang berarti bahwa ICOR
untuk Indonesia adalah sekitar 3. Oleh beberapa ekonom ini
dianggap terlau tinggi.
Memang banyak yang tak puas dengan pola investasi yang terjadi
selama ini. Biayanya mahal, sifatnya padat modal, kurang sekali
menyerap tenaga kera, dan masa tenggangnya sampai menghasilkan
produksi terlalu lama. Di samping itu kebanyakan investasi
berorientasi pada pelayanan konsumen kelas menengah dan tinggi
di kota-kota.
Kebijaksanaan apa pun yang akan dilakukan pemerintah di bidang
investasi nanti harus mengingat bahwa kini lebih dari 1 juta
tenaga kerja mengalir ke pasar tiap tahun: suatu beban yang luar
biasa bila tak bisa diserap oleh investasi. Sayangnya, seperti
dikatakan Presiden, investasi pemerintah pusat selama Pelita III
nanti akan memegang peranan yang lebih kecil jika dibanding
peranannya selama Pelita II. Ini berarti sebagian besar
investasi harus berasal dari sektor swasta, baik nasional maupun
asing.
Dilemma yang akan dihadapi pemerintah nanti dengan sendirinya
adalah bagaimana pemerintah akan mengarahkan investasi swasta
ini ke arah yang dikehendaki, tapi di lain pihak tetap memberi
hak kepada swasta untuk memperoleh laba yang cukup merangsang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini