INILAH pidato kenegaraan 17 Agustus yang jatuh di pertengahan
puasa. Berbeda dengan tahun lalu, yang jatuh di awal Puasa,
kali ini tak banyak kisah sukses ekonomi diulangi Presiden.
Membawakan pidatonya selama 2 jam pada 16 Agustus malam,
Presiden banyak bicara soal "pemerataan pembangunan." Namun ia
mengisyaratkan bahwa tahap Pelita III yang akan dimulai awal
April tahun depan akan terasa berat. "Lima tahun mendatang ini
sungguh merupakan kurun waktu yang sangat menentukan . . . ",
katanya. Dan di akhir pidatonya yang 58 halaman itu, Presiden
mengakui bahwa "masa depan itu jelas bukan seindah malam bulan
purnama." Tapi "tetap masa perjoangan mengarungi lautan
pembangunan."
Menurut Presiden, "lautan pembangunan" yang akan dikarungi dalam
5 tahun mendatang itu diperkirakan akan mencapai laju
pertumbuhan 6,5%. Perkiraan ini lebih kecil dari Pelita II yang
mencanangkan laju pertumbuhan 7,5% sampai 9%, meskipun yang
nyatanya dicapai sekitar 6-7%.
Tapi dengan tingkat pertumbuhan yang oleh banyak ekonom dianggap
lebih realistis, Presiden juga berharap bisa menekan laju
pertumbuhan penduduk dari 2,3% menjadi 2%. Toh dengan KB yang
diperkirakan akan lebih berhasil itu, tak urung mulut yang harus
dikasih makan makin banyak juga: dari 137 juta orang sekarang
menjadi 151 juta di awal 1984.
Memberi gambaran pendahuluan Repelita III, Indonesia tampaknya
harus hidup dengan dana yang makin terbatas. Penerimaan dari
minyak, yang selama ini menjadi taruhan dari penerimaan negara
(55%), menurut Presiden "tidak akan mengalami banyak perobahan,
berhubung situasi pasaran minyak dan keadaan ekonomi dunia."
Maka selain ingin melakukan penghematan konsumsi minyak di dalam
negeri yang meningkat 15% dalam setahun, yang akan ditembak
adalah meningkatkan penghasilan dari sektor non-minyak dan
penerimaan dari pajak (lihat: Dengan Minyak Yang Merosot).
Wong Cilik
Tapi yang menarik di tengah keterbatasan sumber dan waktu itu
adalah hasrat pemerintah untuk membagi kue nasional ini agar
lebih adil alias lebih merata. Tampaknya kritik-kritik yang
muncul selama 10 tahun ini mendapat tanggapan yang lebih serius.
Ada disebut oleh Presiden, "perasaan-perasaan rakyat yang
menghendaki agar pembangunan ini memperoleh kedalaman-kedalaman,
dan tidak hanya menyentuh permukaannya saja."
Maka bidang pertanian rakyat, perumahan, pendidikan, kesehatan
dan usaha-usaha yang mampu memberi lowongan kerja pada wong
cilik, baik dari pemerintah maupun dengan lebih melibatkan
sektor swasta -- dengan tekanan pada golongan ekonomi lemah yang
juga disebut pribumi itu -- menurut Presiden akan lebih diberi
tempat.
Khusus tentang pendidikan, diharapkannya pada akhir Repelita III
semua anak berusia 7-12 tahun akan tertampung di sekolah dasar.
"Insya Allah -- untuk pertama kali sejak Indonesia merdeka
idam-idaman ini dapat terwujud." Tapi Presiden tidak menegaskan
apakah itu berarti dimulainya wajib belajar. Diperkenalkannya
pula "Program Kejar", yang khusus diarahkan untuk mereka yang di
luar sekolah, dengan memberi pengetahuan dasar, cara berfikir
dan ketrampilan, tanpa harus meninggalkan pekerjaannya
sehari-hari. "Di desa-desa program kejar ini dikaitkan dengan
program pemberantasan butahuruf gaya baru."
Tentu saja semua itu dipandang bisa dilakukan dalam suasana yang
dirasa aman bagi pemerintah: adanya stabilitas nasional. " . . .
dalam stabilitas nasional ini maka stabilitas pemerintahan
merupakan unsur penting. Pemerintah yang tergoncang, Pemerlntah
yang terombang-ambing, Pemerintah yang lemah, pasti tak akan
mampu membina masyarakat yang baik," kata Presiden.
Masalah stabilitas itu demikian pentingnya sehingga pagi-pagi,
pemerintah sudah malakukan persiapan untuk Pemilu di tahun 1982
yang "lebih tertib, lancar dan aman". Dengan mengembangkan
"sopan-santun politik yang baik, untuk mencegah ekses-ekses dan
suasana yang tegang dan panas" itu, Pemerintah juga sedang
melakukan persiapan lain: " . . . perbaikan-perbaikan atas
peraturan perundang-undangan Pemilihan Umum yang sekarang kita
miliki, dengan mengambil pelajaran dari Pemilihan Umum yang
sebelumnya telah kita laksanakan."
Di bidang luar negeri, Presiden menaruh keprihatinan akan usaha
perdamaian yang dirintis Presiden Anwar Sadat, yang dinilainya
"masih harap-harap cemas" dan "akhir-akhir ini nampaknya
mendekati jalan buntu". Juga timbulnya kembali
ketegangan-ketegangan di kawasan Indocina, dilihat sebagai
mempengaruhi perkembangan di Asia Tenggara. Presiden juga merasa
prihatin karena gerakan non-blok, di mana Indonesia sebagai
salah satu pendirinya, "kini sedang mengalami masa-masa yang
cukup sulit, karena timbulnya gejala keretakan dan benih-benih
perpecahan..."
Presiden tak menyinggung apa pun tentang hal yang pernah
dikemukakannya ketika membawakan pidato pertanggungjawabannya
dalam SU MPR Maret lalu: usaha merintis hubungan dengan RRC.
Tapi dikemukakan bahwa pemeliharaan stabilitas regional Asia
Tenggara, melalui kerjasama ASEAN merupakan pusat perhatian
politik luar negeri Indonesia. Melihat ASEAN sebagai "tiang
politik luar negeri kita" dan "benteng utama kesejahteraan dan
ketenteraman kita", Presiden menilai pertumbuhan ASEAN kini tiba
pada tahap konsolidasi, dengan memperbanyak kerjasama di segala
bidang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini