Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Bukti Baru Pembunuhan Munir

8 Desember 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ATAS nama kemanusiaan dan keadilan, pemerintah harus meneruskan pengungkapan pembunuhan aktivis hak asasi manusia Munir Said Thalib.

Kasus Munir tidak hanya penting, tapi juga pantas dikatakan sebagai pertaruhan supremasi hukum Indonesia. Bahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, saat menjabat, mengatakan kasus ini sebagai "a test to our history". Yu­dhoyono, sayangnya, gagal melewati "ujian sejarah" itu. Kini orang berharap Presiden Joko Widodo tidak mengulangi kegagalan yang sama.

Tentu bukan pekerjaan mudah. Pemerintah Jokowi datang menjelang kasus itu "tutup layar". Terpidana pembunuh Munir, Pollycarpus Budihari Priyanto, dua pekan lalu melenggang bebas bersyarat dari penjara. Pada 2008, Polly divonis 20 tahun—belakangan dikurangi menjadi 14 tahun dalam pengadilan peninjauan kembali yang kedua. Mendapat sejumlah remisi, ia keluar setelah melewati dua pertiga masa tahanan.

Polly terbukti membunuh sang pejuang hak asasi. Berdasarkan pemeriksaan forensik terhadap tujuh organ Munir di Seattle, Amerika Serikat, ia diketahui diracun ketika berada di The Coffee Bean & Tea Leaf Bandar Udara Changi, Singapura. Pada malam nahas itu, 7 September 2004, Munir transit di Changi dalam perjalanan menuju Amsterdam, Belanda, untuk melanjutkan studi.

Fakta di pengadilan membuktikan aksi Pollycarpus, pilot Garuda yang juga anggota Badan Intelijen Negara (BIN), dalam mengakhiri hidup Munir. Ia memindahkan Munir dari kelas ekonomi ke kelas bisnis untuk memperpanjang waktu operasi selama transit. Ia juga menyuguhkan minuman yang diduga telah dibubuhi racun.

Polly pasti bukan aktor tunggal. Tapi sampai sekarang pengadilan belum menghukum intellectuele dader di belakang Pollycarpus. Deputi Penggalangan BIN Muchdi Purwoprandjono memang telah diadili. Tapi hakim menjatuhkan vonis bebas. Percakapan telepon Polly dan Muchdi ketika keduanya berada di dalam negeri disangkal Muchdi dengan menyodorkan paspor yang menunjukkan ia berada di Malaysia ketika komunikasi itu berlangsung.

Kejaksaan sebetulnya bisa mengajukan permohonan peninjauan kembali terhadap Muchdi. Sebab, menerakan cap tanda kedatangan pada paspor di sebuah bandar udara tanpa kehadiran pemilik surat perjalanan bukan sesuatu yang sulit. Apalagi dalam sebuah operasi intelijen.

Kejaksaan juga perlu mengungkap kesaksian Budi Santoso, bekas Direktur Perencanaan dan Pengendalian Operasi BIN. Kepada polisi yang memeriksanya di Kuala Lumpur, Budi, yang juga bawahan Muchdi ketika pembunuhan Munir terjadi, memastikan keterlibatan atasannya itu. Sejumlah rapat dan komunikasi tatap muka antara Pollycarpus dan Muchdi dibenarkan Budi. Polisi merekam kesaksian Budi dalam video.

Testimoni penting Budi Santoso sebetulnya telah disiapkan polisi dalam sidang Muchdi. Namun dari luar negeri terdengar kabar Budi mencabut kesaksian itu—sesuatu yang belakangan disangkalnya. Budi menduga isu pencabutan ditebar agar ia pulang ke Tanah Air untuk kemudian "dihabisi".

Kesaksian Budi bisa dijadikan novum untuk peninjauan kembali. Tentu hakim harus berani mengambil terobosan hukum agar kesaksian itu bisa dipakai. Syukur-syukur jika sang intel bisa dihadirkan, walaupun keberadaannya sekarang tak jelas. Tak ada pula kabar pasti ia masih hidup atau sudah almarhum.

Pengadilan ulang terhadap Muchdi akan membuka kemungkinan pengungkapan keterlibatan aktor lain. Salah satunya mantan Ketua BIN A.M. Hendropriyono. Budi Santoso dalam kesaksiannya membenarkan peran Hendro. Munir dihabisi, menurut Budi mengutip Hendro, karena diduga memiliki data yang bisa dipakai "menjual negara".

Penelusuran ulang terhadap kasus Munir diharapkan bisa menyibak motif pembunuhan keji itu. Ia dibunuh karena membawa dokumen penting ke Belanda atau pembunuhannya sebagai bagian dari persaingan politik menjelang Pemilu 2004?

Kematian Munir, seperti sebuah drama yang tragis, menyangkut juga kematian sejumlah saksi penting. Ongen Latuihamallo, penyanyi lagu rohani yang sempat diperiksa polisi karena diduga menjadi bagian dari komplotan Polly, mati tak wajar setelah bentrok dengan seseorang akibat kecelakaan ringan di jalan raya. Seorang pendeta yang banyak mengetahui peran Ongen juga mati misterius.

Misteri tewasnya Munir dan sejumlah saksi kunci membuat kasus ini layak dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan, bahkan juga state terrorism. Pengadilan hak asasi manusia sangat pantas dibuka untuk mengungkap kasus ini.

Kendali ada di tangan Joko Widodo. Presiden tak perlu tersandera oleh para pembantunya. Tak juga oleh Hendropriyono, yang dikenal dekat dengan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dan merupakan penasihat Tim Transisi pemerintah.

Atas nama keadilan dan rasa kemanusiaan, Jokowi harus memprioritaskan kasus Munir.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus