Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Pendapat

Cabul

Mungkin kita sudah mulai kehilangan cara untuk mengungkapkan perasaan dengan sopan dan bermartabat. Kita dirasuki cara yang penuh dengan kenistaan, apakah itu ketika mengungkapkan perasaan dalam bentuk perkataan maupun dalam perbuatan. Kita sudah terlalu cabul.

28 Januari 2018 | 06.30 WIB

Ilustrasi pencabulan anak. shutterstock.com
Perbesar
Ilustrasi pencabulan anak. shutterstock.com

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Mungkin kita sudah mulai kehilangan cara untuk mengungkapkan perasaan dengan sopan dan bermartabat. Kita dirasuki cara yang penuh dengan kenistaan, apakah itu ketika mengungkapkan perasaan dalam bentuk perkataan maupun dalam perbuatan. Kita sudah terlalu cabul.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo


Cabul menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia tak hanya melulu urusan seks, tapi juga semua cara mengungkapkan perasaan. Cabul berarti keji dan kotor, perbuatan yang tidak senonoh, melanggar kesopanan dan kesusilaan. Kenapa kita suka bercabul-cabul? Adakah karena kita di tengah kemajuan teknologi komunikasi ini suka bercakap-cakap dengan orang yang belum tentu ada? Cobalah perhatikan percakapan di media sosial. Kata-kata yang cabul dalam arti tidak senonoh dan jauh dari kesopanan banyak diumbar. Di antara para pengumbar kata cabul itu pun tidak saling mengenal, ia hanya membaca apa yang tersirat. Bisa jadi pula para pecabul di media sosial ini menggunakan akun abal-abal, baik dengan tujuan hanya iseng atau memang sengaja ingin menumpahkan hasrat setannya untuk memaki dan mencaci. Dan ketika para abal-abal dan setan ini (seolah-olah) bertengkar, kita yang bukan abal-abal dan bukan setan bisa saja cuek. Namun lama-lama ada yang harus diprihatinkan: jangan-jangan ini sudah menjadi wajah kita bersama. Harus ada upaya untuk mengembalikan marwah bangsa ini agar "kecabulan tidak menjadi panglima".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


Kecabulan tentu tak ada kaitannya dengan bencana alam, seperti gempa bumi, misalnya. Yang mengaitkan keduanya itu juga otaknya cabul alias kotor. Namun dua hal yang tidak berhubungan ini sama-sama menimbulkan bencana. Gempa membuat banyak rumah roboh dan perbuatan cabul meruntuhkan nilai-nilai luhur sebagai manusia yang berbudaya. Cobalah baca kasus pelecehan yang dilakukan oleh perawat lelaki di sebuah rumah sakit di Surabaya. Perawat itu meraba-raba dada seorang pasien wanita yang baru saja selesai menjalani operasi dan belum sepenuhnya pulih untuk melakukan perlawanan karena masih terpengaruh bius. Setan apa yang masuk ke dalam tubuh perawat itu sehingga nafsu cabulnya muncul di hadapan pasien yang seharusnya ia rawat dan ia lindungi? Kini pihak rumah sakit sudah memecat perawat itu sembari menyebutkan bahwa rumah sakit yang dikelolanya sudah mensyaratkan standar yang optimal. Kita pun terasa seperti dibodohi, standar tinggi macam apa yang diberlakukan kalau pasien wanita yang tengah menjalani operasi didampingi perawat lelaki? Semua pasien yang menjalani operasi pasti mengenakan busana khusus yang lebih banyak terbuka.


Namun urusan cabul-mencabuli- dalam kamus disebut percabulan- jangan pula didasari dugaan, perkiraan, atau pikiran ngeres kita sendiri. Apalagi kalau hal itu dimasukkan ke dalam aturan formal semacam undang-undang. Hal ini menjadi kekhawatiran ketika Dewan Perwakilan Rakyat tengah menggodok rancangan perubahan tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang memperluas sanksi pidana untuk kasus perzinaan.


Ada pasal yang mencantumkan perbuatan cabul berdasarkan "sesama jenis kelaminnya". Ini dampaknya bisa luas. Dua lelaki akrab namun bukan penyandang LGBT (lesbian, gay, biseksual, transgender) bisa dilarang menginap di hotel hanya karena "diduga berbuat cabul". Atau, digerebek paksa ke dalam kamar. Undang-undang tak seharusnya diskriminatif dan juga tak mengurusi hal-hal privat. Urusan percabulan itu adalah ketika hal-hal tak senonoh dan melanggar susila diperlihatkan di muka umum dan dilakukan oleh siapa pun, apakah dia orang sehat, penyandang tunanetra, tunarungu, atau LGBT.

PUTU SETIA

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus