KITA DAN WAYANG.
Oleh: Franz Magnis Suseno.
Seri Pengetahuan Lintas,
Penerbit: Lembaga Penunjang Pembangunan Nasional, Jakarta 1982,
47 hal. Rp 400.
TOKOH wayang bukanlah makhluk sejarah. Tapi di Jawa, dan mungkin
juga di Bali, mereka seperti pernah hidup, dan berkuubur, di
antara kita. Waktu kecil dulu, dalam suatu perjalanan melewati
Pegunungan Dieng, saya melihat sederet candi di plateau itu
dengan keyakinan bahwa Pandawa dulu pernah di sana. Sudah tentu,
menurut arkeologi, tidak.
Mungkin karena keintiman seperti itu kita umumnya jarang
melihat kisah Mahabharata dan Ramayana sebagai dua cerita yang
punya awal dan akhir seperti novel. Kita lebih tertarik dengan
tokoh-tokohnya -- yang bisa muncul di kisah mana pun, seperti
Robert Redford bisa muncul di cerita perang atau cerita koboi.
Tak habis-habisnya.
Karena itu esei Franz Magnis Suseno ini segar sekali buat
kesadaran kita. Mungkin justru karena dia bukan "ahli wayang",
dan tak berasal dari dalam lingkungan kebudayaan Jawa, dia dapat
melihat apa yang selama ini kita terima sebagai bagian yang tak
menarik perhatian kita sendiri -- atau telah kita lupakan.
Misalnya kesimpulan, bahwa wayang "tidak bersifat moralistis".
Meskipun intinya tidak baru ( telah diungkapkan misalnya oleh
sarjana Amerika B.R.C.G. Anderson), kesimpulan Franz Magnis
layak dikutip di sini: "Wayang itu tidak mau menggurui kita,
tidak mau memberi pelbagai nasihat dan norma-norma." Terutama
dalam lakon Mahabharata, "orang Jawa menyadari bahwa baik buruk
seseorang bukanlah perkara yang mudah diputuskan . . ."
SIKAP wayang yang menolak gambaran Manichean "sana-hitam-sini
putih" itu bagi Franz Magnis nampaknya merupakan ciri sentral.
Berulang kali hal ini disebutkannya. Tentang itu, sekedar
catatan bisa dikemukakan di sini.
Orang bisa menyetujui Franz Magnis dengan menambahkan, bahwa
bukan cuma Mahabharata yang "antimoralis". Ramayana juga. Kurang
tepat bila Franz Magnis menyebutkan, bahwa dalam kisah Rama ini,
cuma satu orang yang dilukiskan punya watak luhur di kubu
"hitam" Rahwana (halaman 19).
Pun warna "putih" Rama sendiri agak cela, bila kita ingat
bagaimana ia mengintervensi konflik Subali-Sugriwa. Terbunuhnya
Subali oleh panah Rama, tak pernah saya pahami betul sejak saya
kanak-kanak hingga sekarang. Kematian itu teramat menyedihkan.
Dalam hal itu, Franz Magnis hanya sekedar kurang lengkap. Tak
berarti tesisnya salah. Tapi bagaimana kalau tesisnya salah?
Benarkah "orang Jawa tak begitu suka dengan suatu pandangan
dunia yang hitam putih, simplistis, moralistis"?
Untuk itu tentu perlu penelaahan lebih lanjut. Misalnya tentang
sejarah penciptaan Mahabharata sendiri. Dalam kata-kata
Radhakrisnan, dari bukunya tentang filsafat India, Mahabharata
disusun oleh banyak orang, dan "menjadi suatu ensiklopedia
aneka-ragam." Tidakkah karena itu cerita ini tidak simplitis
moralitasnya? Dan bukan karena kecenderungan sikap orang Jawa?
Ataukah karena pengaruh karya besar Hindu ini, di mana (sekali
lagi menurut Radhakrisnan) "ide-ide yang bertentangan dihimpun
bersama dalam satu keseluruhan," maka orang Jawa cenderung
toleran terhadap perbedaan keyakinan?
Bila itu benar, bagaimana menerangkan terjadinya banyak
kekerasan dalam sejarah Jawa, misalnya ketika Amangkurat I
membunuhi para ulama? Seberapa jauh sikap "antimoralis"
tercermin dalam karya sastra orang Jawa asli, sejak karya
Yasadipura sampai dengan karya Any Asmara, sejak Wulang Reh
sampai dengan Perjuangan Suku Naga?
Sudah tentu mustahil bagi buku kecil Franz Magnis ini untuk
mengemukakan hal itu lebih jauh. Nilai yang amat berharga dari
risalah ringkasnya justru pesan Franz Magnis Suseno melalui
interpretasinya tentang wayang. Izinkanlah saya mengutipnya:
"Apa yang dipertontonkan dalam wayang dapat mengesan pada kita,
tanpa memaksa kita ke salah satu arah. Kita ditawari
kemungkinan-kemungkinan hidup manusiawi, tetapi tak ada sesuatu
yang kita tiru begitu saja . . . Kita sendiri harus menemukan
apa yang menjadi kewajiban kita masing-masing."
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini