Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemerintah menaikkan harga BBM setelah keuangan negara nyaris ambruk akibat lonjakan subsidi.
Dampak kenaikan inflasi bisa diredam dengan kebijakan bantuan sosial.
Jokowi melepaskan momentum melepaskan benalu subsidi dalam keuangan negara.
KEPUTUSAN pemerintah menaikkan harga BBM atau bahan bakar minyak mendapat respons positif dari pasar. Kekhawatiran berlebihan Presiden Joko Widodo bahwa kebijakan memangkas subsidi dalam upaya menyelamatkan keuangan negara bakal mengganggu stabilitas politik dan ekonomi nasional tidak terbukti.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anggaran subsidi energi tahun ini menjadi yang tertinggi sepanjang sejarah, Rp 502,4 triliun. Angka itu naik tiga kali lipat dari alokasi awal, Rp 152,5 triliun, akibat harga minyak yang meroket setelah serangan Rusia ke Ukraina pada akhir Februari lalu. Tanpa perubahan kebijakan, diperkirakan subsidi BBM dan elpiji tahun ini mencapai Rp 698 triliun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi pada Sabtu, 3 September lalu. Harga Pertalite naik dari Rp 7.650 menjadi Rp 10 ribu per liter dan solar dari Rp 5.150 menjadi Rp 6.800 per liter. Harga bensin nonsubsidi, Pertamax, juga naik dari Rp 12.500 menjadi Rp 14.500 per liter. Langkah ini jelas tidak populer. Apalagi hal tersebut berlangsung di saat ekonomi baru mulai merangkak setelah mati suri akibat pandemi Covid-19. Namun anggaran negara tak sanggup lagi menomboki selisih harga riil dan penjualan BBM.
Sekarang keputusan terlambat pemerintah itu terbukti tepat. Indikasi terlihat dari respons investor di pasar modal, yang sering dipakai sebagai indikator menguji kebijakan ekonomi pemerintah. Senin, 5 September lalu, setelah pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM pada 3 September, indeks harga saham gabungan ditutup menguat 0,76 persen ke level 7.231. Artinya, investor saham menyambut positif langkah penyelamatan keuangan negara itu.
Artikel liputan:
- Strategi Jokowi Meredam Inflasi BBM
- Bisakah BLT dan Bansos Meredam Inflasi?
- Cara Polisi Meredam Demonstrasi Penolakan Harga BBM
Meski demikian, Presiden Jokowi perlu menyadari bahwa keputusan menaikkan harga BBM belum sepenuhnya menghapus subsidi. Padahal sudah sejak Juni lalu banyak pihak menyarankan pemerintah menyetop subsidi energi karena sudah kelewat besar membebani anggaran. Bank Dunia, misalnya, menyarankan pengalihan subsidi menjadi bantuan sosial untuk masyarakat miskin karena 42-73 persen subsidi energi dinikmati konsumen menengah ke atas.
Kenaikan harga pun bisa lebih tegas, sampai menyentuh harga riil Rp 14.450 per liter BBM setara Pertalite, sehingga kebijakan ini betul-betul mengurangi beban anggaran. Bukan hanya memangkas subsidi energi dari Rp 698 triliun menjadi Rp 650 triliun. Toh, ongkos politiknya akan sama dengan kenaikan saat ini, yang menyulut demonstrasi di berbagai daerah.
Lonjakan harga BBM tentu saja mengerek inflasi, yang diperkirakan bisa mencapai 7 persen. Orang yang menganggap angka itu menakutkan berarti melupakan sejarah ekonomi Indonesia. Pasca-Orde Baru, misalnya, kita pernah merasakan inflasi 12,5 persen pada 2001 dan 11 persen pada 2008. Toh, ekonomi tidak ambruk.
Inflasi tinggi tidak akan menjadi masalah jika ditangani dengan strategi yang tepat. Bantuan sosial Rp 24 triliun yang disiapkan pemerintah menjelang kenaikan harga BBM bagian dari siasat itu. Namun, ibarat mengobati orang sakit, sumber penyakitnya tak tersentuh. Para ekonom hebat di pemerintahan perlu mengidentifikasi penyebab inflasi. Jika kenaikan harga terjadi akibat permasalahan di rantai pasokan, hambatan itu dihilangkan. Bukan sebaliknya, dengan asal intervensi seperti saat pemerintah hendak mengatur harga minyak goreng.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo