Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Satgas BLBI mulai menyita aset Tommy Soeharto di Karawang.
Penindakan ini mestinya tak hanya seremoni sebagai pencitraan mengusut kasus BLBI.
Pemerintah perlu memakai pendekatan pidana agar punya daya paksa lebih kuat.
LANGKAH pemerintah menyita aset Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto di Karawang, Jawa Barat, pekan lalu, tak boleh sekadar seremoni demi kepentingan pencitraan. Pemerintah harus memastikan penyitaan itu disusul dengan lelang yang benar-benar bisa mengembalikan kerugian negara. Kini saatnya pemerintah menunjukkan keseriusan menyelesaikan tunggakan perkara yang sudah berusia lebih dari dua dekade ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Apalagi Tommy Soeharto sudah memastikan bakal melawan secara hukum. Selama ini, dia memang tak pernah kooperatif dengan upaya pemerintah memburu aset-aset milik debitor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Menghadapi barisan pengacara di kubu Tommy, pemerintah harus punya strategi jitu. Semua amunisi, termasuk opsi pidana, mesti dipertimbangkan agar pengemplang tidak merasa di atas angin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gembar-gembor pemerintah menuntaskan kasus BLBI perlu kerja nyata dan komitmen yang kuat dari semua lembaga penegak hukum. Mengerahkan ratusan polisi, tentara, dan personel satuan polisi pamong praja, ditambah sejumlah kendaraan taktis polisi, untuk mensterilkan lokasi penyitaan aset Tommy di Karawang memang meriah buat kamera media massa. Tapi itu saja jelas tak cukup untuk memenangi perkara ini kelak di pengadilan.
Apalagi Tommy punya sejarah menghalalkan segala cara untuk memenangi kasus di meja hijau. Kita ingat kasus pembunuhan Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita pada 2001. Dia ditembak setelah menjatuhkan hukuman 18 bulan penjara dan denda Rp 30,6 miliar kepadanya dalam kasasi kasus tukar guling tanah milik Bulog dengan PT Goro Batara Sakti.
Tak bisa dimungkiri, mengatasi perlawanan Tommy dalam sengketa aset BLBI ini akan menjadi tantangan pertama untuk pemerintah. Pekerjaan rumah berikutnya masih cukup banyak. Sampai saat ini, nilai total aset yang disita satuan tugas masih jauh dari target. Pemerintah menargetkan pengembalian duit BLBI Rp 110 triliun dari 48 obligor dan debitor BLBI. Aset milik Tommy yang disita ditaksir bernilai Rp 600 miliar saja. Sementara itu, total nilai tunggakan perusahaannya, PT Timor Putra Nasional, mencapai Rp 2,6 triliun.
Karena itu, kasus Tommy amat krusial untuk menguji kesungguhan komitmen pemerintah. Para debitor lain pasti mengamati setiap langkah pemerintah dengan cermat. Kita tahu, sebelum memutuskan menyita asetnya, Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara atas BLBI sudah tiga kali memanggil Tommy, tapi dia tak pernah hadir.
Lewat pengacaranya, Tommy menyangkal punya utang. Dia berkeras bahwa hak tagih atas utang perusahaannya sudah dijual Badan Penyehatan Perbankan Nasional kepada Vista Bella Pratama. Padahal dalam kasus ini, pada 2017, Mahkamah Agung memutuskan mengembalikan hak tagih atas utang PT Timor dan jaminannya kepada negara.
Masalahnya, setelah menang di pengadilan, pemerintah tak segera menguasai aset Tommy. Sebaliknya, Tommy justru menyewakan lahan di Karawang kepada pihak ketiga. Tindakan pengalihan aset itu saja sebenarnya sudah mengindikasikan perlawanan. Publik menunggu tindak lanjut dari ancaman Menteri Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. yang berencana memidanakan Tommy atas aksinya itu. Pendekatan pidana tentu memiliki daya paksa lebih kuat ketimbang perdata.
Agar urusan pengembalian aset BLBI ini tak menjadi pepesan kosong, pemerintah tak boleh setengah-setengah. Kegagalan menyelesaikan kasus Tommy Soeharto bisa menjadi blunder besar yang mencoreng kredibilitas pemerintah Joko Widodo.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo