Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Agar Separatisme Tak Jadi Angker

Kekerasan terjadi susul-menyusul di Distrik Kiwirok, Papua. Wacana penentuan nasib sendiri hendaknya tidak selalu dianggap pintu masuk kemerdekaan Papua.

13 November 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Konflik Papua memanjang dan melebar sehingga berlarut-larut.

  • Pemerintah mesti menyudahi pendekatan keamanan dan operasi militer.

  • Jakarta tak harus selalu melihat tuntutan rakyat Papua melulu gerakan separatisme.

KIWIROK adalah tempat di mana kekerasan datang silih berganti. Tanpa sebab yang benar-benar benderang, dua pihak saling serang. Di tangan yang pertama, parang ditebaskan ke arah tenaga kesehatan. Di tangan musuhnya, timah panas terlontar ke arah orang kecil. Di Kiwirok, Papua, perang membuktikan kebenaran pepatah lama: menang jadi arang, kalah jadi abu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di distrik Kabupaten Pegunungan Bintang—tak jauh dari perbatasan Papua dan Papua Nugini—itu, pasukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) menyerang permukiman penduduk. Dari helikopter, 10 Oktober lalu, roket dilontarkan meski tak meledak. Tak ada yang mati, tapi 400 penduduk kini mengungsi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Serangan ini merupakan buntut insiden pembakaran fasilitas kesehatan dan bangunan lain sebulan sebelumnya. Dalam kejadian itu, sejumlah tenaga kesehatan terluka dan seorang perawat, Gabriela Maelani, tewas. TNI dan polisi menuding Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) bertanggung jawab. OPM menyangkal meski spekulasi lain merebak: serangan dilakukan karena kelompok separatis curiga petugas kesehatan telah menjadi mata-mata dan pusat kesehatan masyarakat dipakai sebagai kedok.

Sebuah laporan menyajikan versi lain: serangan brutal itu merupakan ekses persaingan politik lokal dan OPM sama sekali tidak terlibat. Disebut-sebut, sekelompok orang yang terafiliasi dengan pejabat kabupaten menghancurkan sejumlah bangunan, termasuk puskesmas. Tersebab persaingan dalam pemilihan kepala daerah, pejabat yang satu ingin merusak reputasi pejabat lain lewat serangan itu.

Berhenti sebagai desas-desus, TNI menyerang perkampungan penduduk tanpa mencari fakta yang sebenarnya. Kesumat itu memang telah tertanam dua tahun sebelumnya. Saat itu, Juni 2019, helikopter TNI yang mengangkut senjata jatuh di sana. TNI menuding OPM telah mengambil senjata-senjata itu. Sejak itu, Kiwirok—yang sebelumnya bukan area perang—panas membara.

Di Papua, kekerasan memang telah memanjang dan melebar. Konflik dan kepentingan saling sengkarut. Yang satu menyerang atas nama “negara kesatuan”. Yang lain atas nama kemerdekaan: keinginan untuk berdiri di atas kaki sendiri setelah kekayaan “tanah airnya” dikuasai dan disedot oleh yang pertama.

Jakarta berdalih telah memberikan segalanya kepada Papua: otonomi khusus, pembangunan infrastruktur, pekan olahraga yang meriah. Di mata pusat, Papua—diidentifikasikan sebagai kelompok separatis OPM—adalah Malin Kundang yang tak tahu diuntung. Di mata Papua, Jakarta adalah gergasi yang merendahkan, mengisap, dan membunuh.

Dalam curiga dan hilangnya rasa saling percaya, nyatalah pembangunan dalam pengertian yang sempit dan dangkal ala Jokowi tak menyelesaikan masalah. Politik kekerasan yang terus dijalankan membuat pembangunan fisik menjadi kehilangan esensinya.

Sudah saatnya pemerintah menghentikan kekerasan dan menyetop operasi militer di Papua. Pengadilan hak asasi manusia, seperti tercantum dalam Undang-Undang Otonomi Khusus, harus dijalankan. Pelanggaran HAM harus dibongkar. Pembunuhan Pendeta Yeremia Zanambani pada September 2020, untuk menyebut salah satu kasus, hingga kini tak jelas kabarnya. Padahal Komisi Nasional Hak Asasi manusia telah menyelesaikan laporan perihal perkara itu.

Percakapan tentang penentuan nasib sendiri hendaknya tidak dibaca melulu sebagai pintu masuk bagi kemerdekaan Papua—cedera terhadap imaji tentang Indonesia sebagai negara kesatuan.

Penentuan nasib sendiri hendaknya dilihat sebagai kerelaan Jakarta untuk membiarkan rakyat Papua mendefinisikan dirinya sendiri, termasuk mengukur kemampuan dan menakar kemandirian. Dalam wacana tentang penentuan nasib sendiri terkandung analisis tentang untung-rugi, kemampuan dan ketidakmampuan, cita-cita yang bulat atau rompal, kehendak orang ramai atau petualangan politik segelintir orang. Juga ihwal kesungguhan atau ketidaksungguhan. Percakapan tentang penentuan nasib sendiri membuka pintu bagi pertukaran gagasan dan proses saling memahami.

Proses itu bisa diperkaya dengan melihat pengalaman dari belahan dunia lain. Skotlandia dan Irlandia Utara tetap menjadi bagian dari negara kesatuan Inggris Raya meski partai-partai politik yang mengupayakan pemisahan diri tetap dibiarkan hidup. Di Wales, kawasan lain yang pernah memberontak kepada Britania, pemisahan diri bahkan telah menjadi olok-olok.

Syahdan, pada 1961, seorang penjual buku bekas bernama Richard Booth memproklamasikan kemerdekaan Hay on Wye, kota kecil di sebelah barat London. Booth mengangkat dirinya sebagai perdana menteri, menerbitkan paspor, dan mencetak uang. Wartawan datang. Juga aparat. Ia ditangkap. Tapi tak lama: polisi membebaskannya setelah mengetahui proklamasi itu cuma akal-akalan Booth mengenalkan Hay on Wye, kota pusat penjualan buku bekas, kepada dunia.

Di belahan jagat lain, separatisme telah menjadi kata yang tak selamanya angker.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus