Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Solusi Palsu Krisis Iklim

Pemerintah mesti memperketat skema perdagangan karbon. Agar tidak menjadi greenwashing.

13 November 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Presiden Joko Widodo telah mengesahkan Peraturan Presiden tentang Nilai Ekonomi Karbon.

  • Usaha penyerapan dan penghindaran emisi karbon akan mendapat insentif melalui harga per unit karbon.

  • Bisa terjerumus pada greenwashing tanpa kembali ke tujuan utama menurunkan secara radikal produksi emisi.

PERATURAN Presiden tentang Nilai Ekonomi Karbon akhirnya terbit di ujung bulan lalu, sehari sebelum Presiden Joko Widodo bertolak ke Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa Ke-26 atau Conference of the Parties (COP26). Di Glasgow, Skotlandia, delegasi Indonesia memamerkan aturan perdagangan karbon itu sebagai instrumen berbasis pasar untuk menunjukkan komitmen serius Indonesia dalam mitigasi krisis iklim.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dengan Perpres Nilai Ekonomi Karbon (NEK), perdagangan karbon di Indonesia menjadi skema wajib. Selama ini, perusahaan dan masyarakat desa menjual jasa melindungi hutan berdasarkan unit penyerapan karbonnya di pasar sukarela. Karena wajib, siapa pun mesti mencatatkan pelepasan emisi karbon dan penyerapannya ke Sistem Registri Nasional, yang dikelola Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pencatatan itu akan dimasukkan ke klaim penurunan emisi Indonesia dalam dokumen nationally determined contribution (NDC). Sesuai dengan mandat Perjanjian Paris 2015, Indonesia akan menurunkan emisi 29 persen dengan usaha sendiri dan 41 persen dengan bantuan internasional pada 2030 dari prediksi emisi sebanyak 2,869 miliar ton setara CO2

Ada tiga jenis perdagangan karbon yang diatur Perpres NEK: perdagangan emisi (cap and trade), pengimbangan emisi (carbon offset), dan insentif penurunan emisi berbasis kinerja. Intinya, jasa pengurangan emisi atau penyerapan emisi bisa diperjualbelikan atau mendapat insentif berdasarkan unit karbon.

Secara sepintas, skema ini menjanjikan. Produsen emisi “dihukum” membayar emisi yang dilepaskannya kepada mereka yang menyediakan penyerapannya. Sebaliknya, mereka yang merawat bumi, hutan, dan alam akan mendapat insentif. Namun skema ini akan berakhir menjadi cuci dosa atau greenwashing karena tak diikuti dengan pemaksaan agar industri terus-menerus menurunkan emisinya.

Tanpa paksaan menurunkan emisi, perdagangan karbon akan menjadi bisnis baru yang melupakan tujuan utamanya, yakni menekan produksi emisi menjadi gas rumah kaca di atmosfer. Biang keladi utama pemanasan global adalah emisi pemakaian energi fosil dan deforestasi. Jika dua sumber emisi ini bisa ditekan, pemanasan global bisa dicegah.

Karena itu, skema perdagangan karbon yang pas adalah skema yang mirip perjanjian bilateral seperti kerja sama mencegah deforestasi dan degradasi lahan dengan pemerintah Norwegia, yang putus setelah sepuluh tahun pada dua bulan lalu. Karena perjanjian, kedua negara terikat kontrak: Indonesia wajib mencegah deforestasi, Norwegia wajib menurunkan emisinya.

Memakai pasar bebas seperti perdagangan karbon dalam skema Perpres NEK rawan dikompromikan antara dunia usaha dan pemerintah. Sebab, bagi industri, menurunkan emisi identik biaya mahal. Bagi pemerintah, menurunkan emisi bisa menghambat ekonomi karena tak bebas lagi menggenjot investasi melalui izin membuka hutan atau memanfaatkan lahan. Apalagi, di Indonesia, ancamannya begitu nyata lewat Undang-Undang Cipta Kerja, Undang-Undang Mineral dan Batu Bara, serta 201 proyek strategis nasional 2020-2024.

Tanpa mengendalikan eksploitasi sumber daya alam atas nama pembangunan, perdagangan karbon akan menjadi bencana baru lingkungan. Sebab, industri akan terus-menerus menyakiti bumi tanpa rasa bersalah karena sudah menyediakan penebusannya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus