Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PADA suatu siang, 50 tahun yang lalu di gedung tua di Senen Raya 83, ketika kami menyiapkan nomor pertama majalah Tempo, saya dengar seseorang bergumam: “Majalah ini hanya akan berumur tiga bulan.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saya kaget, sedikit. Yang bersuara adalah B, salah seorang anggota tim yang disiapkan mengelola administrasi majalah baru nanti. Tapi saya pura-pura tak mendengar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Jangan-jangan dia betul,” kemudian saya ceritakan pesimisme itu kepada T, seorang teman.
“Tenang saja,” jawab T. “Mungkin tiga bulan lagi Tempo bubar, tapi kalian sudah membuat sejarah.”
“Jangan-jangan kau betul,” kata saya, sedikit terhibur.
Setengah abad kemudian, ternyata B salah dan T bisa saya katakan betul. Tempo membuat sejarah karena pada dasarnya ia muncul secara baru dan separuh nekat.
•••
Tempo lahir dan mengubah corak majalah. Sebelumnya, sebuah berkala mingguan adalah sejenis toko-serba-ada.
Star Weekly, misalnya, yang terbit di Jakarta sebelum dibredel Presiden Sukarno di tahun 1960, bisa memuat uraian panjang tentang filsafat sejarah Arnold Toynbee, tapi juga cerita bergambar tentang pendekar Sie Djin Kui; ada ulasan peristiwa internasional tentang konflik Terusan Suez, tapi ada juga resep membuat ketupat-tahu ala Magelang. Majalah Panyebar Semangat, yang terbit di Surabaya dalam bahasa Jawa, juga demikian: ada laporan dari daerah-daerah (rubrik Njajah desa milang kori), ada juga komik lucu “Mas Klombrot” dan cerita detektif gubahan Any Asmara yang jagoannya bergelar “raden mas”.
Tempo sama sekali di luar model toko-serba-ada itu. Isinya hanya “berita”. Tak ada rubrik dapur, teka-teki silang, atau cerita pendek. Kalaupun ada rubrik “Agama”, yang ditulis di sana bukan khotbah, melainkan berita tentang, misalnya, malapetaka di musim haji di Arab Saudi. “Kesehatan” tak memuat petunjuk mencegah asam urat, melainkan tentang kabar berhentinya wabah cacar di dunia.
Sewaktu kami mulai bekerja, kami tak tahu adakah pembaca akan tertarik pada cara baru menyampaikan informasi itu. Tempo disiapkan tanpa didahului survei. Ia meloncat di dalam gelap.
Mungkin itu yang dimaksud T sebagai “membuat sejarah”. Tempo sebuah inovasi. Dalam arti tertentu: eksentrik.
•••
Tapi tak benar Tempo lahir begitu saja dari kepala saya dan teman-teman. Jauh sebelumnya, di tahun 1933, di Amerika Henry Luce menciptakan majalah Time. Mingguan ini begitu berhasil hingga jadi model bagi majalah lain: Newsweek di Amerika, L’Express di Prancis, Der Spiegel di Jerman.
Time juga model bagi Tempo: ia memperkenalkan berita sebagai cerita dan membuat informasi sebagai stimuli. Saya tertarik “filsafat” ini: pembaca tak cuma dianggap kantong plastik yang akan dijejali data, fakta, angka. Pembaca diajak bertualang dalam kejadian.
Perjalanan tualang itu berlangsung di dalam dan melalui bahasa.
Bahasa tak hanya mengisahkan dunia, ia juga membentuk dunia. Tak selalu gampang. Sebab sering bahasa punya hubungan dengan sesuatu yang tak selamanya nyaman: kekuasaan. Sejak akhir 1950-an, bahasa Indonesia berubah. Ia hanya berperan dengan satu pola, jadi bahasa politik yang dikuasai doktrin. Ia bukan lagi bahasa yang hidup dari percakapan yang leluasa. Ia sulit jadi bahasa yang kontemplatif, atau kocak, atau bermain-main, penuh hal yang tak terduga.
Sejak Bung Karno meletakkan Indonesia di bawah “demokrasi terpimpin”, bahasa didominasi kata-kata yang diringkas, diulang bersama-sama, tanpa dipikirkan. Slogan dan singkatan bergemuruh: “Manipol”, “Usdek”, “nekolim”, “kontrev”, dan seterusnya. Makna kata-kata tak lagi diuraikan. Orang tak lagi diberi kesempatan menelaah, bahwa “Manipol” berasal dari “manifesto politik”, dan kita tak dirangsang untuk menilai isi manifesto itu. Kata “Usdek” sebenarnya ringkasan serangkaian kebijakan Negara (melaksanakan Undang-Undang Dasar 1945, demokrasi terpimpin, ekonomi terpimpin, kebudayaan nasional), tapi kemudian ia jadi kata tersendiri yang diucapkan secara otomatis. Orang dihimpun untuk dijejali doktrin Negara, yang dirumuskan dalam “Tubapi”—“Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi”.
Indoktrinasi adalah alat yang efektif untuk mengendalikan pikiran. Ia disampaikan dengan sejumlah slogan yang bertubi-tubi—dan membuat orang gentar, atau merasa bersalah, untuk membantah. Hitler dan Stalin mengukuhkan kekuasaan mereka dengan mengedarkan sebuah bahasa dengan kata yang diringkas jadi akronim dan dikumandangkan: “Gestapo” dan “Stalag”, “Politbiro” dan “Proletkult”.
Ketika “demokrasi terpimpin” diganti dengan kekerasan oleh “Orde Baru”, sifat “terpimpin”-nya dilanjutkan dengan lebih brutal. Slogan dan akronim ala Bung Karno (dan PKI) ditiadakan, tapi bahasa berubah jadi bahasa kekuasaan yang otoriter dan birokratik. Akronim yang baru beredar: “kopkamtib”, “Gestapu”, “dikbud”, “rapim”—umumnya melanjutkan akronimisasi yang dipakai dokumen militer.
Saya melihat bedanya dari akronim “demokrasi terpimpin”. Bahasa “demokrasi terpimpin” dibuat untuk memobilisasi massa. Sebagai bagian propaganda, ia sangat komunikatif: kata-kata kuncinya mudah dihafal dan punya efek emotif.
Sebaliknya akronim birokratik “Orde Baru”. Seperti komunikasi militer, fungsinya membuat pesan yang efisien dan efektif—dan tak untuk dipahami massa.
Tapi kedua-duanya adalah bahasa-kekuasaan yang memiskinkan pikiran. Ketika kata diringkas untuk hanya diulang—dan tak pernah diproses dalam pikiran kita dengan pelbagai alternatif—pikiran tak punya banyak lorong buat menjelajah. Ketika kata “Manifes Kebudayaan” disingkat jadi “manikebu” dan disebar berkali-kali, orang lupa bahwa di situ ada kata “manifes” dan “kebudayaan”—dua pengertian yang memerlukan pemikiran. Demikian juga kata “Gestapu”: kita tak peduli lagi bahwa dalam akronim itu ada kata “gerakan”, dan kita tak berpikir lagi bagaimana “gerakan” terjadi dan mengapa. Yang disasar: efek psikologis. “Gestapu” dipakai agar mengerikan, seperti kata “Gestapo”—polisi rahasia—dalam kosakata Nazi Jerman. Bahasa diperkeras dengan dibekukan.
Tempo terbit dengan memilih bahasa yang melawan pembekuan itu. Kami memproduksi berita-sebagai-cerita.
Di koran harian dan buletin, berita adalah berita-lugas, straight news. Di sana fakta—nama, waktu, tempat, bagaimana terjadi, mengapa—disebutkan dengan urutan yang pasti. Sebaliknya dalam Tempo, meskipun fakta tetap dimuliakan, mereka tak disusun dengan formula.
Tiap kali dikemukakan secara baru. Pendapat klise disingkirkan, kata klise dibuang. Tempo meniadakan frasa “dalam rangka…”, yang selalu dipakai dalam laporan pejabat. Bahasa pun dikembangkan variasinya. Kami mengoptimalkan sinonim. Kata “santai” diperkenalkan buat mendampingi “rileks”; saya mendapatkannya dari bahasa Komering, usulan Bur Rasuanto, waktu itu wakil pemimpin redaksi. Putu Wijaya, redaktur musik dan teater, menyebarkan istilah “dangdut”. Ada juga kata “cas-cis-cus”: pemakaian bahasa Inggris dalam percakapan sehari-hari.
Bahasa yang miskin dalam sinonim adalah bahasa yang menghilangkan pilihan untuk berbeda dan beragam dalam berpikir—seperti ketika kini orang hanya memakai kata “milad” dan tak boleh “hari lahir”, “salat” dan tak boleh memakai kata “sembahyang”.
•••
Dalam berita-sebagai-cerita, membosankan adalah dosa seorang penulis.
Seperti dongeng 1001 malam, tiap cerita harus memikat. Akan sempurna jika frasa yang cerdas dan kocak muncul dari awal sampai akhir. Kisah dibangun dengan membuka saat-saat bercanda.
Tentu saja isi cerita harus unik dan penting diketahui. Tempo menyusun seperangkat kriteria untuk itu. Pembuka cerita, lead, harus memancing, bukan itu-lagi-itu-lagi. Penutup cerita tak berpetuah. Mengikuti gaya novel yang baik, berita-sebagai-cerita harus mengandung suspens dan konflik.
Untuk itu, dibutuhkan bukan hanya keterampilan menulis, tapi juga sikap kreatif, terbuka, merdeka, kritis—dan dengan rasa humor. Salah satu semboyan Tempo yang jarang diketahui adalah “Jujur, Jelas, Jernih—Jenaka pun bisa”. Kita tahu, kejujuran, kejelasan, dan kejernihan sangat penting dalam komunikasi, tapi orang sering lupa “jenaka”.
“Jenaka”, disengaja atau tidak, sebuah penangkal. Ia bisa melucuti fanatisme, mengendurkan permusuhan, menjangkau hati orang lain. Ia anti memuliakan hierarki.
Ini bukan sekadar persoalan teknik. Dalam berita-sebagai-cerita, seperti sudah saya sebut di atas, ada undangan buat pembaca—yang tak diperlakukan sebagai kantong plastik—untuk ikut masuk dalam proses narasi.
Maka tokoh cerita hadir: ia diperkenalkan bukan cuma sebagai nama dan asal-usul. Tinggi atau pendek tubuhnya, cara duduk dan jalannya, pilihan pakaiannya—semua perlu digambarkan. Bahkan juga suasana ruang dan waktu selama kejadian. Sosok itu konkret. Manusia yang jadi berita bukan sekadar kasus, juga bukan cuma penyampai pendapat. Ia punya sejarah, ia bisa merasakan nikmat dan sakit.
Ada yang mengatakan jurnalisme Tempo “jurnalisme sastra”. Saya kira label itu tak ada gunanya. Ada lagi yang mengatakan jurnalisme itu jurnalisme “interpretative”, jurnalisme dengan tafsir. Saya lebih suka tak menamainya.
Yang penting, Tempo ingin menampilkan manusia dan peristiwa dalam konteks dan proses, dalam multisegi dan perubahan. Tak ada kisah yang final. Kemungkinan selalu dibuka untuk versi yang berbeda dari apa yang kita ketahui. Maka bukan kebenaran obyektif yang hendak dicapai (dan akan sia-sia), melainkan kesediaan mendengar kebenaran dari sudut lain.
Jurnalisme ini jurnalisme dengan empati.
Tempo mengupayakannya sejak setengah abad yang lalu. Tak selalu berhasil, tapi rasanya tak bisa dihentikan.
GOENAWAN MOHAMAD
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo