Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEPUTUSAN Presiden Joko Widodo membatalkan peraturan soal liberalisasi investasi untuk industri minuman keras sebulan setelah dia sendiri menyetujui regulasi itu menyadarkan kita akan dua hal. Pertama, Jokowi tampaknya mudah sekali menyerah pada tuntutan yang membawa-bawa bendera agama, terutama Islam. Kedua, ada masalah yang sangat mendasar dalam transparansi proses pembuatan peraturan di negeri ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Regulasi yang kini dipersoalkan adalah Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 tentang bidang usaha penanaman modal, terutama soal investasi di industri minuman keras. Presiden Joko Widodo menandatangani aturan ini pada 2 Februari lalu. Seperti semua turunan aturan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, peraturan ini pun dikebut ekstracepat agar bisa segera diberlakukan. Cepat belum tentu selamat. Belum lewat sebulan, pada awal Maret lalu, Presiden buru-buru mencabut klausul tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebelum dicabut, ketentuan baru ini mengizinkan masuknya investasi asing ke industri minuman beralkohol di empat provinsi saja, yaitu Bali, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, dan Papua. Kebijakan tersebut mengoreksi Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2014 yang memasukkan industri minuman keras ke daftar bidang usaha yang tertutup untuk penanaman modal asing.
Dari sini saja sudah tercium masalah. Di negara lain, industri minuman beralkohol adalah bagian dari budaya lokal yang diproteksi dengan berbagai peraturan. Tengok saja bagaimana Prancis melindungi industri anggurnya atau Irlandia mengatur produksi wiski di sana. Dengan membuka keran investasi asing, para pejabat di Kementerian Koordinator Perekonomian berpotensi mematikan usaha pembuatan minuman keras tradisional di Indonesia. Produsen rumahan pembuat arak di Bali, sopi di Nusa Tenggara Timur, cap tikus di Sulawesi Utara, dan swansrai di Papua bakal kewalahan bersaing dengan pengusaha bir dari Eropa, Amerika, atau Australia.
Di sisi lain, ada pihak yang memelintir kabar soal terbitnya peraturan investasi minuman keras ini. Santer diembuskan kabar bahwa peraturan ini adalah bagian dari upaya pemerintah melegalisasi perdagangan minuman beralkohol. Lagi-lagi buruknya komunikasi publik pemerintah menjadi sumber persoalan. Jika penjelasan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Bahlil Lahadalia benar, suara-suara penolakan seharusnya sudah bisa diantisipasi sejak awal. Nyatanya, organisasi kemasyarakatan besar seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah mengaku tak diajak bicara. Dengan kata lain, regulasi sepenting ini terbit tanpa konsultasi publik yang memadai.
Klaim pemerintah bahwa suara khalayak ramai akan selalu didengar terbukti hanya manis di bibir. Keputusan Jokowi membatalkan klausul investasi asing di industri minuman keras ini juga tak serta-merta berarti sebaliknya. Banyak keberatan publik soal aturan lain yang sama bermasalahnya sampai kini tak digubris. Protes keras ratusan ribu orang soal revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi pada akhir 2019 dan penolakan atas Undang-Undang Cipta Kerja pada pengujung 2020, misalnya, tak pernah direspons pemerintah dengan memadai.
Karena itu, tak salah jika ada kecurigaan tentang motif Presiden membatalkan klausul liberalisasi investasi minuman keras ini. Banyak yang menuding Jokowi baru akan bergerak jika pemrotesnya membawa dalil Islam. Selama ini, tak bisa dimungkiri: ada kesan Presiden sangat akomodatif, kalau tak mau dibilang takut, terhadap aspirasi yang berbau Islam. Inkonsistensi kebijakan yang tecermin pada kasus ini bisa membuat investor makin ragu untuk datang ke Indonesia.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo