Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
-- Buat Donald Trump dan lain-lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SAYA punya satu cerita buat Donald Trump, tapi saya tahu ia tak akan membacanya. Kalaupun membacanya, ia tak akan memahaminya. Kalaupun memahaminya, ia tak akan peduli.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Cerita ini, bukan fiksi, berlangsung di abad ke-11, di akhir kekuasaan Airlangga di kerajaan Kediri. Di tahun 1045, Baginda turun takhta. Ia memilih hidup di hutan, selamanya. Ia jadi Resi Gantayu.
Tak ada rekaman tentang apa yang diucapkannya sebelum berangkat, tak ada catatan tentang apa sebenarnya dorongan hatinya.
Saya hanya bayangkan Airlangga merasa gagal—atau sadar.
Putrinya, si sulung Sangramawijaya (dalam cerita rakyat disebut Dewi Kilisuci), yang semestinya menggantikannya berkuasa, menolak. Kedua adiknya lelaki sebaliknya. Mereka sama-sama ingin takhta itu. Maka Kediri pun dipecah jadi dua kerajaan—yang akhirnya saling memerangi. Kerajaan yang dibangun Airlangga musnah.
Saya bayangkan Airlangga sadar: di atas takhta, ia terbelah. Ia berkuasa dan juga ia tak berkuasa. Ada sebuah patung yang menggambarkannya duduk di punggung garuda, sebagai Wishnu. Tapi dengan kiasan itu sekalipun, tegak di kendaraan sakti di angkasa, ia tetap tak bisa—justru tak bisa—mengetahui apa yang terjadi. Hidup berjalan di antara debu, lumpur, kerikil, sampah.
Maka Airlangga pun masuk hutan. Dulu, ibarat di langit Kediri yang disinari matahari, ia selalu dibujuk ilusi bahwa ada korelasi antara “kuasa” dan ”pirsa”. Kini, di tengah hutan, bertapa dalam gua batu, ilusi itu tak ada. Mantan raja itu bertaut dengan rimbun yang gelap. Ia lekat dan setara dengan akar, ranting, daun, burung, ular, kecoak. Hutan tak menjunjungnya. Hutan memeluknya. Ia tak mengambil jarak dari rimba itu agar bisa mengukurnya persis dan terang buat merengkuh dan menguasainya. Tak perlu. Hutan itu—lengkap dengan misterinya—telah jadi satu dengan dirinya.
Jika benar ia titisan Wishnu, ia tentu tahu kisah dua titisan Wishnu lain.
Yang pertama Kresna. Tiga puluh enam tahun setelah perang Bharatayudha dan Pandawa menang dan Kurawa tumpas, bukan ketenteraman panjang yang didapat. Bencana malah datang.
Bagian “Mausala Parwa” dalam kitab Mahabharata menggambarkan akhir yang tragis itu: Kresna, manusia titisan Wishnu yang berkuasa di Dwaraka dan dikenal sebagai penasihat para Pandawa yang bijak-bestari, menyaksikan bagaimana tanda-tanda datang. “Perempuan-perempuan tiap malam bermimpi: seorang wanita berwajah hitam bergigi putih masuk ke rumah-rumah, ketawa nyaring, berlari di seantero Dwaraka, merenggutkan tiap jimat keberuntungan. Para lelaki bermimpi tentang burung-burung nasar yang menakutkan yang menerobos kamar dan menggerogoti tubuh.”
Para bangsawan mabuk-mabukan, bunuh-membunuh. Putra mahkota, Samba, dan Setyaki, panglima kepercayaan, tewas. Baladewa, kakak baginda, tenggelam di laut.
Kresna tahu, ia dikutuk Gandari. Ibu para Kurawa yang kehilangan 100 anaknya dalam perang itu menggugat Kresna. Tokoh yang dihormati semua pihak ini seharusnya bisa mencegah Bharatayudha meletus—tapi ia tak melakukan itu. Kresna mencoba membela diri, tapi ia tahu tangannya tak bersih. Di akhir parwa diceritakan bagaimana ia bersemadi di hutan dan berbaring dalam yoga. Seorang pemburu yang menyangka tubuh itu kijang membidikkan tombaknya. Tumit Kresna tertikam; ia tewas.
Bukan kematian itu yang membuat cerita ini muram, tapi kesia-siaan. Takhta di tangan, kemenangan dicapai, tapi Kresna terbunuh seperti hewan buruan....
Cerita kedua tentang Rama. Kita tahu kisahnya: Rama, raja Ayodya titisan Wishnu, menang perang. Ia berhasil merebut kembali Sita setelah setahun permaisuri ini disekap di istana Rahwana, raja Alengka.
Tapi kebahagiaan tak menutup cerita ini. Setelah beberapa pekan Sita tinggal di Istana Ayodya lagi, Rama ragu: benarkah istrinya tetap setia selama setahun dalam kekuasaan seorang lelaki perkasa, Rahwana? Baginda pun meminta permaisurinya menempuh ujian api: unggun dibangun, tumpukan kayu dibakar, dan di dalam nyala itu Sita harus bertahan. Jika api tak melukainya, berarti ia masih suci.
Dalam salah satu versi, Sita lenyap. Ia masuk ke dalam tanah. Ibunya, dewi bumi, memeluknya.
Bagi saya, versi yang digubah Sapardi Djoko Damono lebih menarik. Dalam sajak penyair ini, “Namaku Sita”, kita jumpai laku seorang perempuan yang lebih padat makna:
Perempuan yang tak bisa dieja
Perempuan yang di luar sabda—
Dijemput ia dari pakuwon di hutan
Oleh Rama dan kedua putranya
Untuk diboyong kembali ke istana.
Namun, di jalan dilihatnya
Sawah yang sedang dibajak
Maka meloncatlah ia dari tandu
Berlari menyusur galur
Dan menelungkup di tanah arugan—
Lenyap ke Ibu yang melahirkannya.
Bumi, sawah, tanah arugan—itulah sumber hidup yang tak bisa dijamah titisan Wishnu sekalipun. Di sana seorang yang otentik bisa bebas, kekuasaan berhenti, dan sejarah berbicara. Airlangga mendengarnya: Tuan bisa berpegang erat pada kekuasaan, tapi kekuasaan tak akan berpegang erat pada (dan niscaya menolong) Tuan.
GOENAWAN MOHAMAD
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo