DALAM masyarakat bisnis, kejujuran termasuk barang langka, tapi bukan berarti kejujuran itu tidak diperlukan di sana. Nilai kejujuran itu sendiri tidak terukur, tapi bisa amat sangat mahal. Kasus manipulasi audit atas laporan keuangan Enron dan WorldCom—raksasa bisnis di Amerika Serikat—membuktikan bahwa karena kejujuran telah dengan sengaja dicampakkan, perusahaan itu harus membayarnya dengan kerugian moril dan materiil yang luar biasa dahsyat.
Ada dua pelajaran yang bisa dipetik dari kasus Enron dan WorldCom. Pertama, kaum pengusaha bisa saja menipu berjuta-juta orang, tapi tidak bisa menipu dirinya sendiri. Sekali penipuan dilakukan—dengan memalsu hasil audit—sulit sekali untuk tidak mengulang hal yang sama pada kurun waktu berikutnya. Singkat kata, perusahaan bisa terjebak dalam perangkap yang dibuatnya sendiri. Pelajaran kedua, perusahaan hanya bisa sehat dan berkembang jika mengutamakan kejujuran. Dalam bisnis, kejujuran itu mestinya bisa ditemukan pada hasil audit, selain bisa juga secara fragmentaris terlihat pada data statistik, analisis yang tajam dan akurat, atau laporan lembaga pemeringkat.
Indonesia belum pernah diguncang skandal akuntansi sehebat kasus Enron dan WorldCom, tapi bukan berarti negeri ini bebas dari manipulasi akuntansi. Presiden Megawati belum lama ini pernah mengingatkan para akuntan agar tidak sampai keliru mengaudit, apalagi disengaja, karena hal itu membawa implikasi yang luas di bidang ekonomi, sosial, dan politik. Kita tahu bahwa implikasi itu sudah dan sedang terjadi, walaupun Presiden tidak menyebut kasus tertentu atau perusahaan akuntan tertentu.
Namun tak urung hasil audit atas laporan keuangan tahun 2001 dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang diumumkan 2 Oktober silam menarik perhatian kita. Hasil audit kantor akuntan publik Ernst & Young itu menyebutkan bahwa laporan keuangan BPPN dinyatakan wajar dengan pengecualian (qualified opinion). Ini berarti ada perbaikan dalam kinerja BPPN. Seperti diketahui, sejak lembaga ini berdiri pada 1998, laporan keuangannya selalu dinilai disclaimer—semata-mata karena akuntan tidak berani memberi opini karena data yang tersedia tidak memadai.
Untuk kemajuan itu, mungkin sudah ada yang menyampaikan ucapan selamat kepada BPPN, tapi mungkin ada juga yang urung melakukannya. Ini tak lain karena pihak akuntan Ernst & Young sendiri mengungkapkan bahwa opini wajar dengan pengecualian diperoleh hanya setelah adanya laporan susulan dari BPPN sendiri. Dijelaskan juga bahwa laporan itu menyangkut masalah BLBI, nilai asset transfer kit (ATK), serta masalah hukum.
Yang mengusik rasa ingin tahu bukanlah laporan susulan BPPN, tapi mengapa sampai ada laporan susulan seperti itu. Ternyata menurut sumber yang sangat layak dipercaya, draf awal hasil audit Ernst & Young memang memberi penilaian disclaimer alias rapor merah pada BPPN. Dan ini membuat bos BPPN, Syafruddin Temenggung, berang. Ia kabarnya bukan saja menghendaki agar rapor merah ditiadakan, tapi untuk itu juga menawarkan biaya tambahan Rp 1,3 miliar (total menjadi Rp 7,3 miliar). Seperti bisa diduga, berita miring ini dibantah, baik oleh Ernst & Young maupun oleh BPPN.
Masalahnya di sini untuk apa Syafruddin memperjuangkan rapor keuangan agar tidak merah, karena bukankah rapor tahun 2001 mewakili kinerja Ketua BPPN Putu Ary Suta? Juga buat apa ia mengucurkan Rp 1,3 miliar—kalaulah ini benar—padahal untuk kinerja BPPN yang begitu buruk, polesan audit yang paling sakti pun tidak akan membuatnya langsung mengkilat? Tapi di atas itu semua, yang patut disesalkan adalah prinsip kerja akuntan publik Ernst & Young yang bisa dikompromikan dan hasil auditnya yang terbuka untuk tawar-menawar. Kalau itu benar, tampaknya ada lagi sepotong kejujuran yang dicampakkan dan, seperti kata Megawati, implikasinya bisa sangat luas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini