SEBUAH desakan kembali nyaring disuarakan Kampus Kuning. Tapi kali ini bukan menyangkut harga barang yang perlu diturunkan atau ihwal kabinet yang mesti di-retool. Berlangsung Kamis dua pekan lalu di Kampus Universitas Indonesia, Depok, sebuah pertemuan digelar untuk membahas konsep perguruan tinggi negeri berstatus badan hukum milik negara (BHMN). Acara itu dihadiri empat universitas yang telah berstatus BHMN: Universitas Indonesia, Institut Pertanian Bogor, Institut Teknologi Bandung, dan Universitas Gadjah Mada, plus utusan dari Universitas Diponegoro, Universitas Padjadjaran, Universitas Airlangga, Universitas Sumatera Utara, dan Universitas Negeri Jakarta. Hasilnya dituangkan dalam sebuah deklarasi bernama Kesepakatan Depok.
Intinya, Kesepakatan Depok mendesak pemerintah agar segera membenahi aturan main tentang BHMN, antara lain dengan menyusun sebuah undang-undang yang khusus mengatur tentang hal ini.
BHMN adalah konsep yang digagas pada 1998 untuk membebaskan kampus dari kungkungan birokrasi seperti di era Orde Baru. Belakangan, ide ini bergulir ke arah otonomi universitas untuk mengatur rumah tangga sendiri. Dulu, seluruh anggaran ditentukan dan ditutup pemerintah. Sekarang, buat yang berstatus BHMN, bujet dikalkulasi sendiri oleh universitas bersangkutan. Pemerintah hanya mengucurkan hibah, yang jumlahnya akan makin menyusut dan dihitung menurut jumlah kelulusan mahasiswa. Adapun kekurangannya harus dicari sendiri melalui berbagai unit usaha masing-masing.
Yang jadi soal, sekarang status itu tak bisa mulus dilaksanakan lantaran terganjal peraturan yang bertabrakan. Soal pencarian dana oleh kampus adalah contohnya. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 61/1999, universitas berstatus BHMN dihalalkan mencari tambahan bujet melalui berbagai unit usaha. Tapi, merujuk undang-undang tentang perbendaharaan aset negara, hal itu justru diharamkan.
Satryo S. Brodjonegoro, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, mengakui memang ada banyak aturan yang perlu disinkronkan. Untuk membenahinya, kini hal itu tengah digodok pemerintah dan parlemen dalam Undang-Undang Pendidikan Nasional.
Otonomi pengelolaan dana ini, kata Rektor Universitas Indonesia (UI) Usman Chatib Warsa, sangatlah penting. Khususnya buat Kampus Kuning, yang berambisi menjadikan diri sebagai universitas yang diperhitungkan di Asia. Memiliki 12 fakultas dan 290 program studi, dengan 2.500 dosen, 1.500-an staf, serta 40 ribu mahasiswa, kas UI jelas tak cukup jika hanya mengandalkan subsidi pemerintah yang "cuma" Rp 300 miliar setahun. Dari jumlah itu, 90 persennya saja sudah ludes buat menggaji karyawan dan merawat bangunan. Menurut kalkulasi Usman, untuk mencapai mutu pendidikan yang ditargetkan, UI membutuhkan bujet setidaknya Rp 600 miliar setahun. Untuk menambal itulah potensi bisnis UI perlu serius digarap.
Hal senada dilontarkan Rektor Universitas Sumatera Utara (USU) Profesor Chairuddin Lubis. Baginya, kemandirian mencari dana diperlukan untuk menggenjot mutu USU agar bisa bersaing dengan universitas besar di Jawa. Selama ini, untuk menambal bujet, USU bertumpu pada perkebunan kelapa sawit seluas 500 hektare di Langkat, selain menjadi konsultan ahli di berbagai proyek.
Tapi ada pendapat lain. Tak seperti koleganya, Rektor Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Purwokerto, Profesor Rubijanto, melihat status BHMN mengandung bahaya buat universitas berkelas pas-pasan. "Kami bisa-bisa tak punya duit buat membayar karyawan. Jika uang kuliah harus dinaikkan, kan juga kasihan siswa cerdas dari keluarga miskin," katanya. Dari 20 ribu mahasiswa Unsoed, 75 persennya berasal dari keluarga petani.
Chairuddin mengakui, jika status BHMN penuh diberlakukan dan subsidi pemerintah dikurangi, dampaknya bisa berbuntut pada kenaikan uang kuliah. Cuma, menurut dia, hal itu akan diimbangi dengan peningkatan mutu dosen dan fasilitas universitas. Lagi pula program beasiswa tetap disediakan untuk yang tak mampu. "Di UI sendiri ada jatah beasiswa untuk 20-30 persen mahasiswa," Usman menambahkan.
Karena itu, kata Profesor Ichlasul Amal, mantan Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM), di sini perlu ada jalan tengah. Karena tak semua mampu, pemerintah tak boleh mengharuskan tiap universitas negeri berubah menjadi BHMN. "Jangankan yang di daerah terpencil, UGM saja tak gampang cari duit," katanya. Tapi, untuk yang siap mandiri, janganlah dibuat kebijakan tanggung yang malah membuat kampus jadi merugi. Yang terjadi sekarang, kata Ichlasul beribarat, kepala universitas dibebaskan untuk mencari makan sendiri, tapi pemerintah tetap mengikat ekornya kuat-kuat.
Iwan Setiawan, Syaiful Amin (Purwokerto), Bambang Soed (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini