Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Lokataru menemukan tujuh bentuk cawe-cawe polisi dan tentara dalam pemilihan kepala daerah 2024.
Temuan itu mengkonfirmasi investigasi Tempo sejak pemilihan presiden tentang pelanggaran asas netralitas aparatur negara.
Bermula dari keinginan Jokowi terus berkuasa.
PEMILIHAN kepala daerah 2024 telah membuat Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian RI gagal menjalankan amanat reformasi. Dua lembaga negara yang seharusnya netral itu malah secara terang benderang berpihak kepada kandidat tertentu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kantor Hukum dan Hak Asasi Manusia Lokataru menemukan tujuh bentuk cawe-cawe prajurit TNI dan anggota Polri. Peristiwa itu terjadi sejak masa kampanye hingga hari pencoblosan. Beberapa di antaranya terjadi di sejumlah kawasan terpencil di Papua. Sejumlah warga kampung mengaku diintimidasi prajurit TNI. Ada juga komandan polisi yang memaksa warga memilih salah satu pasangan calon.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tempo juga menemukan praktik kecurangan sangat masif terjadi dalam pilkada Jawa Tengah. Aparat TNI dan Polri menggunakan kekuatannya untuk menekan kepala desa dan kelompok masyarakat agar memilih pasangan Ahmad Luthfi-Taj Yasin. Mereka diancam dengan kasus hukum. Ada pula yang diminta menyediakan alat peraga kampanye. Cerita serupa di berbagai wilayah diperkirakan masif terjadi, tapi tidak dilaporkan secara resmi.
Dari berbagai peristiwa ini, biang keladi yang membuat amburadul dua institusi itu adalah nafsu besar penguasa untuk ikut campur dalam pemilihan umum. Kerusakan pertama bermula dari langkah Joko Widodo untuk memenangkan anaknya, Gibran Rakabuming Raka (sebagai wakil presiden Prabowo Subianto), dalam pemilihan presiden 2024. Berikutnya, “kolaborasi” Prabowo dengan Jokowi dalam sejumlah pilkada juga menambah panjang daftar penggunaan aparat dalam pesta demokrasi.
Jika ditarik ke belakang, keinginan mereformasi TNI dan Polri muncul karena Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) menjadi alat kekuasaan Presiden Soeharto di kalangan sipil untuk mempertahankan Orde Baru. Salah satunya lewat konsep dwifungsi ABRI. Aparat TNI dan Polri diharapkan menjunjung tinggi demokrasi dan hak asasi manusia. Kini, setelah 27 tahun berjalan, konsep reformasi TNI-Polri hanya tinggal angan-angan.
Gejala kegagalan reformasi TNI-Polri itu sebenarnya sudah terlihat pada periode kedua kepemimpinan Jokowi. Jabatan sipil yang diisi jenderal TNI dan Polri makin banyak. Mereka umumnya duduk di jabatan eselon I di banyak kementerian dan lembaga negara. Pintu mereka makin terbuka lebar saat Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara membolehkan jabatan sipil tertentu diisi personel TNI-Polri. Kini mereka ada di hampir semua kementerian dan lembaga negara.
Pemerintah bahkan sempat menyiapkan peraturan pemerintah yang akan mengatur penempatan anggota TNI dan Polri di jabatan sipil sebelum Jokowi lengser. Meski akhirnya peraturan pemerintah ini tak kunjung disahkan, munculnya aturan itu menjadi bukti bahwa Jokowi dan kelompoknya sudah menyiapkan karpet merah bagi TNI dan Polri. Masalahnya, pola semacam ini seperti akan dilanggengkan Prabowo.
TNI dianggap strategis bagi penguasa karena memiliki jaringan organisasi yang baik, bahkan hingga ke tingkat desa. Sedangkan Polri memiliki kewenangan menangani perkara hukum dan berjejaring hingga ke pelosok daerah. Kasus personel kepolisian dan TNI yang ikut campur dalam pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah sebenarnya sudah banyak dilaporkan. Namun tak ada yang berujung hukuman. Lembaga negara lain enggan berurusan dengan TNI dan Polri.
Salah satu penyebab makin kuatnya pengaruh kepolisian dan TNI di dunia politik adalah minimnya pengawasan. Dewan Perwakilan Rakyat yang bisa menjadi lembaga pengevaluasi kinerja TNI dan Polri tidak bekerja sebagaimana mestinya. Rapat kerja dengan dua institusi tersebut tak lebih sebagai ajang formalitas saja tanpa menyentuh akar masalah.
Lembaga lain, yang juga memiliki wewenang, pun tak kalah buruknya. Komisi Kepolisian Nasional, yang seharusnya mengawasi Polri, malah lebih sering berperan sebagai pembela polisi.
Kita patut cemas akan kondisi TNI dan kepolisian saat ini. Tahun ini mereka mungkin hanya menjadi perpanjangan tangan penguasa untuk melanggengkan kekuasaan. Berikutnya, bukan tidak mungkin mereka menjadi aktor utama dari perebutan kekuasaan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo