Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Cek Kosong Otonomi

12 April 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

R. Siti Zuhro Peneliti Puslitbang Politik dan Kewilayahan LIPI Ada dua dimensi penting yang perlu mendapat perhatian khusus dalam menata kembali pemerintahan daerah, yaitu masalah otonomi atau desentralisasi dan masalah keuangan. Pembenahan secara substansial dan demokratis pada sistem tersebut akan berimplikasi positif terhadap otonomi daerah dan perimbangan keuangan daerah-pusat (bukan pusat-daerah). Persoalannya, apakah materi Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemerintah Daerah yang sedang dibahas di DPR ini telah memasukkan kedua hal penting tersebut di atas? Lebih dari itu, apakah RUU tersebut benar-benar lahir dari semangat reformasi yang hakikatnya hendak menumpas sistem kekuasaan yang sentralistis? Dalam mempersiapkan UU Otonomi Daerah nanti, bagaimanapun juga, tak dapat dilepaskan dari pengalaman pahit "nasib" otonomi di bawah rezim sebelumnya, khususnya Orde Baru. Waktu itu, pemerintah pusat tampak tidak sungguh-sungguh merealisasikan otonomi. Kebijakan pemerintah tak jarang terkesan sangat tak akomodatif terhadap aspirasi masyarakat lokal dan bahkan menganggap sepi tuntutan-tuntutan tersebut. Ini ditunjukkan melalui berbagai kebijakan yang sangat represif dan bersifat seragam. Sebagai contoh, rezim Soeharto berusaha membungkam beberapa daerah yang potensial untuk menggugat pusat dengan menerapkan Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh, Irianjaya, dan Timor Timur juga menempatkan personel militer yang nota bene bukan putra daerah sebagai gubernur (seperti kasus Riau dan Kalimantan Tengah) maupun bupati/wali kota. Selain itu, keanekaragaman budaya masyarakat daerah seperti desa (Jawa), banjaran (Bali), nagari (Minangkabau), dan yang serupa di daerah lain, sengaja dihapuskan dan digantikan dengan program-program baru yang seragam dan itu diberlakukan untuk semua wilayah/daerah. Kegamangan sebagian besar masyarakat terhadap realisasi otonomi belakangan ini cukup besar. Ini sangat beralasan, karena terdapat kecenderungan kuat bahwa pemerintah transisi pimpinan B.J. Habibie masih mempraktekkan cara-cara lama. Sebagai contoh, ada unsur kesengajaan menciptakan agar antarpasal dalam RUU Pemerintah Daerah itu tidak saling mendukung—atau secara hukum "saling membatalkan". Dalam Pasal 7 RUU tersebut mengenai kewenangan daerah disebutkan bahwa kewenangannya "mencakup seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter/fiskal, serta bidang lain yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Pasal 48 (yang dapat pula disebut pasal karet) tentang dugaan makar yang dilakukan kepala daerah, presiden akan memberhentikan kepala daerah untuk sementara dan selanjutnya memberhentikannya dari jabatan tanpa persetujuan DPRD. Dari sini tampak jelas bahwa model-model rezim Soeharto masih tetap diteruskan oleh pemerintah transisi. Dapat diduga bahwa peraturan pemerintah (PP) adalah bentuk lain dari upaya untuk tetap melestarikan kekuasaan atau dominasi pusat. Lebih-lebih lagi akan sulit untuk diketahui substansi apa saja yang akan diatur dalam PP nantinya—karena hanya aspirasi pusat saja yang bakal terwakili. Bahkan bila dikaji secara kritis, tampak jelas bahwa baik RUU Pemda maupun RUU Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah (RUU PKPD) merupakan "upaya latah" sekadar untuk mengimbangi arus reformasi agar tak terkesan ketinggalan. Pendekatan yang digunakan masih tetap sama, yaitu pendekatan "stabilitas" yang tercermin dengan sangat mencolok melalui penyebutan kata "Kesatuan Negara Republik Indonesia (KNRI)" secara berulang-ulang dan kata "makar". Ini juga merupakan cermin dari kuatnya konflik kepentingan antardepartemen, khususnya ABRI dan Departemen Keuangan. Demikian juga dengan masalah perimbangan keuangan yang belum diatur secara jelas dan memadai. Pemberdayaan pemerintah daerah melalui kewenangannya dalam mengelola keuangan semestinya tak perlu dipersepsikan sebagai berkurangnya peranan pemerintah pusat. Karena itu, sulit dikatakan bahwa RUU Otonomi yang sedang dibahas tersebut sungguh-sungguh merupakan terobosan baru bagi terciptanya pemerintah daerah yang demokratis. Lebih ironis lagi RUU Otonomi ini justru merupakan "cek kosong" yang siap diisi dengan materi apa saja asalkan sesuai dengan kepentingan penguasa. Masih banyak peraturan yang dijanjikan "akan ditetapkan melalui PP". Istilah ini bisa jadi merupakan "jebakan", seperti nasib Pasal 57 UU No. 5 Tahun 1974 tentang Perimbangan Keuangan yang sampai saat ini belum pernah ditindaklanjuti. Untuk itu, perlu konsep yang jelas tentang peraturan perimbangan keuangan, apakah didasarkan atas "sumber daya" yang merupakan "aset nasional" sebagai lawan "aset daerah". Rampung tidaknya UU Otonomi Daerah tidak hanya ditentukan oleh jadwal yang telah ditetapkan oleh pihak panitia khusus DPR, tapi juga demokratis tidaknya UU Otonomi yang dihasilkan. Sudah saatnya Indonesia menerapkan otonomi dalam konsep seperti itu, apalagi belakangan muncul pelbagai fenomena gawat: semakin tipisnya sumber daya alam dan semakin kompetitifnya kompetisi antarnegara serta maraknya kerusuhan di daerah-daerah. Kenyatan itu setidaknya dapat diterjemahkan sebagai "peringatan keras" kepada kita semua, khususnya pemerintah, agar tidak mencontoh sikap stubborn rezim sebelumnya yang represif dan tidak mau tahu terhadap keluhan dan penderitaan rakyat. Percayalah, cara-cara seperti itu sudah tak populer dan tak relevan lagi. Bila tetap ngeyel, jangan heran kalau akhirnya akan ditinggal rakyat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus