Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di tengah perjalanan menuju kantor, telepon seluler Mustiko Saleh berdering. Jumat pagi dua pekan lalu, dari ujung telepon didengarnya suara Suroso Atmomartoyo, bekas Direktur Pengolahan Pertamina yang juga kolega lamanya di perusahaan minyak negara itu. Keduanya kemudian berbincang bincang tentang golf, olahraga yang digandrungi Mustiko.
Namun obrolan ini bukan sekadar urusan ecek ecek di lapangan golf. Suroso mengabarkan nama bekas Wakil Direktur Pertamina itu disebut sebut dalam perkara suap yang melibatkan Innospec Limited. Atas kucuran dana perusahaan pemasok bahan bakar timbel asal Inggris itu, keduanya dituding menikmati fasilitas perjalanan untuk bermain golf dan berbelanja, sekaligus menginap di Radisson SAS Mayfair dan Radisson Edwardian Hotel, Manchester.
Berbicang dengan Suroso hampir lima menit, Mustiko menyikapi informasi itu dengan santai. Besoknya, kabar itu merebak di media cetak. Giliran sang istri bertanya kepadanya. ”Saya ditelepon istri, apa apaan ini, kok ada berita dibayarin bermain golf di Inggris,” kata Mustiko. Teman sejawatnya juga banyak menanyakan kebenaran informasi itu.
”Saya sampaikan kepada mereka, berita itu bohong besar,” ujar Mustiko pekan lalu. Dia mengaku pencinta golf. Lapangan golf Rancamaya, Bogor, salah satu tempat favoritnya. ”Tapi saya tidak pernah sekali pun bermain golf di Inggris,” katanya. Nama Innospec pun, kata dia, baru dikenalnya setelah kasus ini meledak.
Kasus ini berembus ke Tanah Air setelah pada pertengahan bulan lalu pengadilan Southwark Crown di Inggris memvonis Innospec bersalah atas penyuapan di Indonesia. ”Melalui agen penjualan di Indonesia, mereka bergerak sistematis dan berskala besar untuk menyuap pejabat senior,” kata Thomas, hakim persidangan itu. Sepekan setelah itu, hakim menetapkan denda US$ 12,7 juta.
Persidangan digelar setelah Serious Fraud Office (badan antikorupsi di Inggris), Securities and Exchange Commission (pengawas pasar modal di Amerika Serikat), Departemen Kehakiman Amerika, dan Office of Foreign Assets Control Departemen Keuangan Amerika membentuk tim investigasi gabungan. Otoritas di Negeri Abang Sam itu turun tangan karena induk perusahaan Innospec Limited di Delaware, Amerika—Innospec Inc.—ditengarai memberikan uang pelicin kepada pejabat pemerintah Irak dan beberapa pegawai di kementerian perminyakan Irak.
Tim gabungan yang dibentuk sejak Mei 2008 itu menindaklanjuti investigasi internal yang dipimpin komite khusus Innospec Inc. Komite khusus ini dibentuk setelah direksi independen mendengar kabar tidak sedap ihwal penyogokan yang direstui sejumlah eksekutif perusahaan itu. Kirkland & Ellis LLP, konsultan hukum internasional yang berpusat di Chicago, dilibatkan dalam investigasi ini. Belakangan Innospec juga melibatkan KPMG, firma auditor yang berpusat di Amsterdam.
Hasil investigasi dilimpahkan ke pengadilan Southwark Crown, Inggris, dan Pengadilan Distrik Columbia, Amerika. Di pengadilan Columbia, Innospec Inc. terbukti bersalah dan dikenai denda US$ 14,1 juta.
Adapun di Inggris, pengadilan Southwark Crown menyingkap sederet nama mantan pejabat Pertamina serta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral yang menerima suap pada 2002 2006. Di antaranya bekas Direktur Jenderal Energi dan Sumber Daya Mineral Rachmat Sudibyo serta Direktur Pengolahan Pertamina Suroso Atmomartoyo.
Bila dihitung sejak Januari 2000, Innospec menyuplai 28.390 metrik ton tetra ethyl lead (TEL). Pendapatan yang diraup dari penjualan tadi US$ 277 juta. Selama Februari 2002 hingga 2006, Innospec mendapat US$ 170,17 juta. Komisi yang dikeluarkan, termasuk penyuapan, dari transaksi tadi US$ 11,78 juta. Fulus itu, kata Mitchel Q.C. dari Serious Fraud Office, diberikan agar penghapusan bensin bertimbel di Indonesia tertunda.
Program penghapusan timbel—lewat proyek Langit Biru senilai US$ 193,3 juta yang dicanangkan sejak 1999—terlaksana tujuh tahun kemudian. Padahal targetnya dilaksanakan penuh paling lambat 1 Januari 2003. Tanpa proyek Langit Biru, bensin tanpa timbel bisa dipenuhi dengan mengimpor high octane mogas component (HOMC). Tapi masing masing ada mafianya. ”Ada mafia HOMC, mafia octane booster, dan mafia TEL,” ujar sumber Tempo di Kementerian Energi.
Dalam dokumen pengadilan disebutkan Innospec melakoni beragam cara demi mendapatkan kontrak. Salah satunya mematok komisi, termasuk dana suap, senilai 10 persen dari setiap nilai kontrak. Disebutkan dalam dokumen itu, PT Soegih Interjaya yang sudah menjadi agen Innospec di Indonesia sejak 1982 menerima komisi dari Innospec. Dari komisi tadi, uang pelicin dibayarkan buat pejabat yang menempati posisi penting dalam menentukan pembelian timbel.
Soegih Interjaya menerima komisi yang besarannya bervariasi dari satu kontrak ke kontrak lainnya. Komisi dibayar berdasarkan persentase pesanan dan persentase pendapatan yang diperoleh dari penjualan timbel. Kisarannya 1 5 persen. Sejak April 1999, komisi yang diperoleh Soegih Interjaya naik menjadi 5 persen. Pada 2005, komisi itu naik lagi menjadi 10 persen. Antara Januari 1999 dan Desember 2006, Soegih Interjaya menerima komisi US$ 17,48 juta. Hampir semua pembayaran itu dapat dilacak oleh auditor KPMG.
Pembayaran komisi ke agen ini menjadi faktor penentu. Bila tidak ada pesanan, tidak sepeser pun Soegih Interjaya menerima komisi. Itu sebabnya, Soegih Interjaya bertindak aktif, termasuk menyuap, agar produk Innospec dipakai. Cara lainnya, Innospec mengalokasikan dana terpisah untuk tambahan suap bila sekiranya diperlukan. Beberapa dari dana tersebut dialokasikan untuk pejabat tertentu yang berpengaruh pada kurun waktu tertentu. Ada juga uang pelicin yang timbul sebagai reaksi akibat persaingan bisnis.
Salah satu yang dapat diendus adalah aliran dana buat Rachmat Sudibyo. Bekas Direktur Jenderal Minyak dan Gas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral itu disebut sebut dalam keputusan pengadilan sebagai penerima suap. Dinamai ”The Rachmat Sudibyo Fund”, dana yang dioperasikan antara 2000 dan Agustus 2002 itu merupakan kumpulan dana untuk disetorkan kepada Rachmat.
Skema aliran dana itu diurai dalam e mail antareksekutif Innospec pada Januari 2001. Dalam e mail itu disebutkan Innospec setuju mengucurkan komisi buat Rachmat US$ 40 per metrik ton bila pesanan timbel melebihi 4.000 ton dan US$ 50 per metrik ton bila pesanan melebihi 5.000 ton.
Lima bulan kemudian, kucuran buat ”Rachmat Sudibyo Fund” ditegaskan kembali dalam surat elektronik antareksekutif Innospec. Di situ disebutkan bahwa pembayaran setiap tahun buat ”Rachmat Sudibyo Fund” sudah disetujui untuk dibayar di awal tahun. Komisi buat Rachmat dari volume penjualan timbel pada 2001 sebesar US$ 261.055 dan US$ 294.970 pada 2002.
Untuk menyamarkan pembayaran, Soegih Interjaya mengirimkan dua tagihan palsu senilai US$ 265 ribu dan US$ 295.150 kepada Innospec. Dalam faktur itu disebutkan tagihan itu untuk biaya perjalanan, hotel, dan kebutuhan sehari hari seluruh anggota staf Pertamina dan Lemigas ke luar negeri dalam rangka menghadiri promosi produk Octel, salah satu usaha Innospec di Singapura. Innospec membayar dua tagihan itu pada Januari 2001 dan 2002.
Komite khusus Innospec Inc. curiga, lalu meminta KPMG mempelajari seluruh pembayaran yang ditujukan kepada Soegih Interjaya. Auditor ini menemukan dua pembayaran atas faktur fiktif tadi. KPMG curiga karena nilai pengeluaran itu hampir sama persis dengan komisi yang mesti disetor Innospec buat Rachmat, seperti skema yang diulas dalam surat elektronik tadi. Penyuapan buat Rachmat diduga berlanjut hingga 2005. Totalnya US$ 1,32 juta. Kepada BBC, Rachmat membantah telah menerima suap.
Tak hanya sampai di situ. Hasil investigasi gabungan itu juga mengungkap bahwa Innospec pernah menyogok salah satu pejabat Pertamina pada 2000 2001. Sebuah surat berhasil mengidentifikasi bahwa rekening di Pictec & Cie, bank swasta di Jenewa, Swiss, menerima transfer dari Innospec US$ 400 ribu pada 2000 dan US$ 300 ribu tahun berikutnya. Fulus diberikan untuk mengamankan pasokan 100 persen kebutuhan tetra ethyl lead di Pertamina dari 2000 hingga 2003.
Aksi Innospec dan Soegih Interjaya terus berlanjut. Pada Desember 2003, Mohamed Syakir, salah satu pegawai Soegih Interjaya, mengirim surat elektronik ke Direktur Bisnis Innospec. Isinya menjelaskan bahwa Willy Sebastian, Direktur Utama Soegih, sudah menjalin hubungan dengan Harry Purnomo, Direktur Hilir Pertamina kala itu. ”Harry berjanji membantu bisnis Octel, anak usaha Innospec. Namun Harry meminta imbalan lebih dari sekadar uang receh,” tulis Syakir. Hubungan dengan Harry tidak berlangsung lama karena pada Agustus 2004 ia dan direksi Pertamina lainnya diganti. Sejak itu Innospec mendekati Suroso Atmomartoyo, yang baru diangkat menjadi direktur pengolahan.
Pada November 2004 Soegih Interjaya meminta Suroso mengamankan 446 metrik ton timbel senilai US$ 11 ribu per metrik ton. ”SRS (Suroso) tampak setuju dan ia menyinggung biaya US$ 500 per metrik ton buat dirinya,” Syakir menulis e mail kepada eksekutif Innospec. Gayung bersambut. Innospec bersedia membayar US$ 300 ribu kepada Soegih, untuk diteruskan buat Suroso. ”Saya melihat sendiri, Willy membuka rekening buat Mr SRS (Suroso),” tulis Syakir.
Untuk memastikan Suroso menyetujui pasokan tadi, Innospec juga mengongkosi perjalanan Suroso, istri, dan satu anggota keluarganya, berpelesir ke Inggris pada April 2005. ”Tentu saja, bila ia ingin bermain golf atau pergi nonton teater, kami dapat mengatur dan membayarnya juga. Beri tahu kami apa yang dia inginkan dan kami dapat mengatur detailnya,” kata seorang eksekutif Innospec kepada Syakir. Pada akhir April, eksekutif Innospec tadi terlibat serangkaian pertemuan dengan Suroso, Willy, dan Syakir di London membahas masa depan bisnis timbel di Indonesia.
Situasi terus berubah. Desakan memakai bensin tanpa timbel kian kuat. Kelanjutan kontrak pembelian timbel menjadi tidak pasti. Itu sebabnya, Innospec menyiapkan ekstra fulus untuk pejabat Pertamina dan Kementerian Energi lainnya.
Nama Iin Arifin Takyan, bekas Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi, dan bekas Direktur Pembinaan Usaha Hilir Erie Soedarmo mulai disebut sebut pada periode ini. Dalam satu surat keduanya dikatakan pernah membantu Willy mengupayakan strategi baru agar timbel tetap digunakan, dan meminta agar setiap pemakaian octane booster oleh Pertamina membutuhkan rekomendasi resmi dari Kementerian Energi dan departemen lainnya.
Suroso membantah pernah memperoleh uang pelicin. ”Ketika tahu ada perjanjian itu, justru saya yang menghentikan pasokan timbel,” katanya. Ia juga menepis pernah bermain golf dengan Mustiko di Inggris. Soal hubungannya dengan Willy, Soegih Interjaya, ataupun Innospec, kata dia, itu hanyalah hubungan bisnis biasa.
Bantahan juga dikemukakan Iin dan Erie. ”Saya tidak terima suap,” kata Iin. Ia mengaku tidak kenal dengan Willy. Adapun di mata Erie, bukti yang dipaparkan di pengadilan Southwark Crown tidak kuat karena hanya transkrip e mail antara manajemen lama Innospec dan agennya di Indonesia, Soegih Interjaya. ”E mail itu tidak didukung dengan pemanggilan atau keterangan tertulis saksi,” ujarnya.
Yandhrie Arvian, Retno Sulistiyowati, Sorta Tobing
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo