Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Siapa di antara kita yang masih baca Robinson Crusoe? Mudah-mudahan tak ada.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Buku termasyhur bacaan orang Inggris ini terbit pertama kali di tahun 1719, dan sejak itu dialihbahasakan di pelbagai bagian dunia. Juga di Nusantara: ke dalam bahasa Melayu pada 1875, ke dalam bahasa Sunda 1879, ke dalam bahasa Jawa 1881, dan disadur ke bahasa Bare’e untuk orang Toraja di tahun 1914.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kisahnya dimaksudkan untuk pendidikan anak-anak, meskipun bukan itu maksud awal Daniel Defoe, penulisnya.
Defoe, yang bermula sebagai pedagang, kemudian jadi aktivis politik dan penulis pamflet, mendapatkan ide untuk fiksinya dari riwayat Alexander Selkirk. Orang ini kelasi yang ditinggalkan sendirian selama empat tahun lebih di salah satu pulau 650 kilometer jauhnya dari pantai Cile, di tahun 1704. Daniel Defoe menggubah riwayatnya jadi sebuah fiksi.
Tapi ia memasangnya sebagai kisah nyata. Judulnya panjang untuk meyakinkan: The Life and Strange Surprising Adventures of Robinson Crusoe, of York, Mariner: Who lived Eight and Twenty Years all alone in an uninhabited Island on the Coast of America..., plus tiga kalimat lagi.
Wajar jika kisah ini jadi bacaan anak-anak. Robinson Crusoe sebuah cerita petualangan, tauladan keteguhan hati dalam perjuangan hidup, dengan pesan keagamaan dan tak ada seks.
Sangat edukatif. Dan bisa menyesatkan.
Sekitar setengah abad kemudian, Rousseau, pemikir yang juga mengilhami Revolusi Prancis yang ingin membentuk dunia dan manusia baru menulis Émile, ou De l’éducation, terbit di tahun 1762: monolog panjang Jean-Jacques sang pengarang, yang membesarkan seorang bocah bernama Émile. Kalimat di paragraf awal: “Hal-ihwal akan jadi lebih buruk tanpa pendidikan... dan manusia tak dapat dibangun setengah-setengah.”
Dalam risalah sepanjang lima kitab ini Émile hidup sepenuhnya mendengarkan wejangan sang guru. Ia dijauhkan dari pengaruh yang merusak; ia dijauhkan dari masyarakat. Juga dari buku. Kecuali, di kitab ketiga, ada “sebuah buku yang... menyajikan telaah terbagus tentang pendidikan berdasarkan alam,” kata Rousseau.
Itulah Robinson Crusoe.
Jean-Jacques mengharuskan Émile membacanya. Émile disiapkan jadi “manusia alam”, l’homme naturel, yang “sepenuhnya buat dirinya sendiri”, tak dijajah opini dan aturan sosial.
“Jalan paling pasti untuk mengangkat si anak dari purbasangka dan mendasarkan penilaiannya atas hal-ihwal... adalah dengan meletakkannya di tempat seorang yang soliter....”
Tapi orang soliter yang kita temui dalam Émile tak persis sama dengan Crusoe dalam novel Defoe. Novel Inggris yang diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis (waktu itu tak sepenuhnya rampung) ini oleh Rousseau diformat sesuai dengan agendanya sendiri.
Maka berbeda: Crusoe-Defoe adalah ekspresi Protestantisme abad ke-18, yang muncul dengan tumbuhnya individualisme. Manusia bertanggung jawab sendiri langsung kepada Tuhan, bukan lewat Gereja. Defoe, pengarangnya yang Protestan, hidup di London yang sedang bergulat melawan kekuasaan Katolik—dan ia bagian aktif pergulatan itu. Maka dalam novelnya, pelbagai peristiwa dikaitkan dengan perubahan Crusoe jadi seorang Kristen yang saleh. Suatu hari, ketika menyesali nasibnya yang terdampar, ia membuka Injil. Di sana terbaca: “Aku tak akan pernah meninggalkanmu....” Robinson terhibur. Lebih baik, pikirnya, ditinggalkan manusia ketimbang ditinggalkan Yesus.
Crusoe-Rousseau tak demikian. Rousseau tak beragama, meskipun ia menolak atheisme yang dikibarkan rasionalisme para cendekiawan masa Pencerahan di masanya, yang kelak akan melahirkan Revolusi Prancis dan politik sekularisasi.
Yang juga beda: Crusoe-Defoe, dalam kesendiriannya, sebenarnya tetap rindu jadi bagian kekuasaan sosial. Ia contoh yang baik hubungan antara ethos Protestantisme dan kapitalisme yang digambarkan dalam telaah sosiologis Weber. Crusoe-Defoe memperlakukan Friday, orang “pribumi” yang ditolongnya, sebagai obyek. Si hitam tak diakui punya nama sendiri. Ia diproyeksikan jadi Kristen, setelah mula-mula digambarkan sebagai si dungu—dengan kesetiaan orang yang berutang.
Bagaimana versi Melayu Robinson Crusoe memasuki adegan-adegan seperti itu? Terbit di abad ke-19, di bawah kolonialisme, versi ini ternyata tak mengulang “imperialisme” Defoe.
Telaah menarik Doris Jedamski dalam Clearing Space: Kritik Pasca Kolonial tentang Sastra Indonesia Modern menyebut, dalam versi Melayu, Friday dipanggil sebagai “kawan”. Friday, tulis Jedamski, bukan “‘lembaran kertas putih’ di atas mana Crusoe melukiskan sebuah ‘jiwa yang beradab’”. Tak ada lagi “adegan-adegan yang paling memalukan dan merendahkan” yang menggambarkan si Friday “sebagai pribadi yang dungu”.
Agaknya sang penerjemah, Adolf von de Wall, seorang Indo yang tak sepenuhnya diterima di bawah hegemoni masyarakat kolonial, dengan peka merasakan ekspresi rasialisme dalam “imperialisme” Defoe.
Artinya dalam tatanan yang didasari kebrutalan identitas ras, ada subversi dari mereka yang tak jelas akan boleh bergabung di mana. Dari ketidakjelasan itu kemerdekaan menyeruak—dari tepian.
Goenawan Mohamad