Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
KPK menangkap Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi dengan tuduhan menerima suap pengadaan lahan dan jual-beli jabatan.
Dugaan korupsi Wali Kota Bekasi prototipe jebakan informalitas, proses korupsi politikus setelah Reformasi 1998.
Belum ada cara mencegahnya karena problem inheren politik Indonesia hari ini.
PENANGKAPAN Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi menambah bukti bahwa korupsi merupakan bagian inheren politik Indonesia. Komisi Pemberantasan Korupsi menuduh politikus Partai Golkar ini menerima suap pembebasan lahan dan mendagangkan jabatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebelum Reformasi 1998, para peneliti menyebutkan korupsi di Indonesia terjadi di birokrasi dan bukan di partai politik—mengingat lemahnya partai dan kuatnya birokrasi di bawah Soeharto. Ketika kediktatoran Orde Baru berakhir, korupsi dalam birokrasi merambah ke partai politik sebagai mesin utama demokrasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peran birokrasi yang surut tergantikan oleh partai yang digdaya melalui legitimasi pemilihan langsung. Korupsi merajalela tersebab mahalnya ongkos politik dalam pemilihan langsung sejak 2001. Edward Aspinall dan Ward Berenschot, dalam Democracy for Sale, mengonfirmasi bahwa ongkos pemilihan umum yang tinggi merupakan biang terjadinya korupsi di Indonesia.
Korupsi politik ini berkelindan dengan oligarki dan klientelisme. Orang kaya yang butuh proteksi bisnis menjadi penyokong kampanye para politikus untuk mendapatkan konsesi, memperoleh karpet merah untuk ekstraksi sumber daya alam, dan mendapatkan perlindungan hukum. Tingginya biaya politik juga mendorong kepala daerah memperdagangkan izin dan menjual kewenangan dalam memilih pejabat dalam birokrasi.
Survei KPK pada 2021 menunjukkan tarif jual-beli jabatan di birokrasi daerah bervariasi dari Rp 10 juta hingga Rp 400 juta. Bahkan, untuk menjadi kepala sekolah dasar dan sekolah menengah pertama, seorang guru harus menyogok kepala dinas Rp 80-150 juta. Dalam kasus Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi, korupsi sistemik itu naik satu tingkat karena melibatkan anak keturunannya.
Rahmat diketahui mematok bayaran bagi pemilik tanah yang lahannya dibeli Pemerintah Kota Bekasi untuk pembangunan. Melalui anaknya, Rahmat juga diduga menerima suap dari pejabat yang ia angkat. Sejauh ini KPK baru menemukan aliran suap untuk Rahmat dari pengadaan lahan sekitar Rp 7,1 miliar. Bisa jadi uang suap lebih besar karena KPK sudah mengendus kelakuan itu sejak 2019.
Untuk membersihkan korupsi sistemik itu, Berenschot, antropolog politik dari Leiden University, Belanda, menawarkan jalan keluar: partai dibiayai anggaran negara. Saran ini dipercayai ampuh mengatasi klientelisme—sebuah kondisi ketika politikus sebagai patron membuka diri untuk disuap oleh klien mereka, yakni para pemilih. Dipraktikkan di beberapa negara Skandinavia, sistem ini menuntut syarat: penegakan hukum. Jikapun partai dibolehkan menerima sumbangan, jumlahnya dibatasi dan kontrol dilakukan lewat audit ketat.
Penegakan hukum juga dapat mengatasi jebakan informalitas, konsep lain yang dikenalkan Berenschot. Ini adalah keadaan ketika politikus menjalin hubungan informal dengan sumber pendanaan korupsi. Rahmat Effendi, misalnya, memakai anggota keluarganya yang bukan pejabat publik dalam berhubungan dengan pemberi suap. Penegakan hukum merupakan upaya mengubah informalitas menjadi formalitas.
Harapan memperkuat hukum melalui penguatan KPK kini pupus. Melalui revisi Undang-Undang KPK, Presiden Joko Widodo menghapus independensi KPK dengan menjadikan lembaga itu sebagai institusi di bawah kendalinya. Api penegakan hukum di Indonesia makin hari makin redup saja.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo