BULAN Maret 1988 yang lalu, Daniel Bell, sosiolog terkenal dari Universitas Harvard, berkunjung ke Rusia. Dia tinggal 8 hari di sana dan memberikan kuliah umum di lembaga-lembaga pendidikan tinggi di Moskow dan Leningrad. Kesan-kesan kunjungannya dia uraikan dalam sebuah wawancara di majalah intern Departemen Sosiologi Universitas Harvard: Sociology Lives. Dalam wawancara tersebut, masalah yang disinggungnya antara lain tentu saja glasnost (keterbukaan) dan perestroika (pembaruan). Pendapat-pendapat Bell ini menarik, karena dia adalah salah seorang tokoh penting dari kalangan intelektual "Kanan Baru" di Amerika Serikat. Menurut Bell, kedua kebijaksanaan itu muncul karena kebutuhan pembangunan negara itu sendiri. Sistem birokrasi sudah begitu buruk, sehingga korupsi merajalela tanpa dapat dikontrol. Ini tentu saja merugikan proses pembangunan negara. Menantu Brehnev sendiri sampai terlibat dalam skandal korupsi, dan sekarang telah diseret ke muka pengadilan. Sesuatu harus dilakukan, dan muncullah kebijaksanaan glasnost dan perestroika bersama pemimpin Soviet yang baru, Mikhail Gorbachev. Tindakannya ini tampaknya mendapat dukungan dari kaum intelektual Rusia. Tapi yang baru jalan adalah glasnost. Bell menceritakan pengalaman. Suatu kali, dia bertemu dengan seorang akademikus. Dia meminta Bell memaafkan dia. Rupanya dia pernah bertemu dengan Bell di suatu seminar internasional. Orang ini menyerang Bell dan mengatakan bahwa dia adalah seorang sosiolog borjuis, bahwa teorinya tentang masyarakat pasca-industri salah, dan sebagainya. "Setelah selesai berbicara, saya menatap Anda," orang ini melanjutkan. "Anda juga menatap saya, tidak berkata apa-apa. Saya tatap lagi Anda, dan Anda tetap diam. Saya tahu bahwa Anda tahu apa yang terjadi pada diri saya. Anda tahu bahwa saya telah berbohong. Kalau Anda menyerang saya pada waktu itu, saya terpaksa berbohong lebih banyak. Anda telah membebaskan saya dari perasaan malu dan hina. Karena itulah saya perlu meminta maaf kepada Anda sekarang." Hal seperti ini tidak mungkin terjadi sebelum zaman Gorbachev. Perestroika merupakan hal yang lebih sulit. Di sini, diperlukan perombakan struktural dari sistem dan birokrasi yang ada. Bell mlukiskan keadaan birokrasi Rusia sebagai berikut: untuk setiap dua pekerjaan birokrasi, ada tiga administrator. Hal ini membuat birokrasi di sana tidak efektif dan tidak efisien. Birokrasi ini perlu dirampingkan. Perdana Menteri Inggris Ny. Thatcher menghadapi hal yang sama pada tahun 1980-81. Dia lalu mengambil tindakan drastis. Industri sekarang jauh lebih ramping dan produktif. Tapi "harga" yang harus dibayar adalah angka pengangguran naik menjadi 11%. Tampaknya pemerintah Rusia belum siap menghadapi konseini. Apalagi pada saat ini Rusia masih menghadapi persoalan sengketa etnis yang cukup memusingkan, di Armenia dan Azerbaijan. Bell kemudian melihat, bila Gorbachev gagal dengan kebijaksannya ini, Rusia akan mengalami langkah mundur yang serius. untuk ini, dia menceritakan sebuah anekdot. Ketika Stalin meninggal, menurut cerita ini, dia meninggalkan dua surat. Pada amplop surat pertama tertulis: "Dibuka bila menghadapi kesulitan." Pada amplop surat kedua tertulis: "Dibuka kalau keadaan menjadi lebih sulit." Ketika surat pertama dibuka, di dalamnya tertulis: "Salahkan semuanya pada saya. Ketika surat kedua dibuka, tertulis : "Lakukanlah seperti yang dulu saya perbuat." Ketika ditanya teori sosiologi mana yang paling dapat menjelaskan keadaan Rusia sekarang, Bell menjawab: tidak ada. Teori-teori yang berkembang di bidang sosiologi pada umumnya didasarkan pada pengalaman masyarakat di dunia Barat. Apa yang terjadi di Rusia, juga di negara-negara non-barat lainnya, sangat berlainan. Teori birokrasi Weber, misalnya, hanya menyingkap sedikit sekali, yang jauh dari cukup untuk dapat menjelaskan gejala birokrasi Rusia. Di sana, birokrasi bukan saja dipakai untuk mengambil keputusan, tapi juga untuk menyembunyikan keputusan, untuk menunda keputusan, untuk membuat jaring-jaring kekuasaan. Juga terdapat apa yang disebut sebagai counter bureaucracy. Sehingga seorang sosiolog Rusia berkata kepadanya bahwa Rusia adalah masyarakat yang sudah tidak lagi mengetahui dirinya. Banyak orang Rusia tidak tahu lagi apa yang sebenarnya sedang terjadi. Sosiolog yang mau mempelajari masyarakat seperti di Rusia harus mulai lagi mencoba mengerti apa yang terjadi di lapangan. Dia tidak boleh terlalu bergantung pada konsep-konsep yang ada. Setelah mengerti lapangan, baru konsep-konsep teori dikembangkan, dari bawah. Juga konsep-konsep Marx tak bisa dipakai untuk menjelaskan Rusia. Berbeda dengan analisa Marx, demikian Bell, yang terjadi di Rusia sekarang adalah kontradiksi antara birokrasi yang menghambat perkembangan ekonomi dan teknologi, bukan kontradiksi antara social relations of production dan forces of production. Apakah pertanyaan yang paling menarik yang ditanyakan kepada Bell? Menurut Bell, pertanyaan yang paling tidak dia duga muncul ketika dia berceramah di Universitas Leningrad, yaitu: "Apakah tidak sebaiknya kalau semua ini kita pasrahkan kepada Tuhan?" Bell memang telah siap untuk menghadapi pelbagai variasi pertanyaan, tapi pertanyaan seperti ini tidak masuk dalam perhitungannya. Dia menjawab: "Pertanyaan Anda sangat penting, dan pertanyaan seperti ini sudah ditanyakan sejak 2.000 tahun yang lalu di masyarakat Barat. Kesulitan menjawab pertanyaan ini adalah kita tidak pernah tahu melalui siapa Tuhan bicara. Kalau saja kita tahu maka dunia akan jauh lebih sederhana sejak dulu." Membaca wawancara Bell, saya jadi bertanya-tanya, apakah Bell benar berkunjung ke Rusia. Siapa tahu, dia mungkin sebenarnya berkunlung ke Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini