KONON, Adam Malik pernah memenangkan gugatan perdata atas pencemaran nama baik yang dilakukan oleh sebuah media Ibu Kota. Tapi kasus itu tak banyak dibicarakan, sirna dari ingatan, dan tak pernah diperdebatkan. Kasus itu dianggap terlalu sederhana. Tapi kasus ini sebetulnya punya dimensi lain yang sangat menarik dimasalahkan: sejauh mana seorang tokoh publik (public figure) seperti Adam Malik dapat merasa terhina, tercemar, dan ternista oleh pemberitaan publik, lisan maupun tulisan. Bukankah status tokoh publik itu telah menghilangkan sifat- sifat privasi seseorang, dan dengan demikian dia menjadi milik publik (public property)? Apakah tokoh publik tak sebagaimana sebuah buku yang terbuka, termasuk terbuka untuk pelbagai penafsiran, baik yang memuji, menyanjung, maupun merendahkan atau melecehkan? Di sini soal penghinaan, pencemaran, dan penistaan menjadi amat melekat pada penafsiran yang bisa beragam-ragam. Soal penghinaan, pencemaran, dan penistaan bisa jadi soal yang sangat relatif dan subjektif, bergantung pada karakter dan sifat orang yang merasakannya. Di negara-negara lain, soal penghinaan, pencemaran, dan penistaan ini adalah soal besar. Rumusan defamation, slander, dan libel, misalnya, sudah sangat berkembang. Padahal, peluang untuk menumbuhkan rumusan hukum soal penghinaan, pencemaran, dan penistaan, terutama dalam kaitannya dengan tokoh politik, bukannya tidak ada. Beberapa tahun lalu pengusaha terkemuka Probosutedjo merasa dicemarkan nama baiknya oleh ilmuwan Yahya Muhaimin. Seperti kita tahu, kasus itu tidak jadi dibawa ke pengadilan, dan kita tidak bisa membangun yurisprudensi baru dari kasus itu. Kita sekarang dihadapkan pada kasus Primadosa Wimanjaya, yang bisa saja dianggap melakukan penghinaan, pencemaran, dan penistaan. Tidak tanggung-tanggung, dalam kasus Primadosa ini, yang terhina, tercemar, dan ternista adalah Soeharto, presiden dari negeri yang besar ini. Secara yuridis, kasus ini akan amat menarik karena dalam kasus ini tokoh publik bersatu dengan sifat pejabat publik (public official). Bagi pers, kasus ini pun luar biasa menariknya, sama menariknya dengan banyak kasus berbau defamation terhadap Bill Clinton dan/atau Lady Diana, misalnya. Bedanya, mungkin, Clinton dan Lady Diana akan amat sukar menyeret pihak yang menghina, mencemarkan, dan menista mereka karena status mereka sebagai tokoh publik yang secara sosial sudah dikondisikan untuk bersedia "dibedah" atau "dipermalukan" secara publik. Sedangkan di sini, mungkin saja Wimanjaya diseret lebih jauh lagi ke pangkuan subversi. Apa pun yang akan terjadi, kasus Primadosa amat menarik dan akan menjadi test-case bagi kita semua: apakah seorang tokoh publik dapat menuntut dan menggugat orang lain atau media lain yang dituduh menghina, mencemarkan, dan menista. Kalau kemungkinan itu terbuka, atas dasar apa tuntutan dan gugatan itu bisa dilakukan? Dan di tangan siapa beban pembuktian itu diletakkan? Soal ini sangat penting karena di negara lain gugatan seperti ini selalu gagal. Seorang tokoh publik sudah dianggap tak lagi berhak merasa terhina, tercemar, dan ternista. Kecuali kalau bisa dibuktikan ada unsur actual realice: suatu kebencian yang berbau fitnah dan dendam yang memang didasarkan oleh suatu itikad jahat. Tetapi justru di sini pembuktian itu sering gagal. Kabarnya, penyidikan terhadap penulis Primadosa ini akan dilakukan. Seandainya ini benar, kasus ini akan jadi batu ujian yang besar. Pasal 310 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) akan diuji lagi karena pasal inilah yang menjadi inti dari delik penghinaan, pencemaran, dan penistaan, baik lisan maupun tulisan, dalam sistem hukum pidana Indonesia. Hendaknya dalam membaca Pasal 310 KUHP ini kita tak terlalu mempersoalkan hukuman yang dijatuhkan -- karena memang sangat rendah: delapan bulan penjara atau denda Rp 4.500 untuk penghinaan, pencemaran, dan penistaan lisan, serta satu tahun empat bulan atau denda Rp 4.500 untuk penghinaan, pencemaran, dan penistaan tulisan. Dalam hal ini, unsur "dengan sengaja" dan unsur "tersiar secara publik" menjadi amat penting untuk dibuktikan. Biasanya di sinilah kesulitan pembuktian itu muncul, apalagi kalau dikaitkan dengan kekecualian yang dimungkinkan oleh Pasal 310 KUHP tersebut, yaitu: "Tidak termasuk menista atau menista dengan tulisan jika ternyata bahwa si pembuat melakukan hal itu untuk kepentingan umum, atau lantaran terpaksa karena untuk mempertahankan diri sendiri." Jadi, seandainya unsur "kepentingan umum" ini bisa dibuktikan, akan amat sulit seorang tokoh publik menyeret orang atau media ke pengadilan -- karena sering sekali unsur kepentingan umum ini sangat menonjol dalam setiap pemberitaan. Agaknya, inilah yang membuat Bill Clinton atau Lady Diana sukar menyeret media yang dituduh melakukan defamation, apalagi karena media di sana betul-betul menikmati kebebasan pers. Di Indonesia, pers kita belum lagi menikmati kebebasan seperti di negara-negara lain, dan tokoh-tokoh publik pun belum dikondisikan oleh hukum untuk menjadi milik publik yang kehilangan hak pribadinya. Jadi, peluang mereka untuk merasa terhina, tercemar, dan ternista jauh lebih besar. Ria Irawan sebagai tokoh publik bisa saja merasa terhina, tercemar, dan ternista oleh pemberitaan pers, lantas menuntut dan menggugat pers kita. Padahal, pers kita punya alasan yang amat kuat dan legitimate untuk memberitakan kasus Ria Irawan, yang termasuk dalam kategori tokoh publik, dan sekaligus memenuhi pula unsur kepentingan umum. Bukankah pemberitaan ihwal perdagangan narkotik itu suatu kepentingan umum? Tapi, karena yurisprudensi dan doktrin hukum itu masih belum terbentuk di negeri ini, Ria Irawan bisa saja mengambil langkah ke arah itu. Pers memang harus lebih hati-hati, tapi tidak perlu takut karena pada dasarnya truth is a complete defense against any defamatory allegation.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini