SALAH satu menu orang beken adalah dikejar-kejar wartawan. Inilah yang dialami Ria Irawan -- bintang film dan sinetron yang kenes itu. Dalam keadaan normal, boleh jadi dia sah punya privasi di rumahnya. Tapi, ketika ada yang tewas di dalam rumahnya, urusan bisa jadi lain. Orang koran pun bisa gelinggaman alias geregetan untuk menyigi -- kalau bisa -- sampai ke bawah selimutnya sekalipun (lihat juga Kolom T. Mulya Lubis, Dapatkah Tokoh Publik Merasa Tercemar?). Ihwal pemberitaan seputar musibah kematian Aldi di rumah Ria kemudian dikeluhkannya telah melangkahi hak asasinya untuk dianggap tidak bersalah sebelum ada vonis pengadilan. Pekan lampau ia diketahui menghubungi Lembaga Bantuan Hukum untuk urusan hak asasi ini. Dan tak kurang menariknya adalah ucapan Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya, Mayor Jenderal Hindarto, yang menganggap pemburu berita telah mengusik pengusutan polisi dalam perkara tewasnya pemuda berusia 22 tahun itu. Aneh, memang. Kasus kematian Aldi sendiri belum tuntas, eh, malah sosok wartawan yang jadi momok. Menurut ahli filsafat komunikasi Universitas Indonesia, Prof. Dr. Astrid Sutanto, pemberitaan pers sejauh ini masih wajar, belum menjurus pada tanda menghakimi Ria di luar pengadilan. Malah, Astrid melihat Ria "pandai berakting" dan mengacaukan opini publik, padahal itu akan merugikan dirinya sendiri. "Pekerjaan pers memang begitu. Mencari berbagai kemungkinan untuk mendukung beritanya agar lebih akurat dan mengarah pada kebenaran," kata Astrid, yang dikutip Antara, seusai sebuah acara promosi doktoral di UI, Rabu pekan lalu. Senada dengan Astrid adalah Ketua Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia, Sjamsul Basri. Ia melihat, pers sampai saat ini masih mampu mengendalikan diri. "Belum pernah ada media massa yang menyebut Ria itu tertuduh," katanya. Tampaknya, nama beken ini kurang terpikul oleh Ria maupun pihak keluarganya. Misalnya, ucapan menghina dari abangnya - Adi Irawan, seperti diberitakan harian Media Indonesia, 9 Februari -- ketika menghadapi wartawan yang mendatangi rumahnya. "Ini rumah gue. Yang tidak berkepentingan silakan cabut. Jangan harap mendapat keterangan dari Ria, karena tak bakal ada uangnya," ujar Adi, seakan tak punya perbendaharaan lain yang lebih genah. Adi alpa pada posisi adiknya sebagai bintang film atau tokoh selebriti. Seperti diingatkan Sjamsul Basri, sebagai tokoh publik, begitu ada yang tewas di dalam rumahnya, garis batas privasi Ria jadi tak jelas lagi. Kalau sampai ia mengeluh "diserbu" orang koran, itu berarti Ria mengingkari konsekuensi menjadi orang beken. Jadi, tak gampang, bukan? Tapi wartawan juga dianggap momok oleh polisi, sampai dituding mengakibatkan penyidikan jadi kacau. Ini tentu lebih aneh lagi. Sebab, berita yang dilansir itu tulen dari sumber kepolisian sendiri karena wartawan tidak diizinkan berbicara langsung dengan tersangka Ria Irawan. Kerepotan itu sebenarnya bersumber dari keterangan sepotong-sepotong dan cenderung serbarahasia -- kalau tidak akan disebut lebih merupakan gerakan tutup mulut dari pihak polisi sendiri. Karena tugas seorang jurnalis tidak sama dengan notulis (juru tulis), ya, para reporter harus melakukan investigasi. Hasilnya, berita tewasnya Aldi di rumah Ria turun dengan berbagai versi, sesuai dengan informasi dari sumber-sumber yang mungkin bisa bertentangan. Ini sebenarnya bisa dihindari jika sejak awal ada keterbukaan. Maka, Kapolda Hindarto tidak perlu sewot atau sampai mengambinghitamkan wartawan. Lebih gawat lagi, Mayor Jenderal Hindarto sampai minta agar berita seputar Ria dan kematian Aldi distop. "Biar tidak ribut," kata penegak hukum itu tanpa menyebut landasan kewenangannya melarang pers menulis berita. Nasib baik bagi perwira tinggi kepolisian ini, sebab bosnya cepat mengoreksi. "Siapa bilang pemberitaan tentang Ria dan kematian Aldi disetop? Ndak ada itu. Silakan tulis berdasarkan fakta yang ada," kata Jenderal Banurusman, Kepala Kepolisian RI.Ivan Haris, Toriq Hadad, dan Ed Zoelverdi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini