Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LINGKUNGAN eksternal yang dihadapi Indonesia setelah dilanda krisis ekonomi Asia pada tahun 1997-98 telah mengalami berbagai perkembangan. Ini perlu diperhatikan oleh pemerintah maupun dunia usaha. Sejak tahun 2001 lokomotif ekonomi dunia, Amerika Serikat, bertumbuh dengan amat lamban akibat berakhirnya boom sektor teknologi tinggi. Di samping itu, munculnya Cina sebagai negara adidaya ekonomi potensial—dengan pertumbuhan ekonomi yang menakjubkan selama hampir seperempat abad, masuknya negara ini ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), dan derasnya penanaman modal asing yang jauh melebihi arus ke negara ASEAN lain—adalah perkembangan yang mengkhawatirkan, tapi di sisi lain juga membuka peluang bagus bagi Indonesia.
Perkembangan lain yang bisa mempengaruhi kinerja ekspor nonmigas Indonesia, khususnya tekstil dan garmen, adalah akan dihapuskannya Persetujuan Multiserat (Multifibre Agreement, MFA) pada awal tahun 2005.
Di bawah rezim MFA, ekspor dua komoditas ini dari negara berkembang ke negara maju, khususnya Amerika Serikat, Kanada, dan negara anggota Uni Eropa, dibatasi kuota impor khusus (country quotas). Meskipun di satu sisi hal ini menghambat pertumbuhan ekspor tekstil dan garmen, di sisi lain—sepanjang ekspornya tidak melebihi kuota yang telah ditetapkan—kuota impor khusus itu juga menjamin akses kita ke pasar negara-negara maju di atas.
Dengan dihapuskannya MFA, negara pengekspor tekstil dan garmen, termasuk Indonesia, tidak akan menikmati lagi akses yang mudah ke pasar negara maju. Mereka harus bersaing keras dengan negara berkembang lain untuk mempertahankan pangsa pasar yang kini terbuka bagi impor dari semua negara.
Lantas, mampukah industri tekstil dan garmen Indonesia bersaing dengan negara berkembang lain, khususnya Cina? Pada tahun 2001, dengan jumlah tenaga kerja yang murah dan produktivitas kerja yang lebih tinggi, Cina telah muncul sebagai pesaing kuat dan berhasil menjadi negara pengekspor hasil industri kelima terbesar di dunia.
Masalah lain yang patut diperhatikan industri manufaktur adalah keanggotaan Indonesia dalam WTO dan AFTA, yang membuat kita harus lambat-laun mengurangi rintangan tarif bea masuk yang kini masih diberlakukan terhadap impor berbagai macam barang. Karena itu, dalam waktu dekat perusahaan-perusahaan manufaktur Indonesia bukan saja akan menghadapi persaingan sengit di pasar ekspor, tapi juga di pasar dalam negeri.
Menghadapi lingkungan eksternal yang makin terbuka, kian sengit dalam persaingan global, makin pesat dalam perkembangan teknologi—terutama di bidang teknologi informasi—dan kian pendek dalam daur hidup produk (product life cycles), Indonesia mau tidak mau harus mampu menghadapinya jika tak ingin dikesampingkan dalam ekonomi global yang semakin terintegrasi ini.
Di sisi lain, kemampuan Indonesia menghadapi berbagai tantangan di atas akan membuka peluang untuk menjamin keberlanjutan pertumbuhan ekspor hasil industri pada khususnya dan pertumbuhan sektor industri manufaktur pada umumnya. Misalnya, keanggotaan Cina dalam WTO mengharuskan negara ini mengurangi berbagai rintangan yang dikenakan terhadap impor. Peluang ini dapat kita manfaatkan dengan baik. Selama 11 bulan pertama tahun 2002, Indonesia berhasil meningkatkan ekspor nonmigas ke Cina sampai US$ 1,9 miliar. Ini berarti 33 persen lebih tinggi dari jumlah yang dicapai selama kurun waktu yang sama pada tahun 2001. Kini Cina telah menjadi pasar ekspor keempat terbesar bagi kita sesudah Amerika Serikat, Jepang, dan Singapura.
Tantangan besar yang sekarang dihadapi Indonesia untuk meningkatkan daya saing industrinya adalah bahwa pada awal abad ke-21 ini daya saing makin ditentukan oleh kemampuan inovasi, termasuk inovasi produk maupun proses produksi.
Kemampuan inovasi kini makin rumit dan padat pengetahuan, dan pada umumnya belum kita kuasai. Kemampuan inovasi juga memerlukan pemikiran kreatif dan keterbukaan pada gagasan baru, dan karena itu sistem pendidikan Indonesia harus mampu mendorong para pelajar dan mahasiswanya untuk berpikir secara kritis dan kreatif. Hal ini memerlukan reorientasi pendidikan—satu hal yang tidak mudah, seperti telah kita lihat di Jepang dan Singapura.
Tantangan yang kini kita hadapi bukan saja upaya peningkatan daya saing industrinya, tapi juga upaya yang lebih serius untuk menghindari lebih banyak lagi perusahaan yang hengkang ke luar negeri atau menutup bisnisnya karena iklim usaha yang buruk. Iklim yang buruk ini telah mengakibatkan deindustrialisasi, kontraksi sektor industri manufaktur yang memprihatinkan berupa penurunan dalam volume produksi dan kesempatan kerja. Jika masalah ini tak segera ditanggulangi, prospek ekonomi kita dalam jangka menengah sungguh tidak cerah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo