Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Demokrasi, lagi

Demokrasi terpimpin, asli dari indonesia. menurut bung karno masyarkat Indonesia tak mengenal konflik atau perjuangan kelas. tahun 1965, konflik muncul sangat keras, yakni terbunuhnya para jenderal

29 Januari 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUA puluh tujuh tahun yang lalu Bung Karno berseru, "Indonesia, carilah demokrasimu sendiri!" Sejak itu sejumlah orang Indonesia sibuk mencari demokrasi mereka sendiri. Sebenarnya tak jelas benar apa arti kata "sendiri" di sana. Tetapi orang berbondong-bondong ke atas, ke bawah, ke samping, ke belakang, ke kolong rumah, ke bawah pohon, ke gudang, dan entah ke mana lagi untuk menemukan apa yang dianjurkan Bung Karno. Apa yang didapat? Sebuah kotak. Besarnya sama dengan komputer laptop. Isinya tak nampak dengan jelas dari luar. Hanya setiap orang yang membukanya, dan melongoknya, selalu berteriak: "Wow! Wah!". Kemudian, setelah beberapa jam berlalu, orang itu akan berdiri dengan khidmat, dan dari mulutnya keluar sebuah maklumat: "TELAH DIKETEMUKAN DEMOKRASI INDONESIA ASLI". Kata orang, isi kotak itu sebenarnya sebuah benda pipih yang mirip cermin atau layar monitor. "Isi kotak itu bukan demokrasi Indonesia sendiri," kata sebuah sumber. "Tapi dari sana orang setelah menatap lama-lama dapat mendapatkan sesuatu yang ia ingin peroleh." Ajaib. Tapi demikianlah, di tahun 1958, Bung Karno menghadirkan sebuah demokrasi yang persegi bentuknya, dengan warna seperti batu rubi. Saya pernah coba melihatnya ketika umur saya baru 20-an tahun. "Semuanya asli sini," kata seorang pejabat yang saya temui di antara orang ramai yang mau berapat akbar di Stadion Utama Senayan. Ia memang bertugas menjelaskan seluk-beluk benda itu. "Pokoknya bukan bikinan Barat, deh," kata pejabat itu pula, matanya bersinar-sinar. Benda berwarna rubi itu kemudian disebut "demokrasi terpimpin". Dan sang pejabat pun menjelaskan, bahwa "demokrasi terpimpin" itu merupakan benar-benar demokrasi kita sendiri, karena tumbuh dari suasana Indonesia yang khas, yakni "gotong royong" dan "kekeluargaan". Bung Karno konon orang yang paling baik dalam membaca apa yang tertera di layar monitor di kotak itu, dan kata sahibul hikayat, di sana ia melihat gambaran masyarakat Indonesia: sebuah masyarakat yang tak mengenal konflik, atau perjuangan kelas, atau "liberalisme dengan persaingan bebas". Bung Karno melihat bahwa bangsa Indonesia itu satu keluarga besar. Orang agama, orang nasionalis, orang komunis, katanya, adalah "alle leden van de familie", baik di meja kerja maupun di meja makan. Tak semua orang sepaham. Ada seorang yang berbisik bahwa Bung Karno salah membaca benda mirip cermin di kotak ajaib itu. Yang ia lihat adalah dirinya sendiri. Sebab bagaimana mungkin masyarakat Indonesia tak mengenal konflik? Sejarah Indonesia jika layar monitor itu dibaca secara lain, kata orang yang tak setuju terhadap Bung Karno itu adalah sebuah sejarah yang penuh konflik. Majapahit berperang dengan Pajajaran, Sultan Iskandar Muda dari Aceh menggulung kekuasaan orang-orang kaya, Mataram menggebuk pusat-pusat kekuasaan yang lebih tua di pasisir. Belum lagi sejarah modern Indonesia: sejak sengketa di kalangan pergerakan nasional, sampai dengan Peristiwa Madiun dan PRRI-Permesta.... Lalu datang tahun 1965, ketika konflik yang lebih keras dan meluas meletus, ketika banyak sekali dari para jenderal sampai dengan buruh tani orang Indonesia dibunuh oleh orang Indonesia lain. Maka, hasil bacaan Bung Karno pun nampak kurang jitu, walaupun niatnya mulia. Dan gagallah sebuah sistem politik yang bertolak dari asumsi bahwa konflik adalah zat asing di antara kita. Lalu benda persegi berwarna rubi yang disebut "demokrasi terpimpin" itu pun disepak ke sudut. Itu tak berarti bahwa orang Indonesia berhenti mengikuti anjuran Bung Karno untuk mencari demokrasinya sendiri. Tapi apa itu arti "sendiri"? Seorang pembaca filsafat Derrida menyarankan agar kita mendekati kata "sendiri" itu dengan "differance". Begini, ujarnya: "sendiri" (dalam kata "demokrasimu sendiri" itu) punya arti bukan saja dalam perbedaannya dengan yang lain, tetapi baik "yang lain" itu maupun apa itu makna "sendiri" jika diusut senantiasa menjawab, "nanti dulu". Saya tak begitu paham membaca Derrida, tapi rasanya benar bila "demokrasi" tak ada yang "sesungguhnya", atau ketentuannya tak pernah final. Maka meniru demokrasi yang sudah ada justru bukan cara yang tepat. Bung Karno benar: kita harus mencari. Tapi mencari bukanlah menentukan rumus. Mencari membutuhkan kemerdekaan menjelajah, kebebasan menghadirkan yang lain, keluasaan mengoreksi apa yang dicoba. Kata sang penganjur differance, di layar monitor di kotak ajaib tadi sebenarnya ada kata-kata Derrida, "democratie a venir": sebuah demokrasi yang punya struktur dari janji itu.Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum