Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Demonstrasi Aparatur Pemerintah dan Premanisme Negara

Respons pejabat Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi atas demonstrasi pegawai menunjukkan watak premanisme.

23 Januari 2025 | 06.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi: TEMPO/J. Prasongko

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ringkasan Berita

  • Demonstrasi para pegawai negeri di Kementerian Pendidikan Tinggi meneguhkan posisi aparatur negara sebagai satuan buruh.

  • Tantangan terbesar dari pengorganisasian buruh adalah kurangnya kesadaran aktor-aktor internal untuk berserikat.

  • Negara tidak memiliki kepekaan apa pun terhadap besarnya krisis yang sedang terjadi.

"INSTITUSI Negara Bukan Perusahaan Pribadi Satryo dan Istri!" demikian tulisan dalam salah satu spanduk yang dibawa oleh ratusan aparatur sipil negara Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi saat berdemonstrasi di kantor mereka, Senin, 20 Januari 2025.

Demonstrasi ini merupakan buntut pemecatan sepihak Neni Herlina, salah seorang pegawai di Kementerian. Aksi yang dilakukan di lobi utama Gedung D Kementerian Pendidikan Tinggi itu tidak hanya meneguhkan posisi aparatur negara sebagai satuan buruh, tapi juga membuka realitas baru mengenai keras kepalanya negara dalam menghadapi gejolak ketenagakerjaan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hal yang dialami oleh Neni sejatinya bukanlah fenomena kekerasan pertama terhadap pegawai yang terjadi di lingkungan pemerintahan. Sebelumnya, pada Agustus 2024, Tempo memberitakan perundungan terhadap seorang pegawai Kementerian Sosial di Bandung Barat, Jawa Barat, yang terjadi selama delapan tahun.

Di luar itu, sejumlah kasus pemberhentian kerja sepihak juga telah banyak mencuat di media massa. Salah satu yang paling ramai terjadi pada 2022, ketika DH, seorang aparatur sipil negara dengan disabilitas mental, diberhentikan lewat surat keputusan Menteri Keuangan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Namun beberapa peristiwa kekerasan dan pemecatan sepihak terhadap aparatur sipil negara yang terjadi hingga saat ini masih belum cukup kuat untuk memunculkan pengorganisasian massa (demonstrasi). Karena itu, unjuk rasa yang dilakukan oleh para pegawai Kementerian Pendidikan Tinggi bisa dibilang sebagai aksi pionir dan janggal terjadi di lingkungan aparatur negara.

Tantangan Buruh dalam Menuntut Hak

Tantangan terbesar pengorganisasian buruh adalah kurangnya kesadaran aktor-aktor internal untuk berserikat. Tantangan tersebut menjadi makin besar ketika tenaga kerja mendapatkan label-label pretensius (bernilai mewah).

Hal itu terjadi pada perjuangan guru honorer menuntut upah layak. Guru honorer yang dibingkai (framing) sebagai pendidik dan harus menjadi teladan bagi siswa akan lebih enggan menuntut haknya lewat aksi-aksi turun ke jalan ketimbang buruh industri yang tidak mendapatkan label serupa.

Aparatur negara memiliki tantangan yang sama untuk menuntut hak-hak ketenagakerjaan mereka. Selain dibingkai sebagai pelayan masyarakat, kultur feodalistik (atasan-bawahan) yang erat mengikat aparatur negara membuat perjuangan menjadi makin sukar.

Akibat budaya feodalistik, upaya menutupi kesewenangan pejabat terkadang dianggap sama dengan menjaga rahasia negara. Karena itu, kesewenangan Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Satryo Soemantri Brodjonegoro yang mampu memunculkan gerakan demonstrasi oleh aparatur negara jelas tidak dapat dipandang sebelah mata.

Sayangnya, negara tidak memiliki kepekaan apa pun terhadap besarnya krisis yang sedang terjadi. Unjuk rasa pegawai Kementerian Pendidikan Tinggi justru dibalas ancaman. Sekretaris Jenderal Kementerian Pendidikan Tinggi Togar M. Simatupang pernah menyatakan, ke depan, demonstrasi di lingkungan kementeriannya akan dipersoalkan secara hukum. Respons Togar dalam menyikapi tuntutan para pegawai itu justru menampilkan Kementerian Pendidikan Tinggi sebagai lembaga berwatak preman yang suka main ancam.

Togar juga menyampaikan demonstrasi pegawai berefek pada terganggunya pelayanan Kementerian Pendidikan Tinggi. Pernyataan tersebut jelas keliru. Seharusnya para pejabat di kementerian itu bisa memilah, peristiwa mana yang menghasilkan daya rusak lebih besar: unjuk rasa pegawai selama setengah hari atau membiarkan langgengnya kesewenangan pejabat? Apabila aksi penuntutan hak oleh pegawai masih dianggap mengganggu, negara—dalam hal ini Kementerian Pendidikan Tinggi—telah menutup pintu untuk berbenah dan mengevaluasi diri.

Selain itu, Kementerian Pendidikan Tinggi tampak belum memiliki kesadaran mengenai arti penting demonstrasi. Kementerian, lewat Togar Simatupang, menyatakan telah memberi kanal yang sehat untuk menyampaikan pendapat sehingga demonstrasi seharusnya diambil sebagai langkah terakhir. Alih-alih berbicara seperti itu, Togar dan para pejabat di Kementerian seharusnya memeriksa, apakah kanal yang disebut “sehat” tersebut benar-benar berfungsi.

Tidak hanya mempersekusi para pegawai Kementerian Pendidikan Tinggi yang menuntut hak-haknya, pernyataan Togar yang defensif, bahkan bernada ancaman, berisiko mempengaruhi pergerakan buruh di lingkungan yang lebih luas. Tak tertutup kemungkinan, aparatur negara di Kementerian Pendidikan Tinggi atau di lembaga lain yang menghadapi masalah serupa akan ciut nyalinya dalam menghadapi penindasan pejabat. 

Belum lagi jika kita menyinggung kondisi tenaga kerja di sektor rentan, yang bisa saja menganggap represivitas negara atas unjuk rasa merupakan bentuk pelarangan terhadap upaya menuntut hak ketenagakerjaan.

Kekerasan yang dialami para pegawai Kementerian Pendidikan Tinggi hanyalah puncak gunung es. Peristiwa pada Senin lalu itu hanya sebagian kecil persoalan tak tersalurkannya hak-hak buruh dengan baik. Namun, yang jelas, demonstrasi tersebut telah menjadi tonggak awal kesadaran perburuhan yang baru. Kesadaran bahwa tenaga kerja tidak dibatasi oleh sekat-sekat berupa label pretensius apa pun. 

Melihat respons negara terhadap aksi para pegawai Kementerian Pendidikan Tinggi, kita pun menyadari negara masih punya banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Apabila gerakan aparatur negara saja masih dicekal oleh watak premanisme dan ancam-mengancam, bagaimana nasib buruh-buruh yang bekerja pada sektor rentan? 

Redaksi menerima artikel opini dengan ketentuan panjang sekitar 7.500 karakter (termasuk spasi) dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Jonathan Toga Sihotang

Jonathan Toga Sihotang

Pemimpin Redaksi BPPM Mahkamah Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus