Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Despotisme: Merumpun Ibarat Rebung

21 Desember 1998 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rizal Panggabean
Pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada

Despotisme melahirkan despotisme. Kesewenang-wenangan tumbang dan dari puing-puing reruntuhannya muncul kesewenang-wenangan baru. Setelah despotisme dilongsorkan oleh gerakan reformasi di negeri kita, kemudian tanpa terduga muncul bentuk-bentuk baru despotisme.

Kebetulan, Indonesia tidak sendirian. Banyak kawan sepenanggungan di Eropa Tengah dan Timur. Di kawasan ini, sejak 1989, gerakan-gerakan prodemokrasi membebaskan negeri mereka dari cengkeraman komunisme dan Stalinisme. Sambil berharap demokrasi konstitusional akan menggantikan rezim partai dan polisi rahasia, masyarakat bersorak gembira,.

Namun euforia itu tidak lama. Setelah gejolak mereda, ternyata sebagian besar pemimpin masih orang-orang lama. Memang mereka tidak lagi berkiprah di partai komunis, karena partai ini sudah bubar. Mereka sudah terserak di berbagai partai politik baru, yang bermunculan di era reformasi. Tapi mereka masih meneruskan kebiasaan lama.

Begitu pula aturan main yang lama masih berlaku dan kelompok mayoritas di parlemen masih bercokol. Perlindungan terhadap warga negara dan kelompok minoritas masih rapuh dan labil. Reformasi ternyata mengingkari janjinya untuk menggantikan kesewenang-wenangan dengan demokrasi konstitusional.

Malahan, ada kecenderungan lain. Semakin dahsyat despotisme di suatu negeri, semakin sulit negeri itu menertibkan lembaga-lembaganya supaya selaras dengan demokrasi. Jadi, negara-negara yang penguasa komunisnya paling totaliter dan despotis di masa lalu, paling tangguh pula menentang amanat reformasi. Sebaliknya, negeri yang paling mulus transisinya menuju demokrasi ialah yang masa lalunya relatif kurang despotis.

Peralihan yang alot, bergejolak, dan tidak menentu sudah menjadi harga yang harus dibayar negeri-negeri Eropa Timur setelah rakyatnya hidup lama di alam despotisme dan totalitarianisme. Tampaknya, Indonesia demikian juga.

Yang digusur oleh gerakan reformasi Indonesia ialah figur kekuasaan dalam arti yang paling ekstrem. Rezim Soeharto adalah rezim ideal dilihat dari sudut kesewenang-wenangan kekuasaan. Kendala dan batasan konstitusi terhadap kekuasaannya sangat lemah.

Setelah rezim itu tumbang, yang muncul dari reruntuhan bukanlah demokrasi yang didambakan, melainkan kesewenang-wenangan baru, baik di kalangan para pemimpin maupun masyarakat luas. Boleh jadi, inilah harga despotisme Orde Baru yang dahsyat dan diwariskan dengan sangat utuh oleh Soeharto dan kroni-kroninya itu.

Kesewenang-wenangan kaum elite dan pemimpin dapat disaksikan setiap hari. Pemerintah dan kelompok mayoritas di DPR mengedepankan kepentingan mereka, yaitu mempertahankan kursi dan kekuasaan, dengan memperalat undang-undang dan ketetapan MPR. Jangan heran apabila Gedung DPR/MPR kembali menjadi lokasi tempat bercokol despotisme, bukan kedaulatan rakyat.

Sementara itu, politik diciptakan lewat pengerahan massa dan adu demonstrasi. Juga lewat perang urat saraf dan konspirasi. Menteri-menteri bebas memamerkan ketidakpekaan sosial dan keagamaan. Pendek kata, cara-cara lama masih berlangsung dan dengan jelas mengisyaratkan bahwa situasi krisis yang melatari reformasi masih berlanjut.

Pada tingkat masyarakat, kesewenang-wenangan juga dapat disaksikan setiap hari. Masyarakat sipil, yang belum tertata baik, sudah menunjukkan penyakit lamanya, yaitu amarah, kecurigaan, dan penolakan kepada golongan lain yang tidak sepaham, seetnis, atau seagama.

Selain itu timbul penyakit baru era reformasi. Tuntutan dendam, restitusi, dan retribusi terhadap dosa-dosa masa lalu bermunculan. Main ultimatum menjadi mode. Yang mendukung Sidang Istimewa MPR siaga menghadapi yang menentangnya. Dan di desa-desa, warga masyarakat membunuh orang yang mereka curigai, termasuk polisi dan tentara. Sementara itu, mayat bergelimpangan di medan perang antardesa.

Di mana demokrasi konstitusional? Tampaknya, masih jauh di masa depan. Mungkin beberapa tahun, mungkin beberapa puluh tahun, di depan. Sementara ini, yang ada baru despotisme yang ibarat rebung, tumbuh subur tak jauh dari rumpunnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus