Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Kegagalan Kebijakan dan Ekonomi Kerakyatan

21 Desember 1998 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

M. Syahrial & Jordan Zulkarnaen
Keduanya analis pasar

Dalam wawancaranya dengan majalah Far Eastern Economic Review, Presiden Habibie membuat pernyataan yang menggugah hati dan menimbulkan harapan baru--tentu jika ini benar-benar dilaksanakan dan tidak dipolitisasi. Dengan lantang Habibie mengatakan, "I believe not in the power of the physical, but the power of the brain?. For me, power is the system. And the system will always be improved from one generation to another. I am now introducing a system called the system of the law."

Berbicara tentang sistem ekonomi Indonesia, Habibie mengatakan, "The plan is, we will have market-oriented economy, but the weakest must get more attention from the government." Dengan ucapan ini, tampaknya Presiden ingin menegaskan bahwa ia akan berpegang teguh pada ekonomi pasar, meski tidak lupa pada pelaku ekonomi lemah yang memang akan mendapat perhatian lebih, tapi bukan perlakuan istimewa.

Jika kedua pernyataan ini dikaitkan, Habibie, melalui pemerintahan transisinya, ingin tetap berada pada kebijakan ekonomi pasar dengan sistem hukum yang jelas. Pernyataan ini juga seakan mengisyaratkan bahwa ia tidak mendukung kebijakan ekonomi kerakyatan yang pada intinya memberdayakan redistribusi aset. Lebih spesifik lagi, program ekonomi kerakyatan yang pada intinya memberdayakan aset-aset dari debitur bank-bank yang bermasalah. Lebih luas lagi, ekonomi kerakyatan menghendaki perbaikan bisnis koperasi yang dianggap kelak mampu berperan sebagai motor keberhasilan ekonomi Indonesia dengan basis kerakyatan. Sayang sekali, semangat yang baik dan berkesan romantis ini tidak didukung oleh kelembagaan yang solid serta pemahaman lapangan yang memadai.

Lihat saja hasil kerja pemerintah dalam memberdayakan subsidi kepada petani sejak 1984. Data nilai tukar (terms of trade) di Biro Pusat Statistik menunjukkan, kesejahteraan petani secara umum lebih buruk. Indeks nilai tukar untuk petani di Jawa (tanpa Yogyakarta) pada 1998 mencapai 98,5 (basis tahun 1984=100) dengan kisaran historis 94,7 hingga 110,3. Yogyakarta memang memiliki potret yang mengesankan dengan indeks nilai tukar tahun 1998 mencapai 127,1. Namun, perlu diingat, populasi Yogya hanya 1,2 persen dari populasi Jawa.

Gambaran yang suram juga terlihat di kawasan Sumatra dan Kalimantan. Indeks yang sama pada 1998 mencapai 98,9, dengan kisaran 95 hingga 104. Potret kawasan Indonesia Timur dengan menggunakan proksi Bali, NTB, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Utara, cukup bagus dengan indeks 118,5 pada 1998, dengan kisaran historis 103 hingga 118,5. Bali dan NTB-lah yang mengangkat gambaran baik di wilayah timur ini. Wilayah Indonesia Timur lainnya yang lebih luas kurang lebih menunjukkan perkembangan yang involusif.

Yang lebih menyedihkan, selama 14 tahun, indeks tersebut bahkan berfluktuasi di bawah inflasi. Ini berarti program berkedok subsidi dan perekonomian rakyat melalui berbagai kelembagaan lainnya justru mengakibatkan kesejahteraan masyarakat turun. Tentu saja, data-data ini dapat dijadikan cambuk oleh penggagas ekonomi kerakyatan sebagai pelajaran bahwa sistem birokrasilah yang telah menciptakan kekeliruan harga atau distorsi. Dan, pada akhirnya, segala distorsi itu dibayar oleh rakyat dengan kemelaratan struktural yang dramatis.

Sebaliknya, ekonomi pasar mensyaratkan adanya persaingan. Pada gilirannya, persaingan yang sehat memberikan keuntungan bagi rakyat berupa harga yang murah dan kualitas barang/jasa yang semakin meningkat. Tentu saja, persaingan sehat berarti efisiensi produksi, transparansi informasi, akses informasi, dan kesempatan yang adil. Efisiensi perekonomian ini tidak diciptakan dengan skala usaha yang kecil, tapi justru persaingan bisnislah yang dapat membuat pasar yang efisien. Di balik persaingan itu, jumlah pemain yang relatif banyak dapat menjamin timbulnya pasar yang efisien. Karena itu, pemerintah mempunyai peranan yang dominan dalam menciptakan iklim bisnis yang kondusif demi terjaminnya penyelenggaraan persaingan sehat.

Rencana undang-undang (RUU) persaingan usaha dan larangan praktek monopoli yang sedang dikaji oleh DPR sekarang seharusnya disemangati oleh pemikiran bagaimana mengembangkan kesejahteraan masyarakat banyak dengan sendi-sendi ekonomi pasar yang terbuka. Sayangnya, jika ditelaah lebih lanjut, hampir seluruh pasal-pasal dalam RUU persaingan usaha menunjukkan (a) penghapusan birokrasi dengan menciptakan birokrasi baru, (b) sifat diskriminasi dengan mengatasnamakan pemihakan usaha kecil dan menengah, dan (c) mencerminkan semangat antiusaha skala besar.

Sementara itu, RUU antimonopoli memberikan definisi yang simpang-siur tentang apa yang dimaksud dengan monopoli. Monopoli dalam pasal-pasal RUU tersebut secara sempit didefinisikan dengan pendekatan pangsa pasar dan integrasi lini usaha. Sementara itu, klausa pembatasan praktek-praktek kartel malah membatasi ruang gerak usaha. Dikhawatirkan, semangat RUU tersebut di atas memiliki bias yang pada akhirnya membunuh persaingan dan menciptakan hegemoni ekonomi baru yang tidak demokratis.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus