Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Menjelang Natal dan Idul Fitri

21 Desember 1998 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Muji Sutrisno

KETIKA Paul Ricoeur menjelaskan mengapa tafsiran etis dogmatis mengenai sabda atau wahyu lebih mudah beku ketimbang tafsir estetis dari para agamawan, jawabannya ada pada kelenturan dan nurani estetis manusia. Mengapa demikian? Nurani manusia itu mudah tersapa dan terharu serta sangat peka selaku sang pendengar sabda (menurut istilah Karl Rahner). Sedangkan tafsir etis, seperti diyakini oleh Paul Ricoeur, condong berhenti dalam perlawanan dikotomis jahat dan baik, dosa dan tidak dosa, yang menyumbat nurani dalam genangan rasa bersalah yang timbul tiap kali melanggar larangan agama.

Penjelasan di atas mungkin mampu menjernihkan mata hati kita mengapa agama condong berwajah formal, ritual, berciri ajaran dan larangan, sedangkan religiusitas keimanan nurani lebih mampu berdialog dengan para hanif dan para peziarah yang berbeda agama tapi satu alur roh dalam keimanan: kesadaran bersama sebagai satu umat manusia.

Karena itu, ketika religiusitas diformalkan dengan bahasa struktural kekuasaan, ia pun hanyut dalam intrik politisasi kekerasan dan mudah mengafirkan sesama manusia atas nama agama. Bahasa struktural kuasa dan sosial pun mudah membuat kotak-kotak dan sekat-sekat hierarki yang membagi manusia dalam kasta, hingga lupa bahwa religiusitas asli mengabarkan sabda wahyu sama derajatnya sesama manusia sebagai saudara dan saudari yang merupakan anak-anak yang Dia kasihi, ataupun sebagai khalifatullah-khalifatullah-Nya.

Ekspresi egaliter persaudaraan tanpa sekat yang melintasi kedudukan, agama formal, status sosial, atau singkatnya persaudaraan sesama orang beriman dari satu turunan Nabi Abraham atau Ibrahim itu, 2.000 tahun kemudian dihayati lagi di Pesantren Asyidikiyah-nya K.H. Dr. Noer Muhammad Iskandar di Kebonjeruk, Jakarta, 12-13 Desember 1998. Mengapa?

Dalam keprihatinan kerusuhan serta kekerasan politisasi agama, dicarilah sebuah forum silaturahmi persaudaraan muslim, kristiani, serta penganut agama-agama majemuk lain di Indonesia. Dengan ketua panitia Kang Muhammad Sobary, ditembuslah tembok-tembok kemacetan komunikasi saling curiga antarkemajemukan kita. Yang kristiani dicoba dikurangi prasangkanya terhadap Islamisasi sebagai ancaman, adapun yang muslim dijernihkan wacananya dalam memahami ancaman kristenisasi dan diingatkan pada sejarah tradisi hidup rukun saling hormat-menghormati yang sudah merekatkan sejarah budaya Nusantara. Tanpa itu, hari ini kita tidak mungkin eksis atau barangkali juga masih hidup sebagai bangsa majemuk.

Disadari pula bahwa pada basis religiusitas, kita sesama saudara sebangsa yang di hadapan Allah sama-sama ciptaan-Nya. Namun, dalam belajar menghayati hidup bersama, kita mudah mengadili sesama, menaruhnya dalam kotak musuh, hingga tidak luput dari penggunaan politik kekerasan--terutama untuk membenarkan kelompok kita sendiri.

Lebih mendalam lagi disadari bahwa tafsiran sang pemimpin yang mencatat pengalaman-pengalaman pahit--di antaranya karena disingkirkan kelompok lain--akhirnya menyebarkan tafsiran pengalaman pahit itu ke umatnya sehingga menumpuklah tuntutan balas dendam yang setiap saat mendesak untuk dipenuhi. Pada saat yang sama, politik kekerasan memperalat SARA untuk meledakkan perekat-perekat saling menghormati sehingga akhirnya kemajemukan tercabik-cabik.

Namun, justru karena refleksi religius ini dilakukan menjelang Natal sekaligus Ramadan, semua yang hadir menyepakati bahwa kebanyakan rakyat biasa tetap rukun dan toleran satu sama lain. Menghayati kenyataan ini, maka alangkah baiknya bila budaya dialog untuk saling memahami terus ditingkatkan dan wacana bicara dilanjutkan agar dapat menipiskan rasa saling curiga.

Karena itu, semangat sarasehan yang mau kembali merajut toleransi dan hidup rukun berdampingan melalui aksi solidaritas antara agamawan, juga aktivitas membuka pintu-pintu kecurigaan dan mengendapkan pengalaman-pengalaman pahit dan bahagia sebagai bangsa majemuk, hendaknya dapat menumbuhkan kembali kepercayaan, hingga selanjutnya dapat menegakkan keadilan dan memantapkan adanya kepastian hukum. Inilah jalan beradab untuk menyelesaikan konflik, selain upaya silaturahmi yang terus-menerus dilakukan sehingga luruslah jalan menuju hubungan yang saling memahami dan memaafkan.

Akhirnya, saya ingin menutup momentum Natal dan Ramadan tahun ini yang jatuh bersamaan dengan sebuah harapan sebagai berikut:

Idul Fitri 1998 dan Natal
ketakwaan islami
satu muara
keimanan kristiani

ketika manusia dianugerahi harkatnya
buat menjadi dirinya
dalam nafas oksigen rahmat Allah

penjara agama lembaga dan upaya formal
dibongkar sudah

ketika fitrah manusia tidak butuh baju nama
dan adu kekuatan fisik
lantaran
nurani-lah tempat Allah mengasihi,
bersabda, dan menyantuni

menjadi rekan-rekan sukma merdeka,
bidadari-bidadari-Nya
di Idul Fitri ini
di Natal ini!

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus