Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Ketika Sejarah Menggugat ABRI

21 Desember 1998 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Syamsuddin Haris
Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

DI luar soal pengusutan dan pengadilan atas mantan presiden Soeharto, tuntutan penghapusan dwifungsi ABRI adalah satu-satunya isu yang tak hanya menjembatani berbagai aksi mahasiswa, tapi juga menjadi tema sentral yang menyatukan gerakan moral para mahasiswa di seluruh Tanah Air. Namun mengapa dwifungsi ABRI digugat? Bagaimana seharusnya posisi dan politik ABRI dalam era transisi dewasa ini?

Ada beberapa faktor mengapa dwifungsi ABRI terus-menerus digugat. Pertama, citra buruk ABRI selama Orde Baru, yang terbentuk dari kecenderungan tentara menempatkan diri sebagai mesin politik untuk menegakkan kekuasaan korup rezim Soeharto. Sayangnya, sampai saat ini pimpinan ABRI cenderung menganggap bahwa citra diri tentara yang buruk itu hanya berkembang di kalangan mahasiswa dan kelas menengah perkotaan. Dilupakan bahwa teknologi informasi dan komunikasi telah menyebarluaskan citra buruk ABRI itu sebagai virus yang membentuk kesadaran bangsa akan Indonesia baru tanpa peran sosial politik ABRI. Ironisnya, citra buruk sedemikian itu bukannya menjadi pelajaran bagi ABRI, tapi justru terulang dan berulang kembali, seperti tercermin dalam berbagai tindak kekerasan ABRI atas aksi unjuk rasa damai para mahasiswa.

Kedua, keharusan sejarah bagi tegaknya kembali cita-cita kedaulatan rakyat. Jika benar bahwa dasar politik tentara adalah konstitusi, dwifungsi ABRI sebenarnya bukan hanya bertentangan dengan semangat dan amanat konstitusi yang mengharuskan berlakunya kedaulatan rakyat, melainkan juga mereduksinya. Karena itu, betapapun ABRI hampir selalu mengklaim dirinya sebagai bagian dari rakyat bahkan manunggal dengan rakyat, secara institusional hakikatnya posisi ABRI tetap sebagai alat negara, yang harus tunduk pada asas supremasi rakyat dalam politik.

Ketiga, konsep dwifungsi ABRI secara substansial bertentangan dengan tuntutan dan semangat global ke arah demokratisasi pada umumnya dan terbentuknya format politik dan ekonomi yang sehat, adil, dan transparan pada khususnya. Dalam rangka proses transisi demokratis itu, golongan militer di sejumlah negara berkembang di Amerika Latin, Eropa Selatan, dan Asia, secara berangsur telah meninggalkan politik bahkan sejak awal 1980-an.

Jadi, konsep dwifungsi ABRI, yang memungkinkan tentara berpolitik, sebenarnya tengah mengalami krisis legitimasi. Klaim-klaim peran historis ABRI dalam sejarah republik kita, yang selama ini menjadi basis legitimasi peran sospol ABRI, jelas tidak bisa dipertahankan lagi di masa depan. Dalam kaitan ini, ??jasa?? ABRI dalam mempertahankan republik proklamasi maupun penumpasan G30S-PKI hanya melekat pada generasinya masing-masing, dan tak bisa "diwarisi" oleh generasi baru ABRI sesudahnya. Di sisi lain, kecenderungan ABRI menjadi satpam kekuasaan selama Orde Baru tentu saja ikut pula menggugurkan klaim tentara sebagai pengawal Pancasila, keutuhan bangsa, persatuan-kesatuan, stabilitas nasional, dan seterusnya.

Karena itu, krisis legitimasi mestinya menjadi momentum bagi ABRI untuk berkaca, ke mana sesungguhnya arah politik tentara di masa depan. Sekadar menjadi satpam kekuasaan seperti berlaku dan dipraktekkan selama ini, atau sungguh-sungguh hendak ikut memberi warna bagi terbentuknya suatu Indonesia baru yang lebih beradab, berperikemanusiaan, adil, dan demokratis.

Apabila ABRI benar-benar ingin memberi warna bagi sejarah bangsa, tak ada pilihan untuk bisa ??bertahan?? di era transisi dewasa ini kecuali menempatkan diri sebagai faktor pendorong bagi penegakan pemerintahan yang bersih dan pembentukan format politik yang lebih adil dan demokratis. Untuk itu ada sejumlah langkah yang perlu menjadi prioritas kebijakan ABRI jika tak ingin citranya semakin buruk.

Pertama, secara jantan dan transparan mau membuka kasus-kasus yang merusak citra ABRI selama ini. Betapapun pahitnya, kasus seperti penculikan para aktivis prodemokrasi, penembakan empat orang mahasiswa Trisakti, dan tragedi Semanggi harus dibuka dan dipertanggungjawabkan kepada publik. Begitu pula kasus-kasus lama ketika ABRI menjadi satpam rezim Soeharto. Selama kasus-kasus itu tidak dibuka secara jujur, retorika ABRI untuk mendukung pembentukan pemerintahan yang bersih dan demokratis tentulah patut diragukan.

Kedua, menghentikan pendekatan represif atas aksi demo dan unjuk rasa damai para mahasiswa dan masyarakat pada umumnya. Kalau cara represi tetap menjadi pilihan ARI dalam membungkam aksi unjuk rasa, tak ada kredit politik apa pun yang bisa diraih ABRI kecuali membiarkan diri digugat dan pada akhirnya dicerca di dalam sejarah bangsanya sendiri.

Ketiga, ABRI harus bersikap proaktif terhadap upaya pengusutan dan pengadilan atas mantan presiden dan Jenderal Besar Soeharto. Perlindungan berlebihan terhadap Soeharto dan para kroninya bukan hanya tak populer dan tidak produktif, tapi juga cenderung mengundang resistensi massa terhadap ABRI.

Sayang sekali langkah-langkah ke arah itu belum tampak. Sebaliknya, pimpinan ABRI justru mendukung pembentukan Dewan Pemantapan Keamaman dan Sistem Hukum (DPKSH), dan memprakarsai pengadaan Rakyat Terlatih (Ratih). Jika kelak DPKSH hanya dipakai untuk memanipulasi aspirasi rakyat, sementara Ratih disalahgunakan sebagai alat untuk menindas aksi demo dan unjuk rasa mahasiswa, ABRI sesungguhnya tengah membiarkan diri diadili oleh sejarah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus