Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
M. Dawam Rahardjo
DEVELOPMENTALISME adalah kemistri ideologis antara kepentingan negara industri maju dan kepentingan elite politik negara dunia ketiga. Istilah ini tepat untuk menggambarkan realitas obyektif haluan ekonomi negara dunia ketiga ketimbang neoliberalisme, yang lebih kompleks pengertiannya. Neoliberalisme juga mencerminkan kepentingan sepihak negara industri maju, khususnya Amerika Serikat, dalam mempertahankan hegemoni ekonominya.
Mula-mula developmentalisme adalah salah satu teori pembangunan, yang berkembang menjadi ideologi. Demikian tinjauan ulang Tony Smith, pada 1985, setelah teori pembangunan internasional diketahui keberhasilan dan kegagalannya. Ideologi ini timbul dan berkembang menurut versi negara industri maju dan negara dunia ketiga.
Di Amerika, teori ini berkembang dari doktrin Four Points Program yang dilancarkan Presiden Harry S. Truman pada 1949, sebagai landasan politik luar negerinya. Program itu mencakup kerja sama internasional lewat Perserikatan Bangsa-Bangsa, pemulihan ekonomi akibat kerusakan Eropa dari Perang Dunia II, pertahanan negara-negara Dunia Bebas dari ancaman agresi yang bermuara pada pembentukan pakta-pakta militer, serta pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi bagi kemajuan bangsa-bangsa.
Developmentalisme merupakan kelanjutan program pemulihan ekonomi dunia ketiga. Motif utamanya adalah membendung pengaruh komunisme di negara dunia ketiga yang cenderung memilih bentuk lain sosialisme. Asumsinya, sumber penyebaran komunisme adalah kemiskinan. Karena itu, penangkal penyebaran komunisme adalah pembangunan ekonomi yang mampu menghapus kemiskinan. Sedangkan di dunia ketiga lahir nasionalisme ekonomi sebagai kelanjutan nasionalisme politik sesudah merdeka dari penjajahan.
Nasionalisme ekonomi mengambil berbagai bentuk, terutama industrialisasi. Dari negara-negara Amerika Latin, melalui Raul Prebisch, lahir gagasan industrialisasi substitusi impor yang bertujuan mengganti barang-barang impor dengan produksi domestik. Perekonomian nasional bisa bebas dari ketergantungan pada luar negeri. Program ini sesungguhnya merugikan negara industri maju yang telah mengekspor barang konsumsi ke negara-negara bekas jajahan.
Teori pembangunan internasional mendukung elite politik dunia ketiga ke jenjang kekuasaan. Syaratnya, mereka harus bisa menyukseskan pertumbuhan ekonomi di negara masing-masing sekaligus memberikan kesempatan untuk memanfaatkan sumber daya internasional, terutama modal finansial. Menurut teori itu juga, keberhasilan pembangunan adalah sumber legitimasi bagi elite politik untuk memerintah. Sehingga elite politik berhak atas legitimasi politik, de facto maupun de jure, berupa klaim keberhasilan pembangunan ekonomi. Ini merupakan insentif bagi elite politik negara dunia ketiga untuk mengikuti haluan developmentalisme.
Di Indonesia, teori pembangunan internasional mulai dicoba oleh beberapa kabinet yang dipimpin elite politik Masyumi-PSI (Partai Sosialis Indonesia) dan Katolik, yang antikomunis dan didukung elite militer. Di masa Orde Baru, developmentalisme dijalankan oleh koalisi militer-intelektual-pengusaha.
Kritik terhadap developmentalisme datang dari haluan kiri dan kanan. Dari sisi kiri, developmentalisme dikritik karena menguatkan ketergantungan dunia ketiga terhadap Amerika dan negara maju lainnya. Bahkan perekonomian nasional makin didominasi modal asing. Sedangkan dari sisi kanan, developmentalisme dinilai telah melahirkan pemerintahan otoriter, bahkan akhir-akhir ini melahirkan rezim antikapitalis dan prososialis, seperti di Kuba, Venezuela, Ekuador, Bolivia, dan Argentina—kendati penyebaran komunisme telah berhenti. Dengan kata lain, developmentalisme telah melahirkan musuh-musuh baru dalam konteks melawan neoliberalisme.
Komunisme sebagai musuh telah digantikan rezim-rezim antidemokrasi. Namun yang kurang disadari adalah developmentalisme telah melahirkan musuh-musuh baru yang lebih cerdas. Kritik yang cerdas dan inovatif ini muncul dari kapitalisme sendiri, yang telah diramalkan Joseph Schumpeter, pemula teori ”Economic Development” dan pengagum dinamika kapitalisme.
Di Indonesia, developmentalisme masih tetap bertahan. Ini tampak dalam klaim-klaim keberhasilan pembangunan oleh partai-partai politik yang berkuasa, khususnya Demokrat, Golkar, dan Partai Keadilan Sejahtera. Klaim keberhasilan itu di antaranya pengendalian inflasi dan penjagaan stabilitas moneter, tercapainya swasembada beras, peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui bantuan langsung tunai kepada penduduk miskin, peningkatan anggaran pendidikan dan pelayanan kesehatan masyarakat, peningkatan angka ekspor, serta pertumbuhan ekonomi di tengah krisis keuangan global. Padahal keberhasilan di bidang politik sebenarnya tak kalah penting, terutama dalam menjaga negara kesatuan, mereformasi organisasi militer tanpa menimbulkan masalah, serta menyelesaikan masalah konflik horizontal di Aceh, Ambon, Poso, dan Sampit.
Developmentalisme agaknya masih akan bertahan sebagai ideologi pembangunan elite politik. Pertama, kalangan ilmuwan dan cendekiawan masih menerima ukuran dan kriteria keberhasilan pembangunan yang berkisar pada konsep pertumbuhan ekonomi, seperti diwariskan oleh rezim Orde Baru yang telah menegakkan haluan developmentalisme dengan cukup kokoh. Kedua, masyarakat, dengan tingkat kecerdasannya, kini bisa menerima klaim-klaim keberhasilan itu. Terbukti dari kemenangan (versi hitung cepat) Partai Demokrat dalam perolehan suara pemilu legislatif. Ketiga, perekonomian Indonesia masih memikul sindrom ketergantungan pada asing yang dikuasai Amerika dan, karena itu, akan tetap memasang teknokrat-teknokrat yang tak menentang neoliberalisme dalam pemerintahan.
Jadi, developmentalisme akan tetap bertahan selama ada persepsi tentang kemistri antara kepentingan negara maju, terutama Amerika, dan elite politik Indonesia. Sungguhpun begitu, developmentalisme, sebagai ideologi elite yang berkuasa dewasa ini, bisa dan sudah tampak tanda-tandanya akan menjadi sumber kritik untuk mengalahkan the incumbent dalam pemilu presiden Juli mendatang. Kritik itu misalnya mengarah ke gejala utang luar negeri yang ternyata meningkat, program bantuan tunai yang dinilai populis tapi tidak mendidik dan tak mendorong swadaya masyarakat, atau ketergantungan terhadap modal asing, yang semuanya merupakan elemen pokok developmentalisme tapi dinilai tidak prorakyat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo