Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

<font face=verdana size=1>Sengketa Lahan</font><br />Adu Kuat Maspion-Singo

Alim Markus, bos PT Maspion, menjadi tersangka pemalsuan surat jual-beli tanah dan bangunan. Tim forensik kepolisian menemukan bukti kuat pemalsuan itu.

18 Mei 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERPAGAR seng berkarat, lahan di jantung bisnis Kota Surabaya itu seolah tak bertuan. Rumput setinggi pinggang dan puing-puing bangunan terlihat memenuhi sebagian lahan yang luasnya sekitar sepertiga lapangan sepak bola itu. Sesekali tampak mobil boks bertulisan PT Maspion keluar-masuk areal di Jalan Pemuda 17 itu.

”Enam tahun silam, di sini berdiri bangunan peninggalan Belanda,” kata Darto, 50 tahun, salah seorang sopir Maspion, kepada Tempo, yang mendatangi tempat itu pada Kamis pekan lalu. Bangunan yang disebut Darto itu kini bisa dikatakan rata dengan tanah. Sudah diambrukkan. Yang tersisa hanya sepetak ruang seluas sekitar 20 meter persegi yang kini jadi tempat beristirahat para sopir. Lahan itu memang dijadikan Maspion—perusahaan yang dikenal sebagai pembuat peralatan rumah tangga dari plastik—sebagai areal parkir armada kendaraannya.

Bangunan itulah yang membuat Presiden Direktur Maspion, Alim Markus, kini berurusan dengan Kepolisian Daerah Jawa Timur. Pria yang wajahnya dulu kerap muncul di televisi sembari melontarkan kalimat ”cintailah produk-produk Indonesia” dengan logatnya yang khas itu pada 16 April lalu ditetapkan menjadi tersangka. ”Dia diduga membuat surat jual-beli palsu dan pembongkaran bangunan,” ujar juru bicara Kepolisian Daerah Jawa Timur, Komisaris Besar Pudji Astuti.

Menurut Pudji, bangunan dua lantai dan paviliun di Jalan Pemuda itu memang menjadi sengketa antara PT Maspion, PT Singo Barong Kencana, dan Tim Likuidasi Departemen Pekerjaan Umum. Walau jadi tersangka, Alim tak ditahan. Demikian juga dengan anak buahnya yang lain, Eska Kanasut, Manajer Umum PT Maspion, serta dua orang lainnya yang terlibat pembongkaran. ”Karena mereka kooperatif,” ujar Pudji.

Kendati dibelit kasus hukum, aktivitas Alim seperti tak terganggu. Tiga hari setelah menyandang status tersangka, ia melesat ke Hong Kong menjumpai kolega bisnisnya. Ia juga sempat singgah di Singapura, mengecek kesehatan jantungnya.

Dua pekan lalu pria 57 tahun itu muncul di Jakarta, menjadi pembicara dalam sebuah seminar tentang usaha kecil dan menengah. Ketika Tempo meminta konfirmasi kasus yang membelitnya, dengan cepat ia menjawab, ”Saya bukan tipe pengusaha yang melanggar hukum.” Ia mengaku tak mengerti dengan tuduhan pemalsuan yang ditimpakan ke dirinya. Sebelumnya, beberapa saat setelah dinyatakan sebagai tersangka, ia menyatakan seluruh dokumen yang dipersoalkan itu milik Departemen Pekerjaan Umum. ”Saya hanya tanda tangan,” kata mantan penasihat ekonomi Presiden Abdurrahman Wahid ini.

Di Surabaya, Adjiz Gunawan, pengacara Alim, menyatakan memiliki segepok bukti baru untuk menepis tuduhan terhadap kliennya. ”Bukti baru itu menyangkut dokumen pembongkaran dan pemalsuan surat,” ujar Adjiz. Menurut dia, bukti itu sudah di tangan polisi. ”Ya, kami akan mempelajari masukan tersebut,” ujar Direktur Reserse dan Kriminal Kepolisian Daerah Jawa Timur, Komisaris Besar Edy Supriyadi.

Kasus yang menyeret Alim Markus sebenarnya sudah lama mengendap di kepolisian Jawa Timur. Adalah Direktur PT Singo Barong Kencana, Surya Atmadinata, yang melaporkan Alim pada 23 September 2003 dengan tuduhan, saat itu, perusakan dan pembongkaran bangunan. Singo mengklaim merekalah yang berhak atas bangunan dan lahan tersebut. Adapun soal pemalsuan surat baru dilaporkan PT Singo pada Januari 2007. ”Kasus ini agak rumit, jadi baru kali ini bisa ditindaklanjuti,” tutur Pudji.

Menurut pengacara PT Singo, Rachmat Harjono, laporan pemalsuan memang dibuat setelah pihaknya menerima pemberitahuan perkembangan laporan sebelumnya. Dari jawaban polisi, kata Rachmat, pihaknya mendapat bocoran adanya pemalsuan surat perjanjian jual-beli tanah dan bangunan dari tim likuidasi Departemen Pekerjaan Umum Jawa Timur, pemilik sebelumnya. Setelah diteliti, tudingan itu mengarah ke Alim Markus. ”Dugaan itu lalu kami laporkan ke polisi,” kata Rachmat.

Dugaan pemalsuan itu tertuju pada surat perjanjian jual-beli nomor 630/PJ/TL/1998 yang dikeluarkan tim likuidasi pada 18 Juni 1998. Tim forensik Polda Jawa Timur menemukan kejanggalan dalam dokumen jual-beli tersebut. Pada tulisan ”Pemuda 17 Surabaya”, sebelum dihapus dengan tip ex, tertulis ”Jalan Jambu Nomor 68 Surabaya”. Nama yang semula ada di surat itu, yakni Djoko Setiono, berganti jadi Alim Markus. Demikian pula tanggal pembeliannya. Di situ tertulis 18 Juni 1998, sedangkan sebelumnya 30 Juli 1997.

Menurut Kepala Satuan Pidana Umum Polda Jawa Timur, Komisaris Bambang T.B., 12 saksi yang dihadirkan polisi juga menguatkan dugaan pemalsuan itu. Alim, ujarnya, diduga membuat surat seolah-olah sudah membeli tanah dan bangunan tersebut. ”Surat itu yang dipakai untuk mendapatkan izin merobohkan bangunan.”

Surat yang diduga palsu itu, kata Bambang, diperoleh Alim Markus setelah mengantongi hak guna bangunan keseluruhan dari Pemerintah Kota Surabaya. Padahal, kata dia, saat itu Singo Barong tengah mengurus surat yang sama untuk lantai dua dan paviliun, karena izin huninya habis dan tidak bisa diperpanjang. Maspion sendiri, kata Bambang, tidak diketahui kapan mengurus surat tersebut.

Direktur Singo Barong, Yasin Santoso, kata Rachmat, membeli izin penghunian tempat itu pada 1985. Adapun Alim Markus membeli izin huni lantai satu pada 1990. Karena izin untuk Yasin hanya sampai 1990, Wali Kota Surabaya kala itu, Poernomo Kasidi, menyarankan supaya mengurus hak pengelolaan atas nama pemerintah kota. ”Tawarannya, Yasin akan memperoleh hak guna bangunan,” kata Rachmat.

Hak pengelolaan baru keluar pada awal 1994. Namun surat hak guna bangunan, kata Rachmat, terkatung-katung setelah terjadi pergantian wali kota pada medio 1995. Padahal, ujarnya, Yasin sudah mengeluarkan ganti rugi ke negara senilai Rp 106 juta. Sampai Yasin meninggal pada Desember 1995, surat yang diminta itu tak kunjung terbit. Nah, setahun kemudian, ahli waris Yasin, Surya Atmadinata, mendapat kabar tak sedap: hak guna seluruh bangunan seluas 1.093 meter persegi itu sudah dikeluarkan atas nama Alim Markus. ”Surat hak guna itu misterius,” kata Rachmat.

Alim Markus, ujar Rachmat, lalu membeli lantai satu bangunan itu, yang luasnya 467 meter persegi. Sisanya, yang masih merupakan aset negara, izin huninya, kata Rachmat, masih atas nama Yasin. Setelah membeli itulah, kata Rachmat, Maspion lalu mengajukan izin bongkar bangunan.

Singo Barong lalu menggugat keluarnya izin itu ke pengadilan tata usaha Surabaya. Namun gugatan itu ditolak. Demikian pula di tingkat banding. Pada Agustus 2003 Singo mengajukan kasasi. ”Dinas Bangunan saat itu meminta Maspion tidak membongkar bangunan sebelum kasasi putus,” kata Rachmat. Jika lantai satu dibongkar, kata dia, otomatis lantai dua dan paviliun juga terkena.

Namun pembongkaran tetap terjadi. Pada September 2003 Maspion mulai merobohkan bangunan yang jadi sengketa itu. PT Singo melaporkan tindakan Maspion ke polisi. Setahun kemudian, tim likuidasi Departemen Pekerjaan Umum juga melaporkan hal yang sama. Pada Desember 2005, turun putusan Mahkamah Agung, kasasi PT Singo ditolak.

Adapun Alim Markus menutup mulut ketika ditanya perihal pembongkaran yang dilakukannya itu. ”Yang jelas, pembongkaran itu sudah sesuai prosedur,” ujar Adjiz. Buktinya, kata Adjiz, gugatan izin bongkar dimenangi Maspion. Menurut Adjiz, penyidik keliru telah menetapkan kliennya sebagai tersangka. ”Dia tidak pernah membuat surat-surat itu,” ujarnya. Dia optimistis kliennya tak bersalah.

Bukan kali ini saja Alim Markus terbelit perkara. Pada awal Oktober 2005, ia pernah menjadi tersangka dugaan praktek ilegal Bank Maspion. Ia sempat ditahan. Namun pada Juni 2006 polisi menghentikan penyidikan dengan alasan tidak ada unsur pidananya. Setahun kemudian ia terkena perkara lagi. Ia dilaporkan Listadharma ke Kepolisian Kota Besar Surabaya dengan tuduhan mendirikan bangunan di lahan miliknya. Namun, pada Oktober 2007, lagi-lagi Alim keluar sebagai pemenang. Polisi menghentikan penyidikan kasus itu karena tak cukup bukti.

Tapi, untuk kali ini, bisa jadi pengusaha terkenal dari Surabaya itu tak bisa lolos dari jerat hukum. ”Temuan tim forensik itu merupakan bukti kuat untuk menjerat Alim Markus,” kata Komisaris Bambang.

Anton Aprianto, Anne L. Handayani, Anang Zakaria, Kukuh S. Wibobo, Rohman Taufiq

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus