Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Silakan Hitung Sendiri

Menpen Ali Moertopo memberi penjelasan tentang petisi 50 orang. petisi tersebut merupakan tanggapan terhadap pidato presiden soeharto pada waktu rapim abri & sewaktu hut kopassandha di cijantung.

19 Juli 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AKHIRNYA "teka-teki petisi" mulai tersingkap juga. Selesai diterinl. Presiden Soeharto di Cendana Selasa pekan lalu, para wartawan bertanya pada Menteri Penerangan Ali Moertopo tentang pengaruh berbagai pernyataan masyarakat yang disampaikan ke DPR akhir-akhir ini terhadap stabilitas keamanan. Sambil tersenyum Menpen menjawab: "Kembali pada 'Petisi 50 orang'. Kalian mau tanya tapi takut. Jadi lebih baik saya jelaskan." Menurut Menpen, para penandat angan "Petisi 50 orang" yang disampaikan ke DPR beberapa waktu yang lalu telah membuat asumsi, persepsi dan konklusi yang keliru terhadap pidato tanpa teks Presiden Soeharto pada Rapim ABRI di Pakanbaru akhir Maret yanr lalu, terutama yang menyangkut malah kedudukan dan peranan ABRI. "Itu sebagai dasar mereka berpikir," kata Menpen. Para penandatangan petisi itu, menurut Ali Moertopo, membuat asumsi seakan-akan ABRI mendukung Golkar tanpa reserve. "Ini salah," ujar Menpen. Dijelaskannya, ABRI sudah mempunyai aturan permainan, yaitu Sapta Marga dan Sumpah Prajurit. Di dalamnya dinyatakan, anggota ABRI pertama-tama adalah warga negara, kedua pejuang dan ketiga prajurit. Ini berarti ABRI mempunyai multifungsi dalam kedudukannya sebagai anggota masyarakat Indonesia. Tiap anggota ABRI atau TNI baru menaati Sapta Marga dan Sumpah Prajurit. "Intinya, di antaranya ialah memilah negara yang bersendikan Pancasila dengan pantang mundur, bila perlu berkorban demi kepentingan bangsa dan negara," lanjut Menpen. "Itu berarti ABRI hanya akan mendukung kelompok masyarakat atau bangsa Indonesia yang bersendikan Pancasila. Sedang kalau masih ada perorangan-perorangan yang ingin merongrong Pancasila pasti tidak akan mendapat dukungan." Menurut Menpen, dilihat dari segi ini seakan-akan 50 orang penandatangan petisi itu tidak menyetujui kalau ABRI hanya mendukung yang Pancasilais saja. Jadi kalau ABRI harus pecah, sebagian mendukung Golkar, sebagian mendukung PPP, sebagian mendukung PDI, sebagian lagi mendukung 'Petisi 50 orang', sebagian mendukung yang lain umpamanya, ini artinya ABRI dirobek-robek. Pengalaman yang lampau. adanya perang saudara di mana-mana juga karena ABRI tidak kompak, sebab digunakan oleh orang luar, diadu-domba seperti yang terjadi pada pemberontakan-pemberontakan yang kita alami," ujar Menpen. Menurut Ali Moertopo, para penandatangan petisi tersebut seakan-akan tidak setuju kalau Golkar mendapat dukungan dari ABRI dalam memperjuangkan dan menegakkan Pancasila dan UUD 1945 pada pemilu. "Jadi kalau begitu yang dilawan oleh 'Petisi 50' itu sebenarnya adalah Golkar. Karena itu seharusnya Golkar yang menghadapi mereka untuk menjelaskan bahwa pandarlgan mereka tidak benar," simpul Menpen. Penjelasan panjang lebar Menpen Ali Moertopo ini adalah yang pertama kalinya. Sebelumnya banyak pejabat tinggi seperti Mendagri Amirmachmud dan Pangkopkamtib Sudomo yang menyinggung tentang "petisi" Tapi mereka "lupa" menyebut apa isi dan siapa yang menandatangani petisi tersebut hingga banyak orang bertanya: Petisi apa? Disampaikan pada pimpinan DPR dan fraksi-fraksi pertengahan Mei lalu, petisi yang merupakan "Pernyataan Keprihatinan" itu ditandatangani 50 orang, di antaranya terdapat purnawirawan ABRI, bekas pejabat tinggi pemerintah dan beberapa tokoh generasi muda. Seperti telah disinggung Menpen Ali Moertopo, petisi tersebut merupakan tanggapan sekelompok orang terhadap pidato-pidato Presiden di Rapim ABRI akhir Maret lalu dan sewaktu HUT Kopassandha di Cijantung, Jakarta, April lalu. Mereka ingin para wakil rakyat di DPR dan MPR menanggapi pidato-pidato itu. Sangat terbatasnya pemberitaan pers mengenai masalah ini rupanya telah menimbulkan berbagai "isu" dan munculnya berbagai macam "selebaran gelap". Agaknya karena itu pulalah belakangan ini banyak pejabat tinggi pemerintah dalam berbagai pidato mereka selalu menghimbau masyarakat untuk tidak mempercayai dan dipengaruhi "isu-isu negatif". Akan Terus Berkembang Misalnya yang diucapkan Pangkopkamtib Laksamana Sudomo pekan lalu. Di Lapangan Terbang Juanda, Surabaya, Selasa lalu Sudomo minta pada masyarakat untuk tidak terpengaruh oleh pernyataan atau pidato yang mengatakan seolah-olah situasi politik sekarang hangat. "Apa itu yang menghangat Yang mana itu?", tanyanya. "Kalau Pangkopkamtib, Laksusda atau Menhankam tidak mengeluarkan pernyataan apa-apa, ya aman itu," ujarnya. Sebelumnya Sudomo telah bertemu para alim ulama Jawa Timur di Pandaan. Menurut Pangkopkamtib, pada mereka telah diberikan penjelasan mengenai situasi nasional akhir-akhir ini hingga para alim ulama ini mengetahul apa yang terjadi sekarang ini. "Kalau ada isu-isu, tidak mempan lagi pada mereka, hingga mereka tidak terpengaruh karena sudah mengetahuinya lebih dulu. Isu-isu negatif seperti yang banyak beredar sekarang, pasti masih akan terus berkembang," ujar Sudomo. Tampaknya Pangkopkamtib telah mempunyai dugaan. Tatkala ditanya TEMPo berapa jumlah selebaran gelap yang beredar di masyarakat sekarang, Sudomo menjawab "Hitung saja berapa jumlah mahasiswa. Bahkan di Jawa Barat sampai ada murid SD yang ikut menerima. Pondok-pondok (pesantren) juga dikirimi. Dan kalau satu fotokopi harganya Rp 15, hitung saja sendiri ...

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus