Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Bonapartisme Baru di Indonesia

Gaya memimpin Bonaparte mirip jenis Bonapartisme di Indonesia. Lihai memakai kekurangan sebagai kekuatan.

4 Agustus 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETAHUN setelah Republik Kedua Prancis tumbang lalu berganti menjadi pemerintahan monarki, Karl Marx menulis 18th Brumaire of Louis Bonaparte pada 1852 dengan kalimat yang satire dan pahit. Mengutip filsuf-sejarawan Hegel, dia mengatakan seluruh peristiwa besar dalam sejarah berlangsung dua kali. Pertama sebagai tragedi agung, kedua sebagai lelucon murahan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Republik Prancis yang baru berusia satu dekade kembali menjadi monarki di bawah Napoleon Bonaparte pada 1799. Setelah itu negeri ini bangkit lagi menjadi republik, tapi kembali tumbang pada 1851, terperosok menjadi kerajaan di bawah kemenakan Napoleon, Louis Bonaparte (Napoleon III).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebagai pemimpin Prancis pada 1848, Louis Bonaparte bangkit dengan membangun aliansi dengan kelas bawah, buruh, petani, dan kaum miskin melawan pengusaha dan aristokrat. Dia menjanjikan demokrasi, kehidupan yang lebih baik, dan kemuliaan rakyat pinggiran.

Manuver pertamanya saat menjadi pemimpin republik begitu menggetarkan dengan memberi hak pilih laki-laki universal dalam pemilihan umum, untuk mendapatkan dukungan massa menghadapi kekuatan sosial borjuasi dan kaum reaksioner. Namun, dengan cepat, energi-aspirasi kaum alit diserap dan dijinakkan, untuk kemudian dia tundukkan semua faksi bisnis-politik melalui penguatan aparat militer dan birokrasi lewat kekerasan dan transaksi politik untuk melahirkan kekaisaran feodalis guna merawat status quo.

Louis Bonaparte membangun kepemimpinannya dengan mendisiplinkan aliansi pengusaha-penguasa sekaligus menundukkan suara-suara kritis akar rumput yang mengganggu kekuasaan. Semua itu dilakukan dengan kekuatan militer, instrumentalisasi birokrasi, transaksi plus suap kotor, dan propaganda.

Membaca manuver Louis Bonaparte mengingatkan saya pada jenis Bonapartisme di sini. Sang Bonaparte tidak memiliki nasab agung seperti Louis, tapi memiliki nasib mujur. Berangkat dari kelihaian menggunakan kekurangannya sebagai kekuatan utama, latar belakang orang kebanyakan, Bonaparte Indonesia melenting naik dari satu tangga kepemimpinan menuju tangga yang lebih tinggi dan akhirnya menjadi pemimpin nomor satu.

Pencapaian semua level itu dilakukan dengan bekal kemampuan membangun aliansi kekuatan sosial arus bawah dan kelas menengah. Kekuatan sosial dari bawah tersebut mengeksternalisasi segenap daya kemampuan dalam slogan “ia adalah kita”. Para pendukungnya meyakinkan bahwa Sang Bonaparte menjanjikan demokrasi, perlindungan hak asasi manusia, serta penyelesaian teknokratik terhadap berbagai masalah korupsi dan kebekuan birokrasi negara. Selain itu, dengan cara yang meyakinkan, dinyatakan bahwa keluarganya menolak politik dinasti.

Setelah berada di takhta kekuasaan republik, Bonaparte Jawa ini—kita sebut saja begitu—disibukkan oleh berbagai macam benturan dan pertarungan di antara kekuatan birokrasi-bisnis-politik dari kekuatan masa silam. Sayangnya, manusia menciptakan sejarah, tapi tak seperti yang dikehendakinya. Kondisi sosial kerap kali membatasi pilihan-pilihan politik untuk kemajuan. Aliansi-aliansi sosial arus bawah yang dengan bahu, tangan, dan kepala mereka telah berhasil membawa Bonaparte menjadi pemimpin republik tidak kuasa—akibat depolitisasi selama puluhan tahun—mengawalnya menghadapi pertarungan antarfaksi oligarki.

Pusaran kekuasaan telah berhasil membawa Bonaparte Jawa masuk permainan kekuasaan antarelite yang basis massa asalnya gagap merespons pertarungan sosial yang tengah terjadi. Pada akhirnya, Sang Bonaparte tidak kehilangan akal kancil. Dia tinggalkan berbagai agenda progresif yang ia janjikan di awal kekuasaan.

Penyelesaian kasus-kasus hak asasi manusia berjalan mandek, demokrasi yang masih berjalan terseok-seok dia sebut telah kebablasan, pemberantasan korupsi terempas ke belakang dengan membalikkan arah reformasi, korupsi dengan membuat kebijakan yang menempatkan institusi antikorupsi di bawah kekuasaannya. Lembaga tertinggi penjaga konstitusi diintervensi menjadi bagian dari olah-olah politik untuk meneruskan arah kepemimpinan ke anggota keluarganya.

Pada tahap ini, corak struktural ekonomi-politik negara Bonaparte masuk fase oligarki yang lebih dalam dan menuju demokrasi yang makin dangkal. Sebelum masa Bonaparte berkuasa, inisiatif reformasi kelembagaan berjalan menuju pemerintahan yang bersih, sementara aliansi kekuatan sosial oligarki bersiasat mengelabui berjalannya inisiatif reformasi tersebut.

Ketika Bonaparte berkuasa, regulasi dan perangkat institusi dibalikkan arahnya untuk bekerja demi kepentingan kekuasaan yang sebelumnya hendak dilawan. Negara Bonaparte berhasil menghantam the rule of law dengan kekuatan hukum itu sendiri, serta menghancurkan prinsip utama republik agar hukum mampu membatasi kekuasaan dan menjelma menjadi kekuasaan yang mampu membatasi bekerjanya hukum.

Berbeda dengan Bonapartisme lama ala Prancis yang mengandalkan orasi agung berbunga-bunga dan kekerasan militer untuk merepresi warga negara ataupun lawan politik, Bonapartisme Jawa memakai perkembangan teknologi digital dan kekuatan-kekuatan akar rumput yang dirangkul dalam kekuasaannya. Kekuasaannya berhasil membangun alat propaganda baru melalui akun-akun media sosial guna mengukuhkan propaganda.

Bonaparte adalah orang baik, Bonaparte adalah kita, Bonaparte berasal dari rakyat. Dengan kuasa dan sumber daya kemakmuran yang lebih besar, suara-suara kritis dilindap pertarungan wacana oleh para pendengung. Sementara itu, untuk menundukkan pertarungan kuasa antarelite di bawahnya, Bonaparte Jawa menggunakan hukum sebagai senjata politik, birokrasi, dan bantuan-bantuan kepada rakyat untuk mengukuhkan supremasinya dalam pemilu.

Menghadapi arus balik kuasa Bonaparte yang berseberangan dengan janji-janji di awal kekuasaan, kekuatan sosial dari arus bawah tidak memiliki kekuatan untuk menghadangnya. Selain terkaget-kaget dengan manuver demi manuver Bonaparte, mereka harus berhadapan dengan kekuatan sosial arus bawah yang telah ditundukkan dan dijinakkan oleh Bonaparte untuk menghantam suara-suara demokrasi dan kemajuan.

Bagi kalangan yang kritis dalam arena pertarungan seperti ini, mereka hanya sanggup meneriakkan kritik moral dan etis dari pinggiran. Hal itu kemudian harus berhadapan dengan tudingan-tudingan bahwa suara mereka tidak lebih dari perpanjangan suara partai politik yang tidak suka pada kekuasaan Bonaparte. Corak populisme dengan membangun hubungan personalistik Bonaparte Jawa dengan pendukungnya tanpa intermediari partai adalah bagian dari strategi kekuasaannya. Tak lupa dengan menegaskan setiap kritik terhadap kekuasaannya adalah persambungan tangan dari kepentingan partai politik.

Untuk apa serangkaian strategi kekuasaan yang menghantam demokrasi seperti itu dilakukan oleh Bonaparte Jawa? Seperti yang dilakukan oleh Louis Bonaparte di Prancis lebih dari dua setengah abad lalu, semuanya ditujukan untuk menjaga kesinambungan corak oligarki di negaranya dengan kekuatan pengawalan lebih kuat.

Hal tersebut dilakukan dengan memastikan bahwa Sang Bonaparte Jawa sebagai penguasa yang mengendalikan arah gerak dari kesatuan kemakmuran dan kekuasaan dalam membajak sumber daya negara. Semua dilakukan dengan mengubah republik menjadi “republik rasa kerajaan”. Nama asli Bonaparte Jawa yang sedang kita diskusikan ini adalah Mukidi.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Bonapartisme Baru"

Airlangga Pribadi Kusman

Airlangga Pribadi Kusman

Pengajar Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus