SEORANG sarjana Barat menulis tentang Tiongkok di tahun 1931
dan tentu saja tentang nasib petani di sana. Anda ingin tahu
bagaimana ia melukiskannya? Posisi penduduk pedesaan itu, kata
sang sarjana, "seperti posisi seorang yang berdiri terus-menerus
dalam air sampai ke lehernya, hingga satu gelombang kecil saja
sudah cukup menenggelamkannya."
Mungkin itulah sebabnya Asia ditandai oleh penduduk pedesaan
miskin yang sering dibilang "lamban". Barangkali mereka "lamban"
karena kurang gii, tetapi barangkali juga mereka "lamban"
karena mereka tak bisa terburuhuru. Setiap gerak diperhitungkan
adakah akan menimbulkan risiko. Setiap riiko bisa berarti
bencana. Yang pokok, bagi mereka, selamat dulu.
Tak mengherankan bila seorang Belanda, Van der Kolff, jadi
tertarik bagaimana buruh dekat Kediri lebih menyukai kontrak
kerja yang disebut pakehan ketimbang ngrampiyang -- sebagaimana
dilaporkannya di tahun 1936. Kontrak pakehan lebih makan kerja
sebenarnya, tapi "petani dijamin oleh waktu petik yang lama atau
jumlah padi yang pasti."
Ketakutan mengambil risiko ini terkadang menjengkelkan para
pemimpin yang menghendaki "pembaharuan". Bahkan tak jarang itu
mengecewakan orang-orang progresif yang ingin membikin
pemberontakan dari akar pedesaan -- tempat padi tumbuh tapi
lumpur dan buruh diinjak-injak.
Di Asia, juga dalam sejarah Jawa, pemberontakan petani memang
sering tercatat. Namun, seperti dengan tajam ditulis oleh James
C. Scott dalam The Moral Economy of the Peasant. (Yale
University Press, 1976): "Berbicara tentang pemberontakan
berarti memusatkan perhatian kepada saat-saat luar biasa tatkala
petani ingin memulihkan kembali, atau membikin baru, dunia
mereka secara paksa. Itu berarti melupakan, betapa jarangnya
saat serupa itu, dan betapa istimewanya dalam sejarah mereka
memimpin suatu revolusi yang berhasil. Itu berarti melupakan
bahwa petani lebih sering merupakan korban tak berdaya dari
kekerasan, dan bukan pemula tindak kekerasan."
Mungkin itu sebabnya Scott, seorang ahli ilmu politik, hendak
menjawab di bagian akhir bukunya: adakah pilihan lain dari
pemberontakan? Bila petani merasa hidupnya kepepet dan nafasnya
tertindas, dalam keadaan hati yang bagaimanakah maka ia diam?
Sebab, tiada nampaknya sikap menentang tidak dengan sendirinya
merupakan bukti yang cukup bahwa hubungan antar kelas sosial di
pedesaan ditandai oleh harmoni.
Yang menarik ialah bahwa dalam diam itu sering terjadi timbulnya
yang disebut "kesadaran palsu", atau "mistifikasi" orang
tertindas yang di bawah itu nampak ikhlas menerima apa yang
dipaksakan dari atasnya. Ahli ilmu jiwa konon menjelaskan
"kesadaran palsu" itu sebagai cara si tertindas mempersamakan
diri dengan sang penindas. Si korban mencoba melarikan diri dari
kepedihan dengan menggabungkan diri pada pihak yang kuat.
Namun di masyarakat yang seolah ada "keselarasan" antara
yang-di-atas dengan yang-membisu-di-bawah, toh sering terdapat
juga retak tajam yang pedih. Meski tak selalu menyolok. Itulah
sebabnya dalam banyak kebudayaan petani, terdapat lelucon yang
mengejek hierarki sosial, yang menjungkir-balikkan nilai-nilai
yang berkuasa, tapi dilakukan dengan cukup selamat.
Orang-orang Hutu di Afrika misalnya hidup di bawah telapak kaki
orang-orang Tutsi. Diam-diam, perkembangan kepercayaan kedua
suku bangsa itu bertolak belakang. Bila orang Tutsi percaya akan
kesucian ternak, tokoh sentral dalam mithologi Hutu adalah
penghancur hewan gembalaan yang biasa membasuh tangannya dalam
darah sapi. Bila orang Tutsi menyatakan adilnya garis kasta,
orang Hutu punya pahlawan dongeng yang berseru: "Aku tak
berjalan di belakang raja apapun, dan tak seorang hamba pun
berjalan di belakangku."
Itu juga suatu jenis pertahanan, kalau bukan malah perlawanan.
Dalam bukunya, Scott juga menyebut contoh orang Samin di Jawa:
mereka hanya mau memakai bahasa Jawa ngoko yang demokratis dalam
percakapan. Seandainya ia tahu wayang, mungkin ia bisa menambah
contoh fenomen punakawan Semar-Gareng-Petruk: sebuah olok-olok
dari lapisan bawah, yang tak jarang mentertawakan para bendhara
.....
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini