Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Diam Belum Tentu Setuju

Orang tertindas nampak ikhlas menerima paksaan penindas. Muncul kebudayaan petani, lelucon yang mengejek hierarki sosial & memutar-balikkan nilai-nilai penguasa. Diam akan menimbulkan kesadaran palsu.

17 Maret 1979 | 00.00 WIB

Diam Belum Tentu Setuju
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
SEORANG sarjana Barat menulis tentang Tiongkok di tahun 1931 dan tentu saja tentang nasib petani di sana. Anda ingin tahu bagaimana ia melukiskannya? Posisi penduduk pedesaan itu, kata sang sarjana, "seperti posisi seorang yang berdiri terus-menerus dalam air sampai ke lehernya, hingga satu gelombang kecil saja sudah cukup menenggelamkannya." Mungkin itulah sebabnya Asia ditandai oleh penduduk pedesaan miskin yang sering dibilang "lamban". Barangkali mereka "lamban" karena kurang gii, tetapi barangkali juga mereka "lamban" karena mereka tak bisa terburuhuru. Setiap gerak diperhitungkan adakah akan menimbulkan risiko. Setiap riiko bisa berarti bencana. Yang pokok, bagi mereka, selamat dulu. Tak mengherankan bila seorang Belanda, Van der Kolff, jadi tertarik bagaimana buruh dekat Kediri lebih menyukai kontrak kerja yang disebut pakehan ketimbang ngrampiyang -- sebagaimana dilaporkannya di tahun 1936. Kontrak pakehan lebih makan kerja sebenarnya, tapi "petani dijamin oleh waktu petik yang lama atau jumlah padi yang pasti." Ketakutan mengambil risiko ini terkadang menjengkelkan para pemimpin yang menghendaki "pembaharuan". Bahkan tak jarang itu mengecewakan orang-orang progresif yang ingin membikin pemberontakan dari akar pedesaan -- tempat padi tumbuh tapi lumpur dan buruh diinjak-injak. Di Asia, juga dalam sejarah Jawa, pemberontakan petani memang sering tercatat. Namun, seperti dengan tajam ditulis oleh James C. Scott dalam The Moral Economy of the Peasant. (Yale University Press, 1976): "Berbicara tentang pemberontakan berarti memusatkan perhatian kepada saat-saat luar biasa tatkala petani ingin memulihkan kembali, atau membikin baru, dunia mereka secara paksa. Itu berarti melupakan, betapa jarangnya saat serupa itu, dan betapa istimewanya dalam sejarah mereka memimpin suatu revolusi yang berhasil. Itu berarti melupakan bahwa petani lebih sering merupakan korban tak berdaya dari kekerasan, dan bukan pemula tindak kekerasan." Mungkin itu sebabnya Scott, seorang ahli ilmu politik, hendak menjawab di bagian akhir bukunya: adakah pilihan lain dari pemberontakan? Bila petani merasa hidupnya kepepet dan nafasnya tertindas, dalam keadaan hati yang bagaimanakah maka ia diam? Sebab, tiada nampaknya sikap menentang tidak dengan sendirinya merupakan bukti yang cukup bahwa hubungan antar kelas sosial di pedesaan ditandai oleh harmoni. Yang menarik ialah bahwa dalam diam itu sering terjadi timbulnya yang disebut "kesadaran palsu", atau "mistifikasi" orang tertindas yang di bawah itu nampak ikhlas menerima apa yang dipaksakan dari atasnya. Ahli ilmu jiwa konon menjelaskan "kesadaran palsu" itu sebagai cara si tertindas mempersamakan diri dengan sang penindas. Si korban mencoba melarikan diri dari kepedihan dengan menggabungkan diri pada pihak yang kuat. Namun di masyarakat yang seolah ada "keselarasan" antara yang-di-atas dengan yang-membisu-di-bawah, toh sering terdapat juga retak tajam yang pedih. Meski tak selalu menyolok. Itulah sebabnya dalam banyak kebudayaan petani, terdapat lelucon yang mengejek hierarki sosial, yang menjungkir-balikkan nilai-nilai yang berkuasa, tapi dilakukan dengan cukup selamat. Orang-orang Hutu di Afrika misalnya hidup di bawah telapak kaki orang-orang Tutsi. Diam-diam, perkembangan kepercayaan kedua suku bangsa itu bertolak belakang. Bila orang Tutsi percaya akan kesucian ternak, tokoh sentral dalam mithologi Hutu adalah penghancur hewan gembalaan yang biasa membasuh tangannya dalam darah sapi. Bila orang Tutsi menyatakan adilnya garis kasta, orang Hutu punya pahlawan dongeng yang berseru: "Aku tak berjalan di belakang raja apapun, dan tak seorang hamba pun berjalan di belakangku." Itu juga suatu jenis pertahanan, kalau bukan malah perlawanan. Dalam bukunya, Scott juga menyebut contoh orang Samin di Jawa: mereka hanya mau memakai bahasa Jawa ngoko yang demokratis dalam percakapan. Seandainya ia tahu wayang, mungkin ia bisa menambah contoh fenomen punakawan Semar-Gareng-Petruk: sebuah olok-olok dari lapisan bawah, yang tak jarang mentertawakan para bendhara .....

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus