M.H. Husino SH yang ahli dalam bidang kewarganegaraan, menulis
dengan judul Pembedaan Warganegara: Rasialis, TEMPO 17 Pebruari,
sbb:
1. Dengan pembatalan Perjanjian Dwi kewarganegaraan RI-RRC,
seharusnya otomatis orang kembali ke perundang-undangan
kewarganegaraan RI 1946, 1947 dan 1948 yang menganut asas ius
soli: semua anak yang lahir lan menctap di wilayah Rl sebelum 1
Agustus 1958 -- walaupun orangtuanya asing -- adalah warganegara
Indonesia
2. Oleh beberapa instansi sekarang dibuat kabur, karena sekarang
diberlakukan UU No. 62 tahun 1958 yang menganut asas ius
sanguinis, dan
3 Demi kesatuan dan persatuan bangsa yang antara lain dijiwai
Maklumat Politik 1 Nopember 1945, sewajarnya semua warganegara
diarahkan ke pembauran.
Mungkin karena kami bukan ahli di bidang itu, kami mempunyai
pandangan yang berlainan dengan M.H. Husino SH tersebut.
Ad. 1 Perjanjian dwi kewarganegaraan tersebut bukan dibatalkan
melainkan dinyatakan tidak berlaku mulai 1O April 1969 (periksa
pasal 1 UU No 4 tahun 1969). Jadi sampai tanggal tersebut
undang-undang mengenai dwi kewarganegaraan memang harus diakui
dan ditaati eksistensinya. Lain dengan pembatalan hasil-hasil
KMB yang berdasar pasal 1 UU No. 13 tahun 1956 memang dihapuskan
dan tegas-tegas dinyatakan dibatalkan.
Ad. 2 Adalah wajar bahwa asas yang dianut suatu negara mengenai
suatu materi berubah. Memang dalam Undang-undang Kewarganegaraan
RI 1946-1948 dianut asas ius soli (lihat sub 1 di atas), tetapi
kalau asas tersebut dirubah dengan UU No. 62 tahun 1958 menjadi
ius sanguinis, mengapa tidak boleh?
Berdasar asas baru ini maka menurut pasal V Peraturan
Peralihannya, anak-anak yang antara 27 Desember 1949 sampai 27
Desember 1951 olch orangtuanya ditolakkan kewarganegaraan RI
nya, dalam tempo satu tahun setelah undang-undang ini mulai
berlaku dapat mengajukan permohonan kepada Menteri Kehakiman
melalui pengadilan negeri dari tempat tinggalnya, untuk
memperoleh kewarganegaraan RI, jika ia belum berumur 28 tahun.
Tetapi perlu sekali diketahui bahwa yang menyebabkan perubahan
asas tersebut adalah tamu-tamu dari luar negeri yang dalam
rangka Konperensi Asia-Afrika pada 22 April 1955 memanfaatkan
waktunya untuk membicarakan warganya di seberang lautan dengan
Pemerintah RI. Pembicaraan ini pada 27 januari 1958 menelurkan
Undang-Undang Dwi kewarganegaraan, dan mulai 1 Agustus 1958
dipakailah asas baru ini oleh RI. Maka janganlah Rl yang selalu
disalahkan.
Ad. 3. Pembauran memang harus dilaksanakan, tetapi berdasar GBHN
1978 Bab IV huruf D mengenai Agama dan Kepercayaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa, Sosial Budaya No. 3 tentang Kebudayaan sub
c, pembauran hanya dimaksudkan dalam bidang kebudayaan Lebih
dari itu tidak disebutkan, dusoveracting jika kelewat dari
porsinya.
Demikianlah aturan permainan kita. Juga tidak baik
menyebut-nyebut rasialis dan sebagainya, sebab menurut pasal 2
jis pasal 22 dan 30 Uhiversal Declaration of Human Rights, yang
dilarang adalah meniadakan atau merusak hak-hak manusia yang
perlu guna martabat seseorang maupun perkembangan bebas
pribadinya. Ini tidak dialami di Indoncsia, dan tidak akan
mungkin terjadi selama Pancasila menjadi dasar bangsa dan negara
kita.
JOEWONO SH
Jl Prof. Dr. Soepomo SH,
No. 52, jakarta.
Saya setuju dengan apa yang diutarakan Sdr. M.H. Husino SH,
terutama kalimat yang terakhir: "Rasialisme tak akan membawa
penyelesaian seluruh warga negara tak perduli ketutunan, suku,
agama dan lain-lain sebagainya harus meresapi dan menghayati
Pancasila," dan seterusnya.
Kami kira himbauan ini patut dialamatkan kepada saudara-saudara
keturunan asing (saya batasi di sini Cina). Saya kira dengan
undang-undang atau pun peraturan-peraturan pemerintah,
pemerintah beserta badan legislatifnya tidak mengadakan
pembedaan. Tapi justru yang dapat kita lihat dalam kehidupan
praktis sehari-hari, saudara-saudara kita keturunan Cina-lah
yang masih ingin hidup secara eksklusif, mempunyai rasa kesatuan
ras yang kuat baik nasional maupun internasional. Berbeda dengan
saudara-saudara kita keturunan Arab Caylon (Keling, yang banyak
di Medan) atau pun Eropa, mereka cepat untuk mengadakan
pembauran dan tidak hidup secara eksklusif-dan rata-rata tingkat
perekonomian mereka sama dengan saudara-saudaranya yang asli.
Cobalah sekali-kali Badan Pembinaan Kesatuan Bangsa membuat
riset dari kehidupan sehari-hari, misalnya pada kasus-kasus di
bawah ini:
1. Dengan dihapuskannya sekolah khusus keturunan Cina, akibatnya
ada kurang lebih 6000 pelajar Indonesia yang bersekolah di
Singapura, belum lagi di Hongkong dan Taiwan. Mereka yang sejak
kecil sudah belajar di luar negeri tidak akan mengenal
perjuangan pahlawan-pahlawan Indonesia, apalagi untuk bisa
menghayati kehidupan Pancasila.
2. Pemerintah dengan Undang-undang PM DN memberi fasilitas
keringanan perpajakan, dan bersamaan dengan itu kredit bank
Pemerintah. Kebetulan yang memenuhi persyaratan adalah
saudara-saudara kita keturunan Cina, maka logislah kalau mereka
menikmati banyak fasilitas ini. Perlu diriset, dari sekian
perusahaan berapa perbandingan tenaga yang dipekerjakan dari
golongan asli dan tidak asli. Mengenai multiplier effectnya,
berapa prosen usaha orang asli yang diangkat jadi dealer, sub
dealer, agen dan lain sebagainya. Berapa pula perusahaan orang
asli yang menjadi sub kontraktornya, misalnya, dalam pelayanan
jasa angkutan, ekspedisi dan lain-lainnya.
3. Kita tidak pungkiri bahwa saudara kita keturunan Cina ada
yang punya dedikasi yang baik dan tak jarang tampil sebagai
pahlawan bangsa. Tapi alangkah sayangnya mereka dirusakkan oleh
berita sehari-hari mengenai penyelundupan, penyuapan, manipulasi
kredit bank dan segala macam monkey business yang sebagian besar
pelakunya adalah saudara kita yang bukan asli.
Begitu pula, banyak dari mereka yang menginvestasikan modalnya
pada proyek-proyek yang mempunyai nilai sosial yang tinggi, tapi
banyak pula yang membuka usaha-usaha yang tercela seperti
kasino, usaha pengeksploitasian sex (steambath, barbershop dan
sejenisnya yang diselewengkan dari tujuan sesuai dengan
namanya).
4. Pemerintah sekarang mencoba menyeimbangkan kedudukan ekonomi
orang asli dengan saudara-saudaranya yang lain. Fasilitas
KIK/KMKP dan kredit Candak Kulak terbuka khusus bagi orang asli
dan tidak terbuka untuk keturunan asing. Juga pada kredit
investasi sekarang diharuskan 50% saham dimiliki orang asli yang
dapat dipertimbangkan.
Apakah karena hal terakhir ini -- yang meresahkan Sdr. M.H.
Husino SH -- pemerintah sudah memperlakukan diskriminasi rasial?
Bagi saudara-saudara kita keturunan Cina, mungkin masih banyak
kran kredit baik luar maupun dalam negeri, baik institusionil
maupun non-institusionil. Sedang bagi orang asli satu-satunya
kran kredit yang murah adalah bantuan dari badan-badan kredit
Pemerintah.
Apakah juga dilarangnya beredar majalah-majalah berhuruf Cina
sudah merupakan ras diskriminasi? Kami kira ini salah satu usaha
pemerintah untuk mempercepat proses pembauran bangsa. Malah
kalau bisa, jatah impor film Mandarin patut dikurangi karena
film juga merupakan media ampuh pemujaan negeri leluhur.
GATOT SOEKARNO
(Staf Riset)
Bank Pembangunan Indonesia,
Jl Gondangdia Lama 2 - 4,
Jakarta Pusat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini